Skip to main content

Manusia dan Rasa

 Rasa.
 
Entahlah bagaimana Tuhan menciptakan makhluk  itu. Ia Hidup, memiliki banyak saudara dan riuh bermain dalam diri manusia. Bahkan ajaibnya, satu makhluk rasa bisa menggandakan dirinya dengan banyak corak. Sesekali bisa tertebak mana rasa yang asli dan dominan tapi lebih sering lagi membingungkan. Entah rasa mana yang akan kita pilih dan lebih dinikmati, lalu rasa yang lain bisa kita abaikan..

Tuhan, KuasaNya tak tertebak, tak terjangkau. Lihatlah bagaimana Dia menciptakan manusia lengkap dengan akal dan hati. Ada yang hidup dengan menggunakan kedua elemen hebat itu; Hidup baik-baik saja dan bahagia dengan menjunjung  prinsip kebermanfaatan terhadap sesama. Seolah bahagia hanyalah ketika orang lain juga bahagia.

Tapi ada juga manusia yang seolah hidup dengan kehebatannya sendiri, hatinya mati karena serakah. Moralitas terakhir yang ia punya ikut ia gadaikan karena sesuatu yang fana. 

Lihatlah, berapa banyak manusia kaya raya, cerdas dan terhormat tapi hidup menjijikan. Merampas sisa-sisa yang orang kecil punya dengan banyak sekali cara. Seolah bahagia hanya kebutuhan mereka, seolah dunia harusnya hanya diisi oleh manusia sejenis mereka.

Lihatlah, berapa banyak manusia yang hidup dengan mengandalkan kepiawaian mulut dan jari mereka, berkoar-koar tentang aib saudara mereka sendiri, aib tetangga, bahkan aib orang-orang yang hanya mereka kenal dari media social saja. Lalu membiarkan manusia lain hidup seolah penuh dosa dan menjijikkan.

Iyya, hanya ada dua jenis manusia di dunia ini, menurutku.

Pertama, manusia yang hidup dengan tuntunan suara Tuhan dalam dirinya, yang terus berperang melawan sisi iblis yang sebenarnya juga mengalir dalam darahnya. Sekali khilaf, lalu diganti dengan banyak kebaikan. Tak ingin rasa suci yang dimiliki habis terhapus. Titik hitam tak boleh merusak akal dan hati. Manusia seperti ini sadar bahwa Tuhan tak pernah tidur. Tak ada hal yang sia-sia dan luput. Tak pernah ada batasan waktu untuk kebaikan selama malaikat Israil belum memberi kode panggilan untuk pulang.

Kedua, manusia serupa iblis. Aku takut membicarakan manusia sejenis ini, sebab aku tahu, aku kadang menjelma seperti mereka.

Lalu kau, manusia sejenis apakah dirimu?

Malam dengan hujan yang satu-satu,
22 Nopember 2016
#OneDayOnePost

Comments

Popular posts from this blog

Drama dalam Kepala Buibu

Assalamualaikum, rumahku... Apa kabar? masih dengan status "hidup ndak, mati ogah" yah, rumah? heheh iyya... i need you but always forget you yah. Sini peluk rumahku diriku bukuku! Eniwei, alhamdulillah, syukur yang dalam nan tulus karena Allah masih berikan kita kesempatan hidup sehat dalam keadaan masih muslim untuk ketemu Ramadhan ini; bulan penuh cinta paling hidup. Dear, rumahku. Temani saya ngobrol bout two choices yang lagi riuh pisah di kepalaku sendiri yah, here we go bismillah. Em, diskusi bout being a full mom at home atau being a working mom adalah topik yang menurutku ndak pernah etis  buat didebatkan mana yang paling mengambil peran termulia sebagai ibu dan mana yang 'ibu setengah mulia karena kerja di luar rumah' atau malah menjadi 'ibu kolot tidak terpelajar karena di rumah saja ngurus urusan dapur kasur', semua tergantung niat, kualitas diri dan keridhaan anak suami menurutku. Lets see the world, ada banyak ibu full time di

Kepada Dirimu, Hafsah.

Kepada dirimu, Ada waktu-waktu saat kita saling berbicara tentang kelu yang kita rasa bersama. Ada mata yang basah saat mengenang sedihnya menjadi perempuan seperti kita. Tapi itu dulu,  dua tiga tahun yang lalu. Kita sudah memilih berbahagia dengan banyak sekali cara, turut bergembira dan memeluk hangat, ketika kawan kita yang lebih dulu_ dan lagi-lagi_ diizinkan  Tuhan. Bukan kau atau aku. Kita sudah menyabarkan diri, memilih lebih percaya Tuhan Daripada sesak yang terus berlarut. Sesekali kembali basah, tapi tak mengapa membiarkannya  tumpah mungkin lebih baik Daripada berkarat hati dan runtuh kepercayaan padaNya, pada Tuhan yang lebih dekat daripada urat leher kita sendiri. Kau tahu?  Setiap kali aku ingin merutuki takdir, menangis sesegukan di ujung kasurku,  Saat setanku berbisik untuk mengutuk Tuhan, aku melihatmu. Duduk disampingku dengan mata sembab dan  luka yang lebih dibanding aku. Atau sekali waktu, kau datang dengan

Tahfidz Putra Darul Istiqamah Dan Surga Sebelum Surga

Air berkecipak Saling beradu pelan, syahdu dari gerakan-gerakan suara yang kutahu lebih baik dari kecipak air mandiku. Dalam gelap paling mustajab kakikaki itu pergi ke rumah tuhan. Masih dalam separuh buaian mimpi aku tahu, tuhanku juga memanggil lalu aku; dengan mata tertutup menakarnakar rindu padaNya, menghitunghitung kekuatan melawan syaithan. ______________ Sudah pukul empat pagi ketika saya mulai menulis ini, dan dari masjid masih terdengar suara imam memimpin shalat tahajjud. Tartil, merdu, indah. Percayalah, menuliskan ini butuh banyak kekuatan. Ini pertama kalinya mengenalkan kehidupan baruku kepada rumah abu-abu ini. Dan  sepotong cerita pagi tentang Tahfidz Putra Darul Istiqamah,  its more than wonderful masyaallah. Masih pukul tiga-an, ketika qadarullah saya terbangun karena sebuah mimpi. Dalam proses memperbaiki posisi tidur kembali, di waktu ketika bahkan kokok ayam belum satu pun terdengar, saya mengenal baik suarasuara air  dan langkah kaki santri-santri y