Skip to main content

Yang Lebih Setan Daripada Setan (Prosa Liris)



Setiap kali hujan turun membasahi bumi, rambut dan hidungmu terkena tempias sebab kau tak mampu lagi bergerak menutup jendela, rasanya ingin segera aku kembali di jangkauan matamu. Menyibak awan dan memberi rasa aman.

Aku benci setiap kali melihatmu beku dengan kenangan-kenangan itu, dan kau pergi ke dimensi waktu yang lampau, mengurung diri, membiarkan matamu basah hingga lelah, meringkuk memeluk diri dan dosa-dosa, menahan dadamu yang sesak. Luka yang biru, menjadi nganga yang bernanah, borok sudah. Lebih perih daripada sembilu. Rapuh.

Setiap kali habis waktuku, bagimu tak masalah. Yang penting bukan hujan. Bukan setetes demi setetes air yang akan mengembalikan kau dengan paksa pada dirimu yang jahat, yang hina. Hingga gigil, hingga bergemeletuk tulang-tulang karena pelukmu yang kadung erat.

Gumpalan daging, tulang yang masih amat lunak, segar memerah darah, toples bening, sore yang basah dan dosa yang menghantui. Semua terjadi saat tak ada aku. Saat Tuhan bertitah bukan di langitmu cahayaku ada.

Dan hari-harimu, berubah menjadi awas dalam mawas yang tak lagi normal. Malaikat penjaga neraka, selalu kau rasa ada di dekatmu. Lebih dekat daripada liontin yang melekat di lehermu. Mengintai dengan mata paling nyalang. Paling murka.

Sudah sejak lama beginilah rutinitasmu, ayam belum saja beranjak dari peraduan dan malaikat telah sibuk meramai bumi. Kau telah hidup. Memohon pada Tuhan Semesta yang Maha Segala agar mengampuni dirimu yang keji. Agar tak melemparmu di kerak neraka paling ngeri.

Mengampuni kau, yang pernah lebih setan daripada setan.


                                                Hasil gambar untuk gambar bayi aborsi dalam toples  


Senin, 13 Februari 2017

#onedayonepost
#prosaliris

Comments

Popular posts from this blog

Drama dalam Kepala Buibu

Assalamualaikum, rumahku... Apa kabar? masih dengan status "hidup ndak, mati ogah" yah, rumah? heheh iyya... i need you but always forget you yah. Sini peluk rumahku diriku bukuku! Eniwei, alhamdulillah, syukur yang dalam nan tulus karena Allah masih berikan kita kesempatan hidup sehat dalam keadaan masih muslim untuk ketemu Ramadhan ini; bulan penuh cinta paling hidup. Dear, rumahku. Temani saya ngobrol bout two choices yang lagi riuh pisah di kepalaku sendiri yah, here we go bismillah. Em, diskusi bout being a full mom at home atau being a working mom adalah topik yang menurutku ndak pernah etis  buat didebatkan mana yang paling mengambil peran termulia sebagai ibu dan mana yang 'ibu setengah mulia karena kerja di luar rumah' atau malah menjadi 'ibu kolot tidak terpelajar karena di rumah saja ngurus urusan dapur kasur', semua tergantung niat, kualitas diri dan keridhaan anak suami menurutku. Lets see the world, ada banyak ibu full time di

Kepada Dirimu, Hafsah.

Kepada dirimu, Ada waktu-waktu saat kita saling berbicara tentang kelu yang kita rasa bersama. Ada mata yang basah saat mengenang sedihnya menjadi perempuan seperti kita. Tapi itu dulu,  dua tiga tahun yang lalu. Kita sudah memilih berbahagia dengan banyak sekali cara, turut bergembira dan memeluk hangat, ketika kawan kita yang lebih dulu_ dan lagi-lagi_ diizinkan  Tuhan. Bukan kau atau aku. Kita sudah menyabarkan diri, memilih lebih percaya Tuhan Daripada sesak yang terus berlarut. Sesekali kembali basah, tapi tak mengapa membiarkannya  tumpah mungkin lebih baik Daripada berkarat hati dan runtuh kepercayaan padaNya, pada Tuhan yang lebih dekat daripada urat leher kita sendiri. Kau tahu?  Setiap kali aku ingin merutuki takdir, menangis sesegukan di ujung kasurku,  Saat setanku berbisik untuk mengutuk Tuhan, aku melihatmu. Duduk disampingku dengan mata sembab dan  luka yang lebih dibanding aku. Atau sekali waktu, kau datang dengan

Tahfidz Putra Darul Istiqamah Dan Surga Sebelum Surga

Air berkecipak Saling beradu pelan, syahdu dari gerakan-gerakan suara yang kutahu lebih baik dari kecipak air mandiku. Dalam gelap paling mustajab kakikaki itu pergi ke rumah tuhan. Masih dalam separuh buaian mimpi aku tahu, tuhanku juga memanggil lalu aku; dengan mata tertutup menakarnakar rindu padaNya, menghitunghitung kekuatan melawan syaithan. ______________ Sudah pukul empat pagi ketika saya mulai menulis ini, dan dari masjid masih terdengar suara imam memimpin shalat tahajjud. Tartil, merdu, indah. Percayalah, menuliskan ini butuh banyak kekuatan. Ini pertama kalinya mengenalkan kehidupan baruku kepada rumah abu-abu ini. Dan  sepotong cerita pagi tentang Tahfidz Putra Darul Istiqamah,  its more than wonderful masyaallah. Masih pukul tiga-an, ketika qadarullah saya terbangun karena sebuah mimpi. Dalam proses memperbaiki posisi tidur kembali, di waktu ketika bahkan kokok ayam belum satu pun terdengar, saya mengenal baik suarasuara air  dan langkah kaki santri-santri y