Tahun 2003, di sebuah sekolah madrasah bertingkat yang belum sempurna rampung. Tangga dan lantai yang masih sekedar semen dan pasir yang belum halus, yang jika diinjak akan menerbangkan debu, apalagi jika anak-anak sekolahan; termasuk aku, berlari berkejaran mengelilingi koridor sekolah, sepatu menjadi berwarna abu meski kilap sebelum berangkat dan yang memakai sendal nampak seperti anak jalanan yang nyasar bermain di pelataran sekolah sebab pakaian dan sendalnya tak menunjukkan ciri "anak sekolahan", pakaian seragam lebih cepat kotor dan udara yang menguarkan aroma tanah dan kapur.
Tapi di masa itu, siapa pula dari kami yang peduli untuk protes kepada guru-guru tentang sekolah yang sebenarnya belum layak digunakan itu?
Di masa itu, aku tak pernah melihat satu pun orang tua dari kawan-kawanku yang datang menuntut pihak sekolah untuk merampungkan pembangunan tempat anaknya mereguk ilmu dan melewati satu fase pentingnya itu. Tak pernah ada, sebab bersekolah pun, mendapat kesempatan belajar, bertemu kawan dan hukuman dari bapak ibu guru, itu sudah hal yang mewah. Karena kata guruku, yang dihukum adalah yang disayang. Begitu pula anggapan orangtua kami semua. Di masa itu.
Bukan di masa sekarang, yang banyak orang tua begitu pongah menganggap guru hanya orang-orang yang berkewajiban mentransfer ilmu pada anaknya karena sudah diberi "makan" dari hasil kerja mereka dan bebas dengan seenaknya memprotesi ini itu, bahkan memberi pelajaran dengan cara yang hina kepada guru yang dianggap tak pantas mendidik karena menghukum muridnya, meski jelas-jelas melanggar peraturan.
Ah, aku takkan membicarakan tentang ironi menjadi guru di masa sekarang, yang harus memakan buah simalakama setiap kali harus mengambil keputusan.
Aku hanya akan kembali kepada kenangan itu, saat berangkat ke sekolah dengan sepatu butut, pakaian seragam yang sama dari sejak kelas satu hingga kelas tiga SD, dengan uang jajan seribu rupiah yang harus kubagi dua dengan kakak yang jika ke sekolah lebih banyak beradu kelereng dan wayang kertas dengan teman-temannya. Yang suatu kali, dengan tega kulaporkan pada bapak tentang bolosnya dan bapak yang sedang beristirahat siang, bangun mencari dan menjewer telinganya, hingga kepala berambut keriting itu terangkat miring bersama badannya yang ditopang hanya dengan ujung jari-jari kakinya. Padahal lima ratus dari jatah uang jajannya sudah kubelanja habis di kantin sekolah. Aih, jahatnya aku sebagai adik...
Di beberapa waktu, pernah kudapati tubuh kecilku melompat kodok dari depan kamar mandi ujung kelas sampai ke depan pintu kelas. Terhukum karena terlambat.
Melompat kodok, hukuman itu pernah membuatku terjatuh dari anak tangga paling atas sampai paling bawah hingga berdebam tubuhku di teras berpasir dan batu-batu yang belum rata. Aku limbung, kakiku tak bisa berpijak dengan baik sebab pahaku kadung bengkak.
Pernah pula, gara-gara hukuman itu, aku tak bisa berdiri tegak saat maju ke depan papan tulis menunjuk dan bertanya satu kata kurang jelas yang ditulis kawanku.
Di masa kecil, pernah kudapati raporku yang tiba-tiba dilemparkan bapak ke luar rumah tanpa muqaddimah sebelumnya. Jangan tanya berapa banyak angka merah yang ada di dalamnya. Aku peringkat dua puluh dari sekitar hampir lima puluhan teman kelas satuku. Dua puluh, kalau saja angka itu masih bisa dikatakan peringkat. Dan Cukuplah amarah bapak yang pendiam dan tak pernah memukulku sekalipun membuatku serius belajar membaca dan rajin ke sekolah.
Kelas lima SD, saat penerimaan rapor, wali kelas bilang nilaiku dan nilai rapor kawanku yang peringkat satu tanpa bosan di setiap catur wulan sama hasilnya. Nilai kami sama dan karena alasan kerapihan, aku harus rela menjadi rangking dua saja. Ish, kenapa pula aku sangat urakan jika ke sekolah?!
Kelas enam, aku menemukan kawan yang menjadi kawannya pun, kami harus lebih dulu saling menyakiti. Menyakiti dengan terlalu dan bodoh. Lucu saja jika mengenangnya. Karena hingga dua puluh satu umurku kini, dia masihlah kawan manisku yang kusayang.
Di masa kecil, setiap kali mama hamil empat adikku, maka akan kudapati mama yang terbaring lemah di tempat tidur, suara muntah yang terdengar tersiksa dan lelah, bapak yang berjibaku dengan urusan kebutuhan mama dan ketika sudah melewati fase ngidam yang parah, mama akan sibuk dengan jahitan-jahitan baju untukku dan anak-anak pantinya sampai kemudian melahirkan. Entah berapa banyak baju-baju yang mama jahit dengan tangannya sendiri di masa ngidamnya.
Aku hidup dan tumbuh bersama dengan puluhan anak-anak pantinya mama. Mama dan bapak mengajariku bersodara dengan cara yang sangat natural untuk bisa berbagi apa saja dan tak boleh merasa iri dan cemburu.
Sewaktu kecil, aku menemukan kesenangan baru selain membaca, bersepeda. Bersepeda, usahaku belajar untuk itu bisa dilihat dari berapa banyak luka-luka di tubuhku. Bagaimana tidak, yang mengajariku adalah dua kakak keriting paling badung sedunia. Mengajariku dengan cara jahat yang membuat mereka terpingkal-pingkal hingga sakit perut. Menuntun dari belakang, kemudian berdua mendorong kencang lalu melepaskan. Entah berapa kali aku masuk dan terjatuh di semak-semak hutan.
Tapi mengadu pada bapak dan mama percuma saja. Meski menangis kencang sekalipun, saya harus kembali belajar bersepeda. Bapak selalu bilang "begitu memang kalau mau jadi pintar, harus tahan sakit, ndak boleh berhenti belajar."
Ada begitu banyak kenangan di masa kecil dan menuliskan yang tersisa di ingatan adalah cara yang manis untuk mengenangnya besok lusa. Entah kenangan itu sebenarnya adalah cerita sedih, miris, mengenangnya tentulah bisa menjadi hal konyol yang menyenangkan.
_____
Tulisan ini juga sudah lama ada dalam draft. Ngegantung tidak selesai.
Maka biarlah begini saja, seperti ini sudah cukup untuk mengenang, bahwa sejak kecil aku sudahlah menjadi manusia.
Rabu, 08 Februari 2017
#masakecil
#onedayonepost
Comments
Post a Comment