Skip to main content

Rumah Al-Walid Kita

Itu gambar rumah Al Walid kita, ustad Arif Marzuki Hasan. Bapak pesantren Darul Istiqamah.
Iyya, seperti itu. Banyak di antara kita pasti tidak tahu tentang hal ini.

Rumah beliau sekeluarga ada di area pegunungan. Mungkin rumah persinggahan jika tiba masa liburan bersama puluhan cucu  eh, atau sudah ratusankah cucu cicit beliau? BarakalLlahu fiihim...
Yang pernah liburan ke tempat-tempat seperti itu, pasti tahu bagaimana rasanya berada di tempat yang tidak ada alasan untuk tidak takjub pada hebat dan sempurnanya kekuasaan Allah SWT, sang pencipta yang Maha Keren.

Hijaunya alam, hamparan sawah yang ditata sedemikan rupa, bentangan langit yang menakjubkan, gunung-gunung yang kokoh berdiri tegak menjadi pasak bumi.

Bersih, sejuk, udara segar, kelegaan, dan  diri merasa di dunia ini semuanya hanyalah kebaikan, kebahagiaan dan kepatuhan pada Allah.
Ah, berada di area pegunungan selalu berhasil menghadirkan perasaan istimewa, bukankah begitu, kawan? :)

Tadi pagi, saat matahari masih malu-malu mengintip di balik awan, saya datang berkunjung ke sana. Di rumah area pegunungan ustad kita. Sebenarnya tidak berkunjung ke rumah beliau, saya datang karena hendak silaturrahim di rumah keluarga yang ternyata tepat bertetanggaan dengan rumah beliau juga. Ah, beruntung sekali keluargaku itu...

Rumah beliau dan rumah keluargaku itu berada di atas sebuah gunung yang sudah dibanguni beberapa rumah juga, di depannya ada jalanan desa yang luasnya tidak seberapa, belum teraspal juga. Saat berkunjung tadi pagi, hanya beberapa masyarakat desa saja yang lewat. Di sebelah jalan ada jurang yang dalam. Di bawahnya ada sungai kecil yang airnya cukup deras. Suara alirannya terdengar sampai di tempatku berdiri.

Saat memarkir mobil di pekarangan rumah keluarga, di belakang mobilku juga ada mobil hitam yang baru tiba dan ikut parkir. Karena pekarangan yang luasnya tidak seberapa, ban depan mobil tersebut sengaja diparkir di atas gundukan tanah dan batu-batu gunung yang berada di depan rumah ustad.
Saat turun dari mobil, saya sengaja tetap berdiri di depan mobilku karena ingin melihat siapa yang baru datang. Mobil terbuka dan satu persatu penumpangnya turun, masya Allah...ternyata dia keluarganya ustad, anak cucu dari ustad Mushaddiq, anak ke dua beliau. Rasanya exited sekali ketemu mereka tadi pagi, apalagi ternyata ada Shofi juga. Teman manis dan kerenku:D

Dan kalian tahu apa yang perempuan lakukan dan bagaimana reaksi mereka jika baru bertemu teman karib. Apalagi terhitung kami memang sudah lama tidak saling tatap muka. Ah, lepas rindu yang menyenangkan...

Dan Qadarullah, saat masih sedang riuh melepas rindu, tanya-tanya tentang Hafsah, kakaknya yang adalah juga teman manisku, tanya tentang kehamilan si kakak dan ngobrol ini itu, sebuah mobil hitam baru tiba, kami sama-sama terdiam dan bergerak menepi, baru sadar kalau ternyata kami ngobrol panjang padahal masih di pekarangan:D

 Mobil itu menepi di belakang rumah keluarganya si Shofiah, saya menunggu dengan sedikit penasaran siapa yang akan keluar dari mobil itu, sementara Shofi hanya mengulum senyum kecil saat saya bertanya siapa gerangan.

Mobil terbuka, dan tadaaa...Tiara juga datang!

Ahh bahagianya saya! Dia merentangkan tangan, kami berpekulan. Teman  shalehahku itu datang dengan setelah hijrahnya. Berniqab, anggun sekali. Tapi meski berniqab sekalipun, dimanapun saya akan tahu jika itu dia.Lama sekali kami tidak bertemu, terakhir sepertinya ramadhan  tahun kemarin. Aih, lamanya...

Dan bertambah riuhlah kami yang saling melepas rindu. Hari-hari panjang sudah terlewati dan banyak hal yang sama-sama ingin kami bagi. Pertemanan yang sebenarnya, semakin lama rasanya akan semakin istimewa.

Setelah lama mengobrol sambil jongkok dan baru sadar bahwa ternyata kami masih di pekarangan, saya melihat ke teras kayu rumahnya ustad yang cukup ramai dengan anak cucu beliau, ustad sedang duduk menghadap ke arah gunung-gunung yang berjejer tegak di depan rumah. Dengan setelan  baju kokoh  cokelat susu, celana hitam dan songkok hitam yang selalu nampak di kepala beliau, rambut dan janggut yang berwarna putih abu-abu serta buku terbuka yang ada di tangan beliau... Beliau adalah nama dari kebijaksanaan, penuh karismatik bahkan meski beliau tak mengeluarkan suara. itu pemandangan yang sejuk sekali.  Beberapa detik saya menikmati pemandangan itu dan lirih berdoa untuk keberkahan sepanjang hidup beliau.

 Barulah setelah itu saya bertanya apa tujuan mereka datang, Shofi dan Tiara. Ternyata mereka sudah merencanakan akan menikmati liburan di salah satu spot wisata di area pegunungan itu, di......

Saya belum mendengar jelas kemana mereka akan menikmati liburan bersama ketika panggilan dan sentuhan-sentuhan lembut si pak suami membangunkanku untuk shalat shubuh.
Oh Tuhan...

Selasa, 10 Januari 2016
#OneDayOnePost

Comments

Popular posts from this blog

Drama dalam Kepala Buibu

Assalamualaikum, rumahku... Apa kabar? masih dengan status "hidup ndak, mati ogah" yah, rumah? heheh iyya... i need you but always forget you yah. Sini peluk rumahku diriku bukuku! Eniwei, alhamdulillah, syukur yang dalam nan tulus karena Allah masih berikan kita kesempatan hidup sehat dalam keadaan masih muslim untuk ketemu Ramadhan ini; bulan penuh cinta paling hidup. Dear, rumahku. Temani saya ngobrol bout two choices yang lagi riuh pisah di kepalaku sendiri yah, here we go bismillah. Em, diskusi bout being a full mom at home atau being a working mom adalah topik yang menurutku ndak pernah etis  buat didebatkan mana yang paling mengambil peran termulia sebagai ibu dan mana yang 'ibu setengah mulia karena kerja di luar rumah' atau malah menjadi 'ibu kolot tidak terpelajar karena di rumah saja ngurus urusan dapur kasur', semua tergantung niat, kualitas diri dan keridhaan anak suami menurutku. Lets see the world, ada banyak ibu full time di

Kepada Dirimu, Hafsah.

Kepada dirimu, Ada waktu-waktu saat kita saling berbicara tentang kelu yang kita rasa bersama. Ada mata yang basah saat mengenang sedihnya menjadi perempuan seperti kita. Tapi itu dulu,  dua tiga tahun yang lalu. Kita sudah memilih berbahagia dengan banyak sekali cara, turut bergembira dan memeluk hangat, ketika kawan kita yang lebih dulu_ dan lagi-lagi_ diizinkan  Tuhan. Bukan kau atau aku. Kita sudah menyabarkan diri, memilih lebih percaya Tuhan Daripada sesak yang terus berlarut. Sesekali kembali basah, tapi tak mengapa membiarkannya  tumpah mungkin lebih baik Daripada berkarat hati dan runtuh kepercayaan padaNya, pada Tuhan yang lebih dekat daripada urat leher kita sendiri. Kau tahu?  Setiap kali aku ingin merutuki takdir, menangis sesegukan di ujung kasurku,  Saat setanku berbisik untuk mengutuk Tuhan, aku melihatmu. Duduk disampingku dengan mata sembab dan  luka yang lebih dibanding aku. Atau sekali waktu, kau datang dengan

Tahfidz Putra Darul Istiqamah Dan Surga Sebelum Surga

Air berkecipak Saling beradu pelan, syahdu dari gerakan-gerakan suara yang kutahu lebih baik dari kecipak air mandiku. Dalam gelap paling mustajab kakikaki itu pergi ke rumah tuhan. Masih dalam separuh buaian mimpi aku tahu, tuhanku juga memanggil lalu aku; dengan mata tertutup menakarnakar rindu padaNya, menghitunghitung kekuatan melawan syaithan. ______________ Sudah pukul empat pagi ketika saya mulai menulis ini, dan dari masjid masih terdengar suara imam memimpin shalat tahajjud. Tartil, merdu, indah. Percayalah, menuliskan ini butuh banyak kekuatan. Ini pertama kalinya mengenalkan kehidupan baruku kepada rumah abu-abu ini. Dan  sepotong cerita pagi tentang Tahfidz Putra Darul Istiqamah,  its more than wonderful masyaallah. Masih pukul tiga-an, ketika qadarullah saya terbangun karena sebuah mimpi. Dalam proses memperbaiki posisi tidur kembali, di waktu ketika bahkan kokok ayam belum satu pun terdengar, saya mengenal baik suarasuara air  dan langkah kaki santri-santri y