Skip to main content

Don't Judge Me By Cover

Saya Hikmah. Anak bapak yang ke lima dari sembilan anak yang diberi Allah. Anak tengah,  istimewa sejak lahir. I know it so well, don't try to explain it again.

Saya suka semua masakan mama. Semua jenis beras yang mama masak, kecuali nasi jagung. Suka semua sayur yang mama masak.

: Sayur daun ubi (daun singkong) campur jantung pisang, daun ubi campur terong, daun ubi campur pisang, daun ubi campur kelapa, daun ubi campur ikan asin, daun ubi campur daun pepaya, daun ubi campur daun kacang, daun ubi campur apa saja dan daun ubi rebus tanpa apa-apa yang dicocol  sambal kacang.

Semua olahan mama dari kebun kecilnya, saya akan suka. Begitu pula bapak. Dan saya adalah anak bapak. Yang berpuluh persen dari isi kepala kami sama saja : makan, menghasilkan uang, bersantai dan membaca.

Saya anak mama. Anak tersayang mama yang setiap hari menerima tumpahan marah, sedih, cerita kecewa, mimpi dan harapan-harapannya.

Anak bapak yang cerewet, suka berbicara tak bertema dan menulis asal saja. Terserah saya.

Pembina di sebuah sekolah boarding berakreditasi A nun di tengah pesantren yang sudah punya tiga puluh tiga cabang di seluruh Indonesia. Pesantren tempat saya lahir, sekolah dari TK hingga tamat jenjang sembilan tahun wajib belajar, menikah, memiliki anak dan bekerja. Duniaku hanya  sekitar tempat itu saja. Belum pernah naik pesawat, kapal laut, dan Vespa. Tapi diriku bisa ada dimana-mana, sejauh yang kumau.

Beginilah caraku menghibur diri, hingga meledak bahagia dan syukurku. Sebab Tuhan sudah menciptakan pohon yang dijadikan manusia kertas-kertas yang bisa kuisi dan kubaca darinya apa saja.

Seorang pembina yang sejatinya masih senantiasa harus dibina. Sebab Hikmah hanya perempuan bertubuh kecil, tinggi seratus lima puluh empat dan berat badan belum pernah sampai di empat puluh. Perempuan dengan kadar kasih sayang yang besar dan amarah yang hampir sama banyaknya. Labil parah. Idiot menjengkelkan.

Suka belajar tapi tak suka dipaksa, meski seharusnya memang harus dipaksa dan dipengaruhi hingga mau ke luar dari zona nyaman.

Beginilah saya. Jangan lagi memuji dengan banyak atau mengatai dengan terlalu.

Saya hanya anak perempuan istimewa bapak dan mama.Yang mudah mencintai siapa saja dan mudah menangis karena hal sepele.

Yang begitu bahagia cukup  kau sebut namaku, Hikmah.
Tapi sebutlah di saat matamu sedang tersenyum, jangan manyun.

Itu saja.
Don't judge me by cover. Know me more then you can choose; wanna hate or love me as your friend.

Ahad, 05 Februari 2017

#onedayonepost

Comments

Popular posts from this blog

Drama dalam Kepala Buibu

Assalamualaikum, rumahku... Apa kabar? masih dengan status "hidup ndak, mati ogah" yah, rumah? heheh iyya... i need you but always forget you yah. Sini peluk rumahku diriku bukuku! Eniwei, alhamdulillah, syukur yang dalam nan tulus karena Allah masih berikan kita kesempatan hidup sehat dalam keadaan masih muslim untuk ketemu Ramadhan ini; bulan penuh cinta paling hidup. Dear, rumahku. Temani saya ngobrol bout two choices yang lagi riuh pisah di kepalaku sendiri yah, here we go bismillah. Em, diskusi bout being a full mom at home atau being a working mom adalah topik yang menurutku ndak pernah etis  buat didebatkan mana yang paling mengambil peran termulia sebagai ibu dan mana yang 'ibu setengah mulia karena kerja di luar rumah' atau malah menjadi 'ibu kolot tidak terpelajar karena di rumah saja ngurus urusan dapur kasur', semua tergantung niat, kualitas diri dan keridhaan anak suami menurutku. Lets see the world, ada banyak ibu full time di

Kepada Dirimu, Hafsah.

Kepada dirimu, Ada waktu-waktu saat kita saling berbicara tentang kelu yang kita rasa bersama. Ada mata yang basah saat mengenang sedihnya menjadi perempuan seperti kita. Tapi itu dulu,  dua tiga tahun yang lalu. Kita sudah memilih berbahagia dengan banyak sekali cara, turut bergembira dan memeluk hangat, ketika kawan kita yang lebih dulu_ dan lagi-lagi_ diizinkan  Tuhan. Bukan kau atau aku. Kita sudah menyabarkan diri, memilih lebih percaya Tuhan Daripada sesak yang terus berlarut. Sesekali kembali basah, tapi tak mengapa membiarkannya  tumpah mungkin lebih baik Daripada berkarat hati dan runtuh kepercayaan padaNya, pada Tuhan yang lebih dekat daripada urat leher kita sendiri. Kau tahu?  Setiap kali aku ingin merutuki takdir, menangis sesegukan di ujung kasurku,  Saat setanku berbisik untuk mengutuk Tuhan, aku melihatmu. Duduk disampingku dengan mata sembab dan  luka yang lebih dibanding aku. Atau sekali waktu, kau datang dengan

Tahfidz Putra Darul Istiqamah Dan Surga Sebelum Surga

Air berkecipak Saling beradu pelan, syahdu dari gerakan-gerakan suara yang kutahu lebih baik dari kecipak air mandiku. Dalam gelap paling mustajab kakikaki itu pergi ke rumah tuhan. Masih dalam separuh buaian mimpi aku tahu, tuhanku juga memanggil lalu aku; dengan mata tertutup menakarnakar rindu padaNya, menghitunghitung kekuatan melawan syaithan. ______________ Sudah pukul empat pagi ketika saya mulai menulis ini, dan dari masjid masih terdengar suara imam memimpin shalat tahajjud. Tartil, merdu, indah. Percayalah, menuliskan ini butuh banyak kekuatan. Ini pertama kalinya mengenalkan kehidupan baruku kepada rumah abu-abu ini. Dan  sepotong cerita pagi tentang Tahfidz Putra Darul Istiqamah,  its more than wonderful masyaallah. Masih pukul tiga-an, ketika qadarullah saya terbangun karena sebuah mimpi. Dalam proses memperbaiki posisi tidur kembali, di waktu ketika bahkan kokok ayam belum satu pun terdengar, saya mengenal baik suarasuara air  dan langkah kaki santri-santri y