Skip to main content

Sakit Mawar di Dua puluh Satu


"Ummi sakit? sabar ummi... Nabi Ayyub juga sakit, luka-luka badannya lama tapi tetap sabar. Sabar ummi, okeh ummi? hheheh"

Iyya, itu kalimat pertama  Oofa  (baca:Ufa) kepada saya sambil mendongak dan memegang ujung bajuku, saat saya meringis_sedikit berteriak_ bilang kepada suami dan mama bahwa saya tertular sakitnya Oofa yang dia bawa ke rumah beberapa hari lalu karena tertular juga oleh teman sekolahnya. Kalimat yang sama yang selalu saya dan suamiku ulang-ulang di telinganya saat dia terkena penyakit ini beberapa hari yang lalu. Penyakit yang saya heran kenapa masih ada di zaman modern ini.

Sebut saja nama penyakitnya mawar. Akhiran hurufnya sama. Penyakit yang tidak keren. Emang ada gituh penyakit yang keren, Hikmah? -___-

Iyya, saya akhirnya tertular penyakit ini, penyakit yang sejak nyantri kutakuti. Dan sekarang, di usiaku yang sudah dua puluh satu ini, punya suami, punya anak, kerja dan kuliah, Allah akhirnya membuatku merasakan penyakit mawar ini. Demam yang lama, tulang-tulang yang ngilu dan totol-totol merah berair di hampir sekujur badanku. Tidak ada hal lain yang bisa kulakukan selain berdoa dan berikhtiar menyembuhkannya. Minum air kelapa, mengoleskan salep, mengomsumsi obat tablet yang entah apa namanya dan juga tetap mandi. Setidaknya saya tidak akan terlalu menjijikkan jika dilihat.*mewek kencang*


Bapak bilang tadi, saat saya di hammam hendak berwudhu...

"Tidak akan mati seseorang sampai dia merasakan apa yang dia celakan dari orang lain"

Kalimat  itu bapak ucapkan setengah serius setengah bercanda. Mengingatkan saya yang sudah sedikit ogah memeluk langsung anak sendiri  tanpa kain. Lah kan wajar saja yah? #ngeles.

Intinya semoga Alllah jadikan ini penghapus dosa dan pengalaman pertama dan terakhirku.


Sabtu, 26 Nopember 2016
Dengan tulang-tulang yang ngilu, utang ngeodop harus tetap dilunasin, bukan? 

#onedayonepost
#anggapinitantangan





Comments

Popular posts from this blog

Drama dalam Kepala Buibu

Assalamualaikum, rumahku... Apa kabar? masih dengan status "hidup ndak, mati ogah" yah, rumah? heheh iyya... i need you but always forget you yah. Sini peluk rumahku diriku bukuku! Eniwei, alhamdulillah, syukur yang dalam nan tulus karena Allah masih berikan kita kesempatan hidup sehat dalam keadaan masih muslim untuk ketemu Ramadhan ini; bulan penuh cinta paling hidup. Dear, rumahku. Temani saya ngobrol bout two choices yang lagi riuh pisah di kepalaku sendiri yah, here we go bismillah. Em, diskusi bout being a full mom at home atau being a working mom adalah topik yang menurutku ndak pernah etis  buat didebatkan mana yang paling mengambil peran termulia sebagai ibu dan mana yang 'ibu setengah mulia karena kerja di luar rumah' atau malah menjadi 'ibu kolot tidak terpelajar karena di rumah saja ngurus urusan dapur kasur', semua tergantung niat, kualitas diri dan keridhaan anak suami menurutku. Lets see the world, ada banyak ibu full time di

Kepada Dirimu, Hafsah.

Kepada dirimu, Ada waktu-waktu saat kita saling berbicara tentang kelu yang kita rasa bersama. Ada mata yang basah saat mengenang sedihnya menjadi perempuan seperti kita. Tapi itu dulu,  dua tiga tahun yang lalu. Kita sudah memilih berbahagia dengan banyak sekali cara, turut bergembira dan memeluk hangat, ketika kawan kita yang lebih dulu_ dan lagi-lagi_ diizinkan  Tuhan. Bukan kau atau aku. Kita sudah menyabarkan diri, memilih lebih percaya Tuhan Daripada sesak yang terus berlarut. Sesekali kembali basah, tapi tak mengapa membiarkannya  tumpah mungkin lebih baik Daripada berkarat hati dan runtuh kepercayaan padaNya, pada Tuhan yang lebih dekat daripada urat leher kita sendiri. Kau tahu?  Setiap kali aku ingin merutuki takdir, menangis sesegukan di ujung kasurku,  Saat setanku berbisik untuk mengutuk Tuhan, aku melihatmu. Duduk disampingku dengan mata sembab dan  luka yang lebih dibanding aku. Atau sekali waktu, kau datang dengan

Tahfidz Putra Darul Istiqamah Dan Surga Sebelum Surga

Air berkecipak Saling beradu pelan, syahdu dari gerakan-gerakan suara yang kutahu lebih baik dari kecipak air mandiku. Dalam gelap paling mustajab kakikaki itu pergi ke rumah tuhan. Masih dalam separuh buaian mimpi aku tahu, tuhanku juga memanggil lalu aku; dengan mata tertutup menakarnakar rindu padaNya, menghitunghitung kekuatan melawan syaithan. ______________ Sudah pukul empat pagi ketika saya mulai menulis ini, dan dari masjid masih terdengar suara imam memimpin shalat tahajjud. Tartil, merdu, indah. Percayalah, menuliskan ini butuh banyak kekuatan. Ini pertama kalinya mengenalkan kehidupan baruku kepada rumah abu-abu ini. Dan  sepotong cerita pagi tentang Tahfidz Putra Darul Istiqamah,  its more than wonderful masyaallah. Masih pukul tiga-an, ketika qadarullah saya terbangun karena sebuah mimpi. Dalam proses memperbaiki posisi tidur kembali, di waktu ketika bahkan kokok ayam belum satu pun terdengar, saya mengenal baik suarasuara air  dan langkah kaki santri-santri y