Hujan.
Seperti ribuan tetesnya yang jatuh, seperti itu pula kenangan-kenangan sigap menyerbu.
Mungkin memang sesyahdu itu Tuhan menciptakan.
Seperti kita. Tak perlu banyak puisi untuk bilang apapun tentang hujan. Dalam banyak waktu- waktu.
Hujan sudahlah seromantis itu. Dalam apapun keadaan.
Tentang luka yang kembali basah, pilu.
airmata yang tumpah sederas bah dari langit,
Di kelokan jalan, di sempitnya kamar pengungsian, di luasnya rumah yang sunyi, dalam sendiri memeluk diri, atau dalam peluk hangat dan tepuk bijak seorang kawan.
Hujan sudahlah seromantis itu. Dalam apapun keadaan.
Kekasih yang mengintip malu-malu di balik payung. Ayah yang bersegera namun tetap berhati-hati berkendara dalam derasnya air yang tumpah, hingga kabur penglihatan, buram sejauh mata memandang.
Sebab ingat, ada yang menunggu pulang dengan rindu. Maka ia harus tetap hidup.
Ibu yang tetap berjibaku dengan beras dan rerempahan di dapur, sebab tahu, hidangannya akan memberi cinta yang lebih banyak di udara yang lembab.
Aih, hujan...
Luka, pilu, bahagia dan pengharapan. Apapun namanya, seperti itulah Tuhan menciptakan.
Seromantis itu.
Seperti kita yang pernah memintal benang-benang sayang, sepayung kita berdua. Dulu, di lima tahun yang lalu.
Dan berbagai rasa kemudian ada, tak melulu tentang tenang, sesekali bergemuruh, sesekali air mata juga harus tumpah. Tapi mari bersyukur, sebab ribuan tetes air yang tumpah dari langit, kita masihlah baik-baik saja...
Sabtu, 04 Februari 2016
Serbuan kenangan di food court SPIDI
#onedayonepost
#entahbayaranutangyangmana
Comments
Post a Comment