Skip to main content

Allah Itu, Kawan...(I)



Kehidupan ini, entah bagaimana Allah begitu selalu mampu membuat kita takjub karenanya. Ada banyak hal yang tak tertebak, lalu kuasaNya bekerja dengan sempurna.
Seperti hari ini, hari yang begitu hebat. Bukan karena parfum dan lima macam jualanku yang lainnya senantiasa menjadi kran rezeki yang deras, tapi anugerah yang jauh lebih harus kusyukuri daripada itu.

Pagi gelap, saat sedang meje membangunkan teman-teman  kutubers untuk tahajjud, saya menyempatkan masuk dalam grup  menulis; ODOP BATCH 3, membaca beberapa chat teman-teman yang tak sempat kuikuti. Selalu sama, riang rasanya tiap kali berkunjung di situ. Ada keakraban yang hangat padahal tak pernah ada yang kutemui secara langsung face to face. Saat sedang membaca, kudapati satu kabar bahagia dari mba Dewie Dean; Mba senior nan inspiratif yang mukim di negeri jiran. Beliau mengabari kalau draft kasar yang pernah dikirim ke penerbit mayor akhirnya diterima. Non fiksi dan penerbit mayor…its rock, masya Allah!

Pagi ba’da shubuh saya ke pengajian rutin pesantren. Awalnya malas-malasan, jin nemenin saya yang sedang walking di instagram. Tapi kemudian ingat status yang pernah kutulis di wall facebook, tulisan sederhana yang isinya mengajak warga selingkunganku khususnya untuk  berpengajian kecuali karena uzhur yang syar’i. Dan jelas, walking di instagram bukan uzhur yang syar’i tapi malas syaithaniy. Butuh beberapa menit untuk memaksa diri agar mau bergerak dan bersiap.

Di pengajian, QadaruLlah…saya bertemu Hafsah dan Shofiah. Dua kawan manis yang keren. Yang setanah tapi jarang sekali ketemu. Dan bukan hanya bertemu mereka, tapi juga beliau; seorang ustadzah shalehah nan bijaksana. Ibu istimewa yang langka. Seorang ibu yang dikarunia Allah kelapangan hati untuk menerima anak perempuan satu-satunya_ yang cantik, berkarakter, cerdas dan shalehah_ dimadu. Kawan, kau tahu apa yang beliau katakan padaku?

“Nak, semua ini sudah takdir Allah. Lagipula, mereka yang memilih jalan seperti ini. Memang tidak ada surga yang murah, semua butuh untuk diperjuangkan. Dan beginilah mungkin jalannya mereka. Kita boleh saja bersedih, tapi, anakku… kita juga harus ingat kalau ini sebenarnya syariat. Bukan dosa. Kita Cuma harus selalu mendoakan mereka.”

Masya Allah, kawan…bagaimanalah kusampaikan takjubku jika ada ibu yang selapang itu dengan takdir anak perempuan kebanggaannya? Yang kulakukan saat itu adalah hanya memegang tangan beliau sebentar, memberikan tubuh untuk beliau bersandar menyembunyikan wajah yang basah.

“Kalau orang lain tidak pernah liat saya menangis, ini Hikmah yang pertama kali liat saya menangis…”

Duhai Allahku! Bagaimanakah Engkau memegang hati hambaMu ini? Sesayang itukah Engkau? Meski beliau ingin meratap tapi ayat-ayatMu sudah beliau gigit kuat-kuat, meresap dan imanlah yang membuatnya bersikap demikian.

Maka yang kupunya adalah doa dan keyakinan, bahwa takdirMu pada hamba-hambaMu yang taat Engkau akan indahkan. Cepat ataupun lambat.

Ba’da pengajian, mengurus Oofa yang harus berangkat ke sekolah. Hangat karena gak perlu ada drama yang panjang untuk membujuk dia agar bergegas.

Ba’da dhuhur, saya ke acara aqiqahan. Ini acara yang manis, silaturrahim yang menyenangkan karena tidak ada suara panggilan yang meminta agar segera pulang ke rumah atau ke tempat kerja untuk mengikuti rapat di luar dari waktu shiftku. Sekitar satu jam makan dan mengobrol, itu sudah cukup surga buat saya yang sok sibuk setiap hari.

Pergi dan pulang aqiqah sama Hafsah yang lagi hamil muda empat bulan cukup bikin saya was-was sebenarnya. Jalan santai di siang bolong dengan jarak tempuh yang lumayan cukup jauh bikin dia ngos-ngosan dan teler setiba di rumah.

Dan hal yang paling harus kusyukuri terjadi ba’da maghrib sepulang dari rumah si Mommil itu...


Selasa, 21 Februari 2017

#onedayonepost 

Comments

Popular posts from this blog

Drama dalam Kepala Buibu

Assalamualaikum, rumahku... Apa kabar? masih dengan status "hidup ndak, mati ogah" yah, rumah? heheh iyya... i need you but always forget you yah. Sini peluk rumahku diriku bukuku! Eniwei, alhamdulillah, syukur yang dalam nan tulus karena Allah masih berikan kita kesempatan hidup sehat dalam keadaan masih muslim untuk ketemu Ramadhan ini; bulan penuh cinta paling hidup. Dear, rumahku. Temani saya ngobrol bout two choices yang lagi riuh pisah di kepalaku sendiri yah, here we go bismillah. Em, diskusi bout being a full mom at home atau being a working mom adalah topik yang menurutku ndak pernah etis  buat didebatkan mana yang paling mengambil peran termulia sebagai ibu dan mana yang 'ibu setengah mulia karena kerja di luar rumah' atau malah menjadi 'ibu kolot tidak terpelajar karena di rumah saja ngurus urusan dapur kasur', semua tergantung niat, kualitas diri dan keridhaan anak suami menurutku. Lets see the world, ada banyak ibu full time di

Kepada Dirimu, Hafsah.

Kepada dirimu, Ada waktu-waktu saat kita saling berbicara tentang kelu yang kita rasa bersama. Ada mata yang basah saat mengenang sedihnya menjadi perempuan seperti kita. Tapi itu dulu,  dua tiga tahun yang lalu. Kita sudah memilih berbahagia dengan banyak sekali cara, turut bergembira dan memeluk hangat, ketika kawan kita yang lebih dulu_ dan lagi-lagi_ diizinkan  Tuhan. Bukan kau atau aku. Kita sudah menyabarkan diri, memilih lebih percaya Tuhan Daripada sesak yang terus berlarut. Sesekali kembali basah, tapi tak mengapa membiarkannya  tumpah mungkin lebih baik Daripada berkarat hati dan runtuh kepercayaan padaNya, pada Tuhan yang lebih dekat daripada urat leher kita sendiri. Kau tahu?  Setiap kali aku ingin merutuki takdir, menangis sesegukan di ujung kasurku,  Saat setanku berbisik untuk mengutuk Tuhan, aku melihatmu. Duduk disampingku dengan mata sembab dan  luka yang lebih dibanding aku. Atau sekali waktu, kau datang dengan

Tahfidz Putra Darul Istiqamah Dan Surga Sebelum Surga

Air berkecipak Saling beradu pelan, syahdu dari gerakan-gerakan suara yang kutahu lebih baik dari kecipak air mandiku. Dalam gelap paling mustajab kakikaki itu pergi ke rumah tuhan. Masih dalam separuh buaian mimpi aku tahu, tuhanku juga memanggil lalu aku; dengan mata tertutup menakarnakar rindu padaNya, menghitunghitung kekuatan melawan syaithan. ______________ Sudah pukul empat pagi ketika saya mulai menulis ini, dan dari masjid masih terdengar suara imam memimpin shalat tahajjud. Tartil, merdu, indah. Percayalah, menuliskan ini butuh banyak kekuatan. Ini pertama kalinya mengenalkan kehidupan baruku kepada rumah abu-abu ini. Dan  sepotong cerita pagi tentang Tahfidz Putra Darul Istiqamah,  its more than wonderful masyaallah. Masih pukul tiga-an, ketika qadarullah saya terbangun karena sebuah mimpi. Dalam proses memperbaiki posisi tidur kembali, di waktu ketika bahkan kokok ayam belum satu pun terdengar, saya mengenal baik suarasuara air  dan langkah kaki santri-santri y