“Semoga kamu gak terganggu
dengan rusuhnya teman-teman kita di sebelah. Mereka cuman iseng saja.”
“ Tulisanmu hari ini bagus,
enak. Perkuat lagi penokohannya. Selebihnya keren.”
“Tentang kawanmu itu yang
selalu merasa belum memberi bakti maksimal pada ortunya, kamu tahu? mudah saja
bagi kawanmu itu berbakti pada ortunya, ajarkan saja tentang islam. Maka
peluang bakti bakal dia sadari banyaknya. Salah satunya adalah berjilbab syar’i.”
“Kegiatan diksarmu gimana?”
“Kamu sudah shalat ashar?
Gada alasan gak shalat biar lagi sesibuk apapun. Jangan lupa makan juga, kamu
bilang kamu punya maag”
“Iyya, menutup aurat saja
gak cukup. Kamu harus perhatiin juga kalau pakaian dan jilbabmu itu sudah sesuai
aturan Allah.”
“Baca buku ini deh, isinya
bagus buat muslimah.”
“Isi blog kamu curhatan
mulu sepekanan ini, kamu kan pinter, nulis yang lebih bergizi gih!”
“Jangan lupa ngaji dan
dhuha’…”
“liburan ini, kamu gk
pulkam ke mama bapakmu?”
“Huhuhh di sebelah rusuh
lagii, hahahh selow ajah yah… mereka gak tau kalau kita beneran cuman temen
biasa ajah.”
Perempuan itu menggigit bibir
keras-keras, pandangannya mulai mengabur. Diusapnya air mata yang mulai
menderas, jatuh lagi, diusap lagi dan jatuh lagi. Hingga dia lelah mengeringkan
wajahnya sendiri. Dia tahu, dia memang butuh untuk menangis. Dipegangnya
erat-erat ponsel yang menyimpan history chat itu, dia tak sanggup
membaca lebih banyak lagi. Dia rindu, sungguh rindu meski hanya dengan chattingan
singkat seperti hari-hari yang lalu.
“Bukankah kau sendiri yang memutuskan
untuk mengakhiri semuanya? Lagi pula kenapa kau menangis? Kalian bahkan bukan
sepasang kekasih!”
Perempuan manis itu merutuki diri
sendiri sambil memeluk lutut, hidung kecilnya merah, bibirnya bergetar, ada yang sungguh sakit di
dadanya. Berkali-kali diusap air mata yang kian menderas berderai, sudah hampir
dua jam, mukenanya sudah basah. Keputusan ini masih saja berat nan menyiksa, meski
dialah yang mengakhiri.
Tiga bulan yang lalu, laki-laki
itu yang pertama kali memulai personal chat dengannya. Teman sekomunitas
yang sudah digelutinya selama hampir enam bulan. Raka, mahasiswa jurusan
Matematika yang agamis, kocak, pintar
dan ramah. Seseorang yang awalnya hanya teman biasa, obrolan mereka hanya
obrolan-obrolan singkat seperti itu saja, saban hari hanya ada dua sampai tiga notifikasi
personal chat dari dia, bahkan kadang tidak ada sama sekali. Tidak ada
pembahasan manis layaknya sepasang kekasih, karena mereka memang bukan
demikian. Raka hanya seorang kawan yang kemudian mengajarkan untuk lebih dekat
pada Tuhan mereka. Hingga Lila, perempuan manis berlesung pipi itu mengenal
islam lebih banyak darinya. Laki-laki yang belum pernah bertatap muka secara
langsung tapi menjadi seseorang yang selalu mendukung perjalanan hijrahnya.
Dan semakin dia meminta, Lila
tahu, mencintai ada batasnya. Dia takut jika berharap dengan terlalu sedang
Tuhan belum menakdirkan mereka menjadi halal. Beberapa kali Lila meminta Raka
agar tak perlu lagi mengiriminya personal chat, sebab mereka bukan
mahram, rasanya tak pantas saja ada komunikasi berdua seperti itu, Lila tahu
dengan hatinya, dan takut dengan kerja-kerja setan jika komunikasi seperti itu
terus berlanjut. Terlebih jika apa yang dimintanya takkan diijabah Tuhan.
Tapi Raka hanya menganggapnya
sambil lalu dan bilang tak mengapa sebab mereka tak berbuat yang macam-macam
selain mengobrol singkat, sekali pula Lila dengan menahan malu mengatakan agar
tak perlu lagi ngechat dan memberi perhatian lebih, sebab mereka hanya
teman biasa. Tapi notifikasi pemberitahuan personal chatnya masih saja
masuk, dua sampai tiga kali sehari, singkat-singkat saja atau tak ada sama
sekali. Naifnya, dia yang melarang, tapi dia juga yang selalu merindu.
Dan keputusan itu diambilnya.
Selepas maghrib dua minggu yang
lalu, dikirimkannya Raka gambar souvenir pernikahan, ucapan terimakasih karena
sudah menjadi kawan belajarnya serta kalimat singkat agar mulai malam itu, tak
boleh lagi ada komunikasi antara mereka kecuali di grup komunitas. Sebab dia
akan menikah, dia akan menjadi seorang isteri yang harus menjaga hati suaminya.
Rasanya sungguh sakit, sangat
menyiksa. Hari-hari yang biasanya ada dia, akhirnya benar-benar terhenti
sejak jelang isya saat itu, seperti yang imannya mau. Tapi hati perempuannya
sungguh terluka, tak ada lagi notifikasi personal chat yang baru, tak ada yang
menjadi alarm waktu shalat di tengah aktifitas kampusnya, tak ada lagi yang
menjadi teman diskusi keislamannya yang masih minim. Dia sungguh rindu. Maka
setiap kali rindu itu datang, dia akan membaca ulang semua obrolan mereka yang
tak pernah bisa dihapusnya dan berdoa lebih lama pada Tuhan agar memberikan
yang terbaik, bahkan berkali Lila seolah mendesakNya tanpa malu agar dia saja
yang dijadikan imamnya.
Toh, Tuhan yang memiliki dia,
maka perempuan berlesung pipi itu sah-sah saja bermohon dengan rintihan paling
menyayat agar dipinjami hambaNya itu sebagai kekasih dunia-akhiratnya.
______
Aku sudah cukup mencintaimu seperti ini,
di antara larik-larik sajakku, cukup kau di situ saja.
Meski dengan sakit yang begitu
nyeri,
dan rindu yang terlalu ini,
aku tahu, aku harus berhenti.
Aku takut bermain dengan segala
macam kemungkinan ketakberpihakan takdirNya
padaku, pada kita.
Sementara kau adalah kata
dalam doa yang membuatku hidup,
nyanyian paling riang
Puisi paling pilu yang
membuatku luluh____
Sabtu, 11 Februari 2017
*batal nonton, jadi begini saja.
#onedayonepost
#utangdailyentahkeberapa
Sabtu, 11 Februari 2017
*batal nonton, jadi begini saja.
#onedayonepost
#utangdailyentahkeberapa
Comments
Post a Comment