Skip to main content

Cerpen Pertama



SI BUNTING TANPA PASANGAN

Aku selalu menderita dengan banyak sekali luka,
Tapi selalu juga kuingat, hidupku hampir sama dengan mereka.
: Tiap makhluk punya duka
Seperti halnya dia..
__________
         
                  Beberapa kali aku melihatnya berkeliaran sendirian , di simpang jalan saat aku hendak berangkat kerja. Selalu sendirian dengan langkah yang kelewat pelan dan hati-hati. Mungkin karena dia sudah mulai merasa berat membawa makhluk-makhluk kecil dalam perutnya. Iya dia bunting.
 
                 Dan pagi ini aku melihatnya lagi. Masih di simpang jalan yang sama saat aku hendak berangkat kerja, melangkah dengan mata yang kosong dipinggir jalan raya yang dilalui banyak kendaraan. Dia masih sendirian, dengan perut yang semakin besar dan tubuh yang semakin payah.
“Dia sudah hamil tua, kak. Mungkin sebentar lagi akan melahirkan, entah akan ditemani siapa saat proses persalinannya nanti. Kasihan”. Kata seorang adik manis yang sengaja singgah di dekatku tanpa kutanya. Mungkin menangkap ekspresi iba di wajahku yang sedang melihat si bunting tanpa keluarga itu.

               Dia sedang duduk setengah berbaring di bawah pohon jambu air sambil mengelus- elus perutnya  yang sudah kelewat besar menurutku. Mungkin ini juga adalah pertama kalinya dia hamil dengan jumlah bayi yang kutaksir ada 4 itu. Aku merogoh tasku, siapa tahu ada makanan yang bisa kubagi, tapi kurogoh berkali-kali pun tanganku tetap tak menemukan apa-apa. “ Ah, aku ke warung itu saja” Pikirku lebih baik begitu daripada tak bisa memberikannya apapun.

“ Bu, tolong berikan aku 2 bungkus roti dan kerupuk rasa ikan itu ” pesanku pada si ibu penjaga warung setelah melihat macam-macam jualannya. Kupikir si bunting itu tentu suka dengan makanan seperti itu.

“ Kerupuk rasa ikan, nak?” Tanya si ibu dengan wajah yang entah kenapa terlihat amat senang. Kuanggukkan kepalaku demi menjawab pertanyaan ibu penjaga warung itu. “ Kau tahu nak, kerupuk rasa ikan ini sudah kujual selama dua bulan lebih di warung kecilku ini, tapi tak ada seorang pembeli pun yang pernah melirik apalagi membelinya. Padahal ini camilan khas kota kita ini. Kau yang pertama,nak”. Lanjut si ibu sambil tersenyum dengan penjelasan yang menurutku tidak penting itu. Aku hanya menganggukkan kepalaku demi kesopanan meski sebenarnya aku tak peduli, toh  aku juga membelinya bukan untukku, tapi untuk si bunting tanpa keluarga itu. Ah, dia pasti suda```h kelaparan.
 
 Setelah menerima bungkusan pesananku, aku segera membayarnya. Khawatir kalau si bunting itu sudah pergi.

         Aku melihatnya masih di tempat dan posisi yang sama, di bawah pohon jambu biji setengah berbaring. Tapi kali ini dia menyembunyikan wajahnya di balik lengan baju berbulu yang melekat di tubuhnya. Ah, hidup pasti terlalu berat untuk dia tanggung sendirian. Kulangkahkan kakiku mendekat padanya dengan pelan, berdehem dua kali dan akhirnya dia mengangkat kepalanya. Mata kami berserobok. Ada lelah dan kesepian yang tersirat jelas disana. Dia baru saja menangis, bulu mata lentiknya masih basah. Aku mengerjap, pura-pura tak sadar dengan kesedihannya. Kuhembuskan napas pelan dan merunduk tesenyum kecil menghadapnya.

“ Ini ada roti dan kerupuk rasa ikan, makanlah. Kau pasti kelaparan, bayimu butuh gizi ” Kukatakan begitu sambil kuserahkan bungkus makanan yang sudah kubeli.

Tapi  dia hanya diam, memperbaiki duduknya dan menatapku lekat, tepat di bola mataku. Dan aku bisa melihat luka yang basah dimatanya.

“ Aku harus pergi sekarang, semoga kau suka, selamat makan. ” Aku mengucapkan kalimat itu dengan suara pelan sambil mendorong bungkus makanan ke dekat kakinya yang terlipat lalu pergi. Tak ingin melihat dukanya lebih lama.

__________

“ Oh untuk dia rupanya, nak.” Aku terperanjat. Si ibu penjaga warung tadi ternyata sudah berdiri beberapa langkah dihadapanku. Dengan baju daster ungu  motif bunga- bunga seperti yang sering dipakai mamaku di rumah, tas belanja dari daur ulang gelas-gelas minuman bekas dan sandal jepit serta senyum kecil di wajahnya. Aku memandangnya heran, tak mengerti apa maksudnya. Sejak tadi aku memang berjalan sambil menunduk hingga tidak sadar dengan keberadaannya.

“Kau pemuda yang baik, nak”. Lanjut si ibu sebelum aku berkata apapun. “Dia si bunting tanpa pasangan. Dihamili kemudian ditinggalkan. Tak ada siapapun yang tahu siapa pasangannya yang bejat itu dan bagaimana keluarganya. Sejak awal, dia sudah datang sendirian di kota kita ini dengan perut besarnya ”. Cerita panjang si ibu itu tanpa kuminta. Dia lalu memutar badannya dan mulai berjalan. Ternyata dia melihatku memberikan  belanjaan yang kubeli di warungnya tadi kepada si bunting itu. Ah, aku bahkan baru saja mengerti arah pembicaraannya.

Aku dan si ibu berjalan bersisian, aku tak tahu apa yang membuatku tetap berjalan disampingnya dengan jarak yang tak terlalu jauh. Mungkin karena sebenarnya akupun penasaran dengan kisah si bunting itu. Luka dan kesepian yang kulihat jelas dimatanya sungguh menggangguku. Aku iba, itu saja.

“ Sejak dia datang pertama kali dengan perutnya yang mulai membesar, tak ada warga kota yang mengaku pernah mendengar suaranya. Mungkin luka yang dimilikinya terlalu dalam hingga bersuara pun dia kesusahan atau mungkin dia memang bisu. Entahlah. Tak  ada yang tahu siapa dan bagaimana dia sebenarnya. Si bunting itu sungguh kasihan. Ah, kucing betina yang sungguh malang ”. Katanya pelan, ia tentu merasa iba. Cerita panjang si bunting itu ditutup oleh si ibu penjaga warung dengan kalimat yang sangat tepat, sekaligus pilu. Aku dan si ibu melanjutkan perjalanan dalam diam, sama- sama sibuk dengan pikiran masing-masing.

“Iya, dia kucing bunting yang sungguh malang” Aku mengucapkan kalimat ini dengan rasa iba yang sama. Kasihan dia. Tak bisa kubayangkan jika aku yang mengalami hal tersebut.

Aku mengangkat kepalaku, sedikit menengadah melihat pohon mangga di pinggir jalan yang sebentar lagi akan kulewati. Separuh dari batang dan daun-daun pohon mangga itu sudah terkena sinar matahari. Hari ternyata sudah beranjak terang. Kulirik jam yang melingkar longgar di pergelangan kurusku, sebentar lagi aku akan terlambat. Aku pamit pada si ibu penjaga warung. Berterima kasih entah untuk apa lalu bergegas melangkah menuju tempat kerjaku.
___________

Hariku harus terus berlanjut. Sudah kukirim doa sederhana pada Tuhan untuk si kucing bunting itu agar setidaknya dia mendapat tempat bersalin yang baik. Agar dia mendapat sedikit kebahagiaan. Bahwa tanpa pasangan dan keluarga sekalipun, bayi-bayi merahnya bisa mendapat kesempatan untuk berbahagia dari sejak pertama kali mereka menjadi makhluk hidup. Toh seekor kucing bunting yang hidup di pinggir jalan sekalipun adalah makhluk Tuhan, dia punya insting untuk merasa.


Tamat.


                                  
 Sekolah Putri Darul Istiqamah,
 Sabtu, 05 November 2016
Hikmah Ali_  


#Tantangandeskripsi
#tantanganpakdosen
#OneDayOnePost

Comments

Popular posts from this blog

Drama dalam Kepala Buibu

Assalamualaikum, rumahku... Apa kabar? masih dengan status "hidup ndak, mati ogah" yah, rumah? heheh iyya... i need you but always forget you yah. Sini peluk rumahku diriku bukuku! Eniwei, alhamdulillah, syukur yang dalam nan tulus karena Allah masih berikan kita kesempatan hidup sehat dalam keadaan masih muslim untuk ketemu Ramadhan ini; bulan penuh cinta paling hidup. Dear, rumahku. Temani saya ngobrol bout two choices yang lagi riuh pisah di kepalaku sendiri yah, here we go bismillah. Em, diskusi bout being a full mom at home atau being a working mom adalah topik yang menurutku ndak pernah etis  buat didebatkan mana yang paling mengambil peran termulia sebagai ibu dan mana yang 'ibu setengah mulia karena kerja di luar rumah' atau malah menjadi 'ibu kolot tidak terpelajar karena di rumah saja ngurus urusan dapur kasur', semua tergantung niat, kualitas diri dan keridhaan anak suami menurutku. Lets see the world, ada banyak ibu full time di

Kepada Dirimu, Hafsah.

Kepada dirimu, Ada waktu-waktu saat kita saling berbicara tentang kelu yang kita rasa bersama. Ada mata yang basah saat mengenang sedihnya menjadi perempuan seperti kita. Tapi itu dulu,  dua tiga tahun yang lalu. Kita sudah memilih berbahagia dengan banyak sekali cara, turut bergembira dan memeluk hangat, ketika kawan kita yang lebih dulu_ dan lagi-lagi_ diizinkan  Tuhan. Bukan kau atau aku. Kita sudah menyabarkan diri, memilih lebih percaya Tuhan Daripada sesak yang terus berlarut. Sesekali kembali basah, tapi tak mengapa membiarkannya  tumpah mungkin lebih baik Daripada berkarat hati dan runtuh kepercayaan padaNya, pada Tuhan yang lebih dekat daripada urat leher kita sendiri. Kau tahu?  Setiap kali aku ingin merutuki takdir, menangis sesegukan di ujung kasurku,  Saat setanku berbisik untuk mengutuk Tuhan, aku melihatmu. Duduk disampingku dengan mata sembab dan  luka yang lebih dibanding aku. Atau sekali waktu, kau datang dengan

Tahfidz Putra Darul Istiqamah Dan Surga Sebelum Surga

Air berkecipak Saling beradu pelan, syahdu dari gerakan-gerakan suara yang kutahu lebih baik dari kecipak air mandiku. Dalam gelap paling mustajab kakikaki itu pergi ke rumah tuhan. Masih dalam separuh buaian mimpi aku tahu, tuhanku juga memanggil lalu aku; dengan mata tertutup menakarnakar rindu padaNya, menghitunghitung kekuatan melawan syaithan. ______________ Sudah pukul empat pagi ketika saya mulai menulis ini, dan dari masjid masih terdengar suara imam memimpin shalat tahajjud. Tartil, merdu, indah. Percayalah, menuliskan ini butuh banyak kekuatan. Ini pertama kalinya mengenalkan kehidupan baruku kepada rumah abu-abu ini. Dan  sepotong cerita pagi tentang Tahfidz Putra Darul Istiqamah,  its more than wonderful masyaallah. Masih pukul tiga-an, ketika qadarullah saya terbangun karena sebuah mimpi. Dalam proses memperbaiki posisi tidur kembali, di waktu ketika bahkan kokok ayam belum satu pun terdengar, saya mengenal baik suarasuara air  dan langkah kaki santri-santri y