Skip to main content

Surat terbuka untukmu, Vii



Kukira di perjalanan kemarin, aku hanya akan menghadiri pernikahanmu. Melihatmu berbaju pengantin dan berdandan cantik.

 Kukira di perjalanan kemarin, hanya tentang  merasai  kembali hal-hal menyenangkan yang selalu kurindu; pemandangan alam yang menenangkan, semilir angin desa yang terasa lebih segar, aroma sawah yang selalu kusuka serta pemandangan bapak-ibu tani yang sedang bekerja  di sawah dan di ladang.

Kukira hanya tentang menikmati dan mencoba memaknai pemandangan orang-orang desa yang kujumpai di jalan; ibu-ibu yang sedang menjemur, menyapu halaman rumah, mengambil beberapa ember air di bendungan kecil desa dan seorang ibu yang sedang menggendong anaknya dari berbelanja snack-snack murah di warung kecil.

 Kukira hanya tentang melihat dan sok bersimpati dengan lelah dan beratnya seorang bapak yang membonceng  banyak rumput pakan ternak di motornya, sok bersimpati dengan panasnya terik matahari yang memanggang hitamkan kulit para pekerja perbaikan jalanan desa.

Kukira perjalananku mengunjungimu kemarin hanya tentang semua itu saja. Ternyata tidak, ternyata bukan hanya itu saja.

Lihatlah, kau berdiri cantik di atas pelaminan dengan dia yang tak kau cintai. Belum kau cintai maksudku. Senyummu masih sama, manis sekali. Tapi matamu basah, ada genangan kecil yang kau tahan sebisamu. Dan aku bahkan tak lebih kuat darimu menahan airmataku. Terlalu banyak rasa di dada hingga membuatku sesak, ada yang begitu sakit di leherku saat menahan airmata untuk tak tumpah melihatmu.

Lihatlah, betapa kuat dirimu di atas sana..

Dan ingatanku mengembara, mengenang hal-hal yang kuingat tentangmu.

***

Kau kawan manisku. Kita pertama kali bertemu di pendaftaran mahasiswa baru tahun 2015 kemarin. Kita ternyata satu jurusan, sama-sama calon anak bahasa. Hari-hari Awal perkuliahan, kita sudah menjadi kawan yang karib. Ke mushalla bersama, masuk dalam kelas yang sama dan duduk berdekatan. Bahkan dalam masa orientasi jurusan, kita menginap berdekatan di kamar yang sama. Awal perkuliahan juga, aku sudah mengenal pacarmu. Dia ternyata teman sekelas kita juga. Sama sepertimu; rapi, lucu dan baik tapi tidak lebih pintar kelihatannya darimu.

Semua kedekatan itu membuat kita nyaman satu sama lain. Kau banyak bercerita dan bertanya denganku, aku pun begitu padamu. Kita sampai di tahap tak perlu banyak kata untuk menyatakan semuanya, saling menatap saja ketika mendapati hal-hal lucu ataupun sebaliknya, kita akan sama-sama bereaksi seperti sewajarnya keadaan.

Kita pribadi yang hampir sama, sama-sama cukup terbuka dan mudah memercayai orang. Maka banyak cerita yang mengalir di antara kita. Tentang bahagiamu, keluargamu, adik manjamu dan tentu, tentang pacarmu juga. Tentang hal-hal konyol rahasia yang kalian lakukan berdua. Dan aku akan tertawa hingga berair mataku di sela-sela marah dan nasehatku padamu.

Kau bahagia dengannya, berkali bilang sangat sayang padanya meski semua teman kelas kita terlalu sering menertawai kepolosannya, termasuk aku. Aku  juga  sedikit banyak tahu jika ada masalah diantara kalian; putus nyambung atau salah satu dari kalian ngambek.
 
Sebenarnya kalian pasangan yang begitu lucu. Kau cukup memukau jika berbicara dan menjelaskan sementara pacarmu itu begitu lucu dan polos jika berbicara. Kau tahu maksudku. Hal itu sudah menjadi hiburan tersendiri buat teman-teman sekelas kita. Tapi kau masih setia menjadi perempuannya selama lebih dari dua tahun.

Dan sampailah di hari itu, tidak lebih dari sebulan yang lalu saat kau bercerita dengan setengah bercanda setengah pilu bahwa kau akan menjadi istri orang. Ada orang yang melamar dan mamamu menyetujuinya tanpa berbicara banyak dan meminta persetujuanmu sebelumnya. Kau bilang dengan suara yang begitu sedih dan kecewa terhadap mamamu dan juga lelaki yang melamarmu. Lelaki itu teman sepengajianmu , tahu betul bahwa kau punya pacar yang bahkan adalah teman sepekerjaannya juga.

Aku begitu menolak dan menentang pacaran, apapun alasannya. Sebab meski ada sekecil apapun kebaikan dalam pacaran tetap saja kebaikan itu ada dalam koridor dosa. Setanlah yang mengindahkan semuanya.

Tapi bagaimanalah ini?

Demi melihat kau yang berbaju pengantin, berdiri cantik di pelaminan tapi dengan mata yang basah dan senyum yang kau paksakan. Aku sungguh merasa sesak. Sakit sekali rasanya hanya dengan melihat tanganmu yang berkali-kali mengusap airmata agar tak sampai mengalir di pipimu. Dan aku di ganggu setan, tiba-tiba saja begitu marah dengan lelaki berbaju pengantin di sampingmu yang terus saja tersenyum tenang. Kuserapahi ia dalam hatiku tapi bodohnya aku, serapahku bercampur dengan doa-doa kebaikan semoga kau segera mampu mencintainya, semoga dia mampu menjagamu.

Karena meski bagaimanapun, dialah yang mencintaimu sejantan Ali bin Abi Thalib radhiyaLlahu anhu. Yang berprinsip ketika mencintai hanya akan ada dua sikap seorang lelaki sejati; melamar atau melepaskan.

Karena meski aku sesak melihatmu berbaju pengantin dengan mata yang basah, terlebih ketika mantan pacarmu datang, menjabat tangan suamimu lalu berdiri di depanmu dan tak tahu hendak berkata apa. Aku tetaplah berdoa pernikahanmu dengannya adalah semoga yang terbaik. Sungguh keputusan yang dipilih suamimu dengan mencintai lalu melamarmu segera adalah keputusan yang insya Allah di ridhaiNya. Begitulah memang seharusnya lelaki.

Aku sungguh tidak bersedih dengan pernikahanmu yang bukan dengan lelaki teman kelas kita, airmataku hanya jatuh karena sisi perempuanku di nodai setan. Itu saja.

Aku berbahagia. Semoga kau berbahagia selalu. Semoga berkah rumah tanggamu, kawan. Dengan dan atas apa yang Allah berikan.

BarakaLlahu lakumaa wa barakah alaykumaa wa jamaa baynakumaa fii Khayr..





A day after your wedding day,
Rabu pagi, 091116.

Comments

Popular posts from this blog

Drama dalam Kepala Buibu

Assalamualaikum, rumahku... Apa kabar? masih dengan status "hidup ndak, mati ogah" yah, rumah? heheh iyya... i need you but always forget you yah. Sini peluk rumahku diriku bukuku! Eniwei, alhamdulillah, syukur yang dalam nan tulus karena Allah masih berikan kita kesempatan hidup sehat dalam keadaan masih muslim untuk ketemu Ramadhan ini; bulan penuh cinta paling hidup. Dear, rumahku. Temani saya ngobrol bout two choices yang lagi riuh pisah di kepalaku sendiri yah, here we go bismillah. Em, diskusi bout being a full mom at home atau being a working mom adalah topik yang menurutku ndak pernah etis  buat didebatkan mana yang paling mengambil peran termulia sebagai ibu dan mana yang 'ibu setengah mulia karena kerja di luar rumah' atau malah menjadi 'ibu kolot tidak terpelajar karena di rumah saja ngurus urusan dapur kasur', semua tergantung niat, kualitas diri dan keridhaan anak suami menurutku. Lets see the world, ada banyak ibu full time di

Kepada Dirimu, Hafsah.

Kepada dirimu, Ada waktu-waktu saat kita saling berbicara tentang kelu yang kita rasa bersama. Ada mata yang basah saat mengenang sedihnya menjadi perempuan seperti kita. Tapi itu dulu,  dua tiga tahun yang lalu. Kita sudah memilih berbahagia dengan banyak sekali cara, turut bergembira dan memeluk hangat, ketika kawan kita yang lebih dulu_ dan lagi-lagi_ diizinkan  Tuhan. Bukan kau atau aku. Kita sudah menyabarkan diri, memilih lebih percaya Tuhan Daripada sesak yang terus berlarut. Sesekali kembali basah, tapi tak mengapa membiarkannya  tumpah mungkin lebih baik Daripada berkarat hati dan runtuh kepercayaan padaNya, pada Tuhan yang lebih dekat daripada urat leher kita sendiri. Kau tahu?  Setiap kali aku ingin merutuki takdir, menangis sesegukan di ujung kasurku,  Saat setanku berbisik untuk mengutuk Tuhan, aku melihatmu. Duduk disampingku dengan mata sembab dan  luka yang lebih dibanding aku. Atau sekali waktu, kau datang dengan

Tahfidz Putra Darul Istiqamah Dan Surga Sebelum Surga

Air berkecipak Saling beradu pelan, syahdu dari gerakan-gerakan suara yang kutahu lebih baik dari kecipak air mandiku. Dalam gelap paling mustajab kakikaki itu pergi ke rumah tuhan. Masih dalam separuh buaian mimpi aku tahu, tuhanku juga memanggil lalu aku; dengan mata tertutup menakarnakar rindu padaNya, menghitunghitung kekuatan melawan syaithan. ______________ Sudah pukul empat pagi ketika saya mulai menulis ini, dan dari masjid masih terdengar suara imam memimpin shalat tahajjud. Tartil, merdu, indah. Percayalah, menuliskan ini butuh banyak kekuatan. Ini pertama kalinya mengenalkan kehidupan baruku kepada rumah abu-abu ini. Dan  sepotong cerita pagi tentang Tahfidz Putra Darul Istiqamah,  its more than wonderful masyaallah. Masih pukul tiga-an, ketika qadarullah saya terbangun karena sebuah mimpi. Dalam proses memperbaiki posisi tidur kembali, di waktu ketika bahkan kokok ayam belum satu pun terdengar, saya mengenal baik suarasuara air  dan langkah kaki santri-santri y