SI BUNTING TANPA PASANGAN
Aku selalu menderita dengan banyak sekali luka,
Tapi selalu juga kuingat, hidupku hampir sama dengan
mereka.
: Tiap makhluk punya duka
Seperti halnya dia..
__________
Beberapa kali aku melihatnya berkeliaran sendirian , di simpang jalan
saat aku hendak berangkat kerja. Selalu sendirian dengan langkah yang kelewat
pelan dan hati-hati. Mungkin karena dia sudah mulai merasa berat membawa
makhluk-makhluk kecil dalam perutnya. Iya dia bunting.
Dan
pagi ini aku melihatnya lagi. Masih di simpang jalan yang sama saat aku hendak berangkat
kerja, melangkah dengan mata yang kosong dipinggir jalan raya yang dilalui
banyak kendaraan. Dia masih sendirian, dengan perut yang semakin besar dan tubuh
yang semakin payah.
“Dia sudah hamil tua, kak. Mungkin sebentar lagi akan
melahirkan, entah akan ditemani siapa saat proses persalinannya nanti.
Kasihan”. Kata seorang adik manis yang sengaja singgah di dekatku tanpa
kutanya. Mungkin menangkap ekspresi iba di wajahku yang sedang melihat si
bunting tanpa keluarga itu.
Dia
sedang duduk setengah berbaring di bawah pohon jambu air sambil mengelus- elus
perutnya yang sudah kelewat besar
menurutku. Mungkin ini juga adalah pertama kalinya dia hamil dengan jumlah bayi
yang kutaksir ada 4 itu. Aku merogoh tasku, siapa tahu ada makanan yang bisa
kubagi, tapi kurogoh berkali-kali pun tanganku tetap tak menemukan apa-apa. “
Ah, aku ke warung itu saja” Pikirku lebih baik begitu daripada tak bisa
memberikannya apapun.
“ Bu, tolong berikan aku 2 bungkus roti dan kerupuk rasa ikan
itu ” pesanku pada si ibu penjaga warung setelah melihat macam-macam jualannya.
Kupikir si bunting itu tentu suka dengan makanan seperti itu.
“ Kerupuk rasa ikan, nak?” Tanya si ibu dengan wajah yang
entah kenapa terlihat amat senang. Kuanggukkan kepalaku demi menjawab
pertanyaan ibu penjaga warung itu. “ Kau tahu nak, kerupuk rasa ikan ini sudah
kujual selama dua bulan lebih di warung kecilku ini, tapi tak ada seorang pembeli
pun yang pernah melirik apalagi membelinya. Padahal ini camilan khas kota kita
ini. Kau yang pertama,nak”. Lanjut si ibu sambil tersenyum dengan penjelasan
yang menurutku tidak penting itu. Aku hanya menganggukkan kepalaku demi
kesopanan meski sebenarnya aku tak peduli, toh
aku juga membelinya bukan untukku, tapi untuk si bunting tanpa
keluarga itu. Ah, dia pasti suda```h kelaparan.
Setelah menerima
bungkusan pesananku, aku segera membayarnya. Khawatir kalau si bunting itu
sudah pergi.
Aku melihatnya masih di tempat dan posisi
yang sama, di bawah pohon jambu biji setengah berbaring. Tapi kali ini dia
menyembunyikan wajahnya di balik lengan baju berbulu yang melekat di
tubuhnya. Ah, hidup pasti terlalu berat untuk dia tanggung sendirian.
Kulangkahkan kakiku mendekat padanya dengan pelan, berdehem dua kali dan akhirnya
dia mengangkat kepalanya. Mata kami berserobok. Ada lelah dan kesepian yang
tersirat jelas disana. Dia baru saja menangis, bulu mata lentiknya masih basah.
Aku mengerjap, pura-pura tak sadar dengan kesedihannya. Kuhembuskan napas pelan
dan merunduk tesenyum kecil menghadapnya.
“ Ini ada roti dan kerupuk rasa ikan, makanlah. Kau pasti kelaparan, bayimu butuh gizi ” Kukatakan begitu sambil kuserahkan bungkus
makanan yang sudah kubeli.
Tapi dia hanya diam,
memperbaiki duduknya dan menatapku lekat, tepat di bola mataku. Dan aku bisa
melihat luka yang basah dimatanya.
“ Aku harus pergi sekarang, semoga kau suka, selamat makan. ”
Aku mengucapkan kalimat itu dengan suara pelan sambil mendorong bungkus makanan
ke dekat kakinya yang terlipat lalu pergi. Tak ingin melihat dukanya lebih
lama.
__________
“ Oh untuk dia rupanya, nak.” Aku terperanjat. Si ibu penjaga
warung tadi ternyata sudah berdiri beberapa langkah dihadapanku. Dengan baju
daster ungu motif bunga- bunga seperti
yang sering dipakai mamaku di rumah, tas belanja dari daur ulang gelas-gelas
minuman bekas dan sandal jepit serta senyum kecil di wajahnya. Aku memandangnya
heran, tak mengerti apa maksudnya. Sejak tadi aku memang berjalan sambil
menunduk hingga tidak sadar dengan keberadaannya.
“Kau pemuda yang baik, nak”. Lanjut si ibu sebelum aku
berkata apapun. “Dia si bunting tanpa pasangan. Dihamili kemudian ditinggalkan.
Tak ada siapapun yang tahu siapa pasangannya yang bejat itu dan bagaimana
keluarganya. Sejak awal, dia sudah datang sendirian di kota kita ini dengan
perut besarnya ”. Cerita panjang si ibu itu tanpa kuminta. Dia lalu memutar
badannya dan mulai berjalan. Ternyata dia melihatku memberikan belanjaan yang kubeli di warungnya tadi
kepada si bunting itu. Ah, aku bahkan baru saja mengerti arah pembicaraannya.
Aku dan si ibu berjalan bersisian, aku tak tahu apa yang
membuatku tetap berjalan disampingnya dengan jarak yang tak terlalu jauh.
Mungkin karena sebenarnya akupun penasaran dengan kisah si bunting itu. Luka
dan kesepian yang kulihat jelas dimatanya sungguh menggangguku. Aku iba, itu
saja.
“ Sejak dia datang pertama kali dengan perutnya yang mulai
membesar, tak ada warga kota yang mengaku pernah mendengar suaranya. Mungkin
luka yang dimilikinya terlalu dalam hingga bersuara pun dia kesusahan atau
mungkin dia memang bisu. Entahlah. Tak
ada yang tahu siapa dan bagaimana dia sebenarnya. Si bunting itu sungguh
kasihan. Ah, kucing betina yang sungguh malang ”. Katanya pelan, ia tentu
merasa iba. Cerita panjang si bunting itu ditutup oleh si ibu penjaga warung
dengan kalimat yang sangat tepat, sekaligus pilu. Aku dan si ibu melanjutkan
perjalanan dalam diam, sama- sama sibuk dengan pikiran masing-masing.
“Iya, dia kucing bunting yang sungguh malang” Aku mengucapkan
kalimat ini dengan rasa iba yang sama. Kasihan dia. Tak bisa kubayangkan jika
aku yang mengalami hal tersebut.
Aku mengangkat kepalaku, sedikit menengadah melihat pohon
mangga di pinggir jalan yang sebentar lagi akan kulewati. Separuh dari batang
dan daun-daun pohon mangga itu sudah terkena sinar matahari. Hari ternyata
sudah beranjak terang. Kulirik jam yang melingkar longgar di pergelangan
kurusku, sebentar lagi aku akan terlambat. Aku pamit pada si ibu penjaga
warung. Berterima kasih entah untuk apa lalu bergegas melangkah menuju tempat kerjaku.
___________
Hariku harus terus berlanjut. Sudah kukirim doa sederhana
pada Tuhan untuk si kucing bunting itu agar setidaknya dia mendapat tempat
bersalin yang baik. Agar dia mendapat sedikit kebahagiaan. Bahwa tanpa pasangan
dan keluarga sekalipun, bayi-bayi merahnya bisa mendapat kesempatan untuk
berbahagia dari sejak pertama kali mereka menjadi makhluk hidup. Toh seekor
kucing bunting yang hidup di pinggir jalan sekalipun adalah makhluk Tuhan, dia
punya insting untuk merasa.
Tamat.
Sekolah Putri Darul Istiqamah,
Sabtu, 05 November 2016
Hikmah
Ali_
#Tantangandeskripsi
#tantanganpakdosen
#OneDayOnePost
Comments
Post a Comment