Kukira di perjalanan kemarin, aku hanya akan menghadiri pernikahanmu. Melihatmu berbaju pengantin dan berdandan cantik.
Kukira di perjalanan
kemarin, hanya tentang merasai kembali hal-hal menyenangkan yang selalu
kurindu; pemandangan alam yang menenangkan, semilir angin desa yang terasa
lebih segar, aroma sawah yang selalu kusuka serta pemandangan bapak-ibu tani
yang sedang bekerja di sawah dan di
ladang.
Kukira hanya tentang menikmati dan mencoba memaknai pemandangan
orang-orang desa yang kujumpai di jalan; ibu-ibu yang sedang menjemur, menyapu
halaman rumah, mengambil beberapa ember air di bendungan kecil desa dan seorang
ibu yang sedang menggendong anaknya dari berbelanja snack-snack murah di
warung kecil.
Kukira hanya tentang
melihat dan sok bersimpati dengan lelah dan beratnya seorang bapak yang
membonceng banyak rumput pakan ternak di
motornya, sok bersimpati dengan panasnya terik matahari yang memanggang hitamkan
kulit para pekerja perbaikan jalanan desa.
Kukira perjalananku mengunjungimu kemarin hanya tentang semua
itu saja. Ternyata tidak, ternyata bukan hanya itu saja.
Lihatlah, kau berdiri cantik di atas pelaminan dengan dia
yang tak kau cintai. Belum kau cintai maksudku. Senyummu masih sama,
manis sekali. Tapi matamu basah, ada genangan kecil yang kau tahan sebisamu.
Dan aku bahkan tak lebih kuat darimu menahan airmataku. Terlalu banyak rasa di
dada hingga membuatku sesak, ada yang begitu sakit di leherku saat menahan
airmata untuk tak tumpah melihatmu.
Lihatlah, betapa kuat dirimu di atas sana..
Dan ingatanku mengembara, mengenang hal-hal yang kuingat
tentangmu.
***
Kau kawan manisku. Kita pertama kali bertemu di pendaftaran
mahasiswa baru tahun 2015 kemarin. Kita ternyata satu jurusan, sama-sama calon
anak bahasa. Hari-hari Awal perkuliahan, kita sudah menjadi kawan yang karib.
Ke mushalla bersama, masuk dalam kelas yang sama dan duduk berdekatan. Bahkan
dalam masa orientasi jurusan, kita menginap berdekatan di kamar yang sama. Awal
perkuliahan juga, aku sudah mengenal pacarmu. Dia ternyata teman sekelas kita juga. Sama
sepertimu; rapi, lucu dan baik tapi tidak lebih pintar kelihatannya darimu.
Semua kedekatan itu membuat kita nyaman satu sama lain. Kau
banyak bercerita dan bertanya denganku, aku pun begitu padamu. Kita sampai di
tahap tak perlu banyak kata untuk menyatakan semuanya, saling menatap saja
ketika mendapati hal-hal lucu ataupun sebaliknya, kita akan sama-sama bereaksi
seperti sewajarnya keadaan.
Kita pribadi yang hampir sama, sama-sama cukup terbuka dan
mudah memercayai orang. Maka banyak cerita yang mengalir di antara kita.
Tentang bahagiamu, keluargamu, adik manjamu dan tentu, tentang pacarmu juga.
Tentang hal-hal konyol rahasia yang kalian lakukan berdua. Dan aku akan tertawa
hingga berair mataku di sela-sela marah dan nasehatku padamu.
Kau bahagia dengannya, berkali bilang sangat sayang padanya
meski semua teman kelas kita terlalu sering menertawai kepolosannya,
termasuk aku. Aku juga sedikit banyak tahu jika ada masalah diantara
kalian; putus nyambung atau salah satu dari kalian ngambek.
Sebenarnya kalian pasangan yang begitu lucu. Kau cukup
memukau jika berbicara dan menjelaskan sementara pacarmu itu begitu lucu dan
polos jika berbicara. Kau tahu maksudku. Hal itu sudah menjadi hiburan
tersendiri buat teman-teman sekelas kita. Tapi kau masih setia menjadi
perempuannya selama lebih dari dua tahun.
Dan sampailah di hari itu, tidak lebih dari sebulan yang lalu
saat kau bercerita dengan setengah bercanda setengah pilu bahwa kau akan menjadi
istri orang. Ada orang yang melamar dan mamamu menyetujuinya tanpa berbicara banyak
dan meminta persetujuanmu sebelumnya. Kau bilang dengan suara yang begitu sedih
dan kecewa terhadap mamamu dan juga lelaki yang melamarmu. Lelaki itu teman
sepengajianmu , tahu betul bahwa kau punya pacar yang bahkan adalah teman
sepekerjaannya juga.
Aku begitu menolak dan menentang pacaran, apapun alasannya.
Sebab meski ada sekecil apapun kebaikan dalam pacaran tetap saja kebaikan itu
ada dalam koridor dosa. Setanlah yang mengindahkan semuanya.
Tapi bagaimanalah ini?
Demi melihat kau yang berbaju pengantin, berdiri cantik di
pelaminan tapi dengan mata yang basah dan senyum yang kau paksakan. Aku sungguh
merasa sesak. Sakit sekali rasanya hanya dengan melihat tanganmu yang
berkali-kali mengusap airmata agar tak sampai mengalir di pipimu. Dan aku di
ganggu setan, tiba-tiba saja begitu marah dengan lelaki berbaju pengantin di
sampingmu yang terus saja tersenyum tenang. Kuserapahi ia dalam hatiku tapi
bodohnya aku, serapahku bercampur dengan doa-doa kebaikan semoga kau segera
mampu mencintainya, semoga dia mampu menjagamu.
Karena meski
bagaimanapun, dialah yang mencintaimu sejantan Ali bin Abi Thalib radhiyaLlahu
anhu. Yang berprinsip ketika mencintai hanya akan ada dua sikap seorang lelaki
sejati; melamar atau melepaskan.
Karena meski aku sesak melihatmu berbaju pengantin dengan
mata yang basah, terlebih ketika mantan pacarmu datang, menjabat tangan
suamimu lalu berdiri di depanmu dan tak tahu hendak berkata apa. Aku tetaplah
berdoa pernikahanmu dengannya adalah semoga yang terbaik. Sungguh keputusan
yang dipilih suamimu dengan mencintai lalu melamarmu segera adalah keputusan
yang insya Allah di ridhaiNya. Begitulah memang seharusnya lelaki.
Aku sungguh tidak bersedih dengan pernikahanmu yang bukan
dengan lelaki teman kelas kita, airmataku hanya jatuh karena sisi perempuanku
di nodai setan. Itu saja.
Aku berbahagia. Semoga kau berbahagia selalu. Semoga berkah
rumah tanggamu, kawan. Dengan dan atas apa yang Allah berikan.
BarakaLlahu lakumaa wa barakah alaykumaa wa jamaa baynakumaa
fii Khayr..
A day after your
wedding day,
Rabu pagi,
091116.
Comments
Post a Comment