Skip to main content

Cepat sembuh, sayang.

Anakku sakit. 

Kata orang, penyakit seperti itu akan diidap semua manusia. Setidaknya sekali seumur hidup.
Tidak usah kusebutkan dia sedang menderita sakit apa. Karena sakitnya begitu tidak keren namanya. Aku heran kenapa masih ada sakit seperti itu di zaman yang modern ini.

(Oh, anggap aku gila. Aku memang ummi yang seperti ini).

Aku kasihan, tapi juga tak sanggup melihatnya lama.   Bahkan, aku sedikit ogah membiarkan kulitku bersentuhan langsung dengan kulitnya. Separuh karena kata orang yang berpendidikan, bahwa penyakit demikian amat mudah menular dan separuhnya lagi karena aku memang sedikit jijik. Bukan jijik yang sungguhan jijik ( aku tak setega itu ), tapi karena aku memang tak pernah bisa melihat luka. Bahkan meski luka yang tertusuk jarum saja. Apalagi jika ada darah atau nanah. Kepalaku akan sedikit pening dan perutku akan mual. Lalu mengingatnya dengan waktu yang cukup lama.

Dan anakku sedang sakit yang semacam itu.

Dia begitu menderita. Gatal yang sangat yang dia rasakan membuatnya tidak bisa tidur dengan nyenyak. Waktu tidur terlama yang dia nikmati selama empat hari ini tidak lebih dari dua jam. Suhu badannya tidak stabil, lehernya mulai susah ia gerakkan karena penyakit tidak keren itu sudah memenuhi hampir tiap inci lehernya. 

Aku harus bergantian dengan suamiku untuk tetap berjaga karena dia terus saja menangis, rewel karena dia sendiri tidak mengerti kenapa gatal yang dia rasakan tidak kunjung berhenti dan juga bingung karena begitu tersiksa dengan rasa gatalnya tapi juga takut jika terus menggaruk dan penyakit tidak keren itu semakin banyak di badannya.

Dan beginilah aku sekarang, menahan kantuk yang sangat. Bermenit-menit mengurusi dia yang rewel, terus mengipasinya hingga kembali tertidur dan beberapa menit selanjutnya melanjutkan tulisan curhat a la emak-emak ini.

Cepat sembuh, nak. Ummi rindu menyembunyikan wajah ummi di lehermu, sayang.

#OneDayOnePost

Comments

Popular posts from this blog

Drama dalam Kepala Buibu

Assalamualaikum, rumahku... Apa kabar? masih dengan status "hidup ndak, mati ogah" yah, rumah? heheh iyya... i need you but always forget you yah. Sini peluk rumahku diriku bukuku! Eniwei, alhamdulillah, syukur yang dalam nan tulus karena Allah masih berikan kita kesempatan hidup sehat dalam keadaan masih muslim untuk ketemu Ramadhan ini; bulan penuh cinta paling hidup. Dear, rumahku. Temani saya ngobrol bout two choices yang lagi riuh pisah di kepalaku sendiri yah, here we go bismillah. Em, diskusi bout being a full mom at home atau being a working mom adalah topik yang menurutku ndak pernah etis  buat didebatkan mana yang paling mengambil peran termulia sebagai ibu dan mana yang 'ibu setengah mulia karena kerja di luar rumah' atau malah menjadi 'ibu kolot tidak terpelajar karena di rumah saja ngurus urusan dapur kasur', semua tergantung niat, kualitas diri dan keridhaan anak suami menurutku. Lets see the world, ada banyak ibu full time di

Kepada Dirimu, Hafsah.

Kepada dirimu, Ada waktu-waktu saat kita saling berbicara tentang kelu yang kita rasa bersama. Ada mata yang basah saat mengenang sedihnya menjadi perempuan seperti kita. Tapi itu dulu,  dua tiga tahun yang lalu. Kita sudah memilih berbahagia dengan banyak sekali cara, turut bergembira dan memeluk hangat, ketika kawan kita yang lebih dulu_ dan lagi-lagi_ diizinkan  Tuhan. Bukan kau atau aku. Kita sudah menyabarkan diri, memilih lebih percaya Tuhan Daripada sesak yang terus berlarut. Sesekali kembali basah, tapi tak mengapa membiarkannya  tumpah mungkin lebih baik Daripada berkarat hati dan runtuh kepercayaan padaNya, pada Tuhan yang lebih dekat daripada urat leher kita sendiri. Kau tahu?  Setiap kali aku ingin merutuki takdir, menangis sesegukan di ujung kasurku,  Saat setanku berbisik untuk mengutuk Tuhan, aku melihatmu. Duduk disampingku dengan mata sembab dan  luka yang lebih dibanding aku. Atau sekali waktu, kau datang dengan

Tahfidz Putra Darul Istiqamah Dan Surga Sebelum Surga

Air berkecipak Saling beradu pelan, syahdu dari gerakan-gerakan suara yang kutahu lebih baik dari kecipak air mandiku. Dalam gelap paling mustajab kakikaki itu pergi ke rumah tuhan. Masih dalam separuh buaian mimpi aku tahu, tuhanku juga memanggil lalu aku; dengan mata tertutup menakarnakar rindu padaNya, menghitunghitung kekuatan melawan syaithan. ______________ Sudah pukul empat pagi ketika saya mulai menulis ini, dan dari masjid masih terdengar suara imam memimpin shalat tahajjud. Tartil, merdu, indah. Percayalah, menuliskan ini butuh banyak kekuatan. Ini pertama kalinya mengenalkan kehidupan baruku kepada rumah abu-abu ini. Dan  sepotong cerita pagi tentang Tahfidz Putra Darul Istiqamah,  its more than wonderful masyaallah. Masih pukul tiga-an, ketika qadarullah saya terbangun karena sebuah mimpi. Dalam proses memperbaiki posisi tidur kembali, di waktu ketika bahkan kokok ayam belum satu pun terdengar, saya mengenal baik suarasuara air  dan langkah kaki santri-santri y