Setiap kali hujan turun membasahi
bumi, rambut dan hidungmu terkena tempias sebab kau tak mampu lagi
bergerak menutup jendela, rasanya ingin segera aku kembali di jangkauan matamu.
Menyibak awan dan memberi rasa aman.
Aku benci setiap kali melihatmu beku
dengan kenangan-kenangan itu, dan kau pergi ke dimensi waktu yang lampau,
mengurung diri, membiarkan matamu basah hingga lelah, meringkuk memeluk diri dan dosa-dosa,
menahan dadamu yang sesak. Luka yang biru, menjadi nganga yang bernanah, borok sudah. Lebih perih daripada sembilu. Rapuh.
Setiap kali habis waktuku, bagimu tak masalah.
Yang penting bukan hujan. Bukan setetes demi setetes air yang akan
mengembalikan kau dengan paksa pada dirimu yang jahat, yang hina. Hingga gigil,
hingga bergemeletuk tulang-tulang karena pelukmu yang kadung erat.
Gumpalan daging, tulang yang
masih amat lunak, segar memerah darah, toples bening, sore yang basah dan dosa
yang menghantui. Semua terjadi saat tak ada aku. Saat Tuhan bertitah bukan di
langitmu cahayaku ada.
Dan hari-harimu, berubah menjadi awas dalam mawas yang tak lagi normal. Malaikat penjaga neraka, selalu kau rasa ada di dekatmu. Lebih dekat daripada liontin yang melekat di lehermu. Mengintai dengan mata paling nyalang. Paling murka.
Sudah sejak lama beginilah rutinitasmu, ayam belum saja beranjak dari peraduan dan malaikat telah sibuk
meramai bumi. Kau telah hidup. Memohon pada Tuhan Semesta yang Maha Segala agar
mengampuni dirimu yang keji. Agar tak melemparmu di kerak neraka paling ngeri.
Mengampuni kau, yang pernah lebih
setan daripada setan.
Senin, 13 Februari 2017
#onedayonepost
#prosaliris
Comments
Post a Comment