Skip to main content

Mengapa Aku Menikahkan Suamiku?


Karena meski ingin aku utuh memiliknya, dia sungguhlah bukan milikku.
Karena mencintainya adalah begini caraku.
: Menghadiahkannya perempuan lain dengan segala doa kebaikan untuk kami
Dalam bahtera tiga rantai cinta.
Semua karena Allah. Selalu semoga.


Dua puluh tiga tahun kami hidup dalam bahtera penuh berkah, penuh cinta yang semoga Allah ridhoi selalu. Memilikinya seolah telah cukup semua yang kumau. Sebab cintanya yang terlalu indah menjadikanku perempuan utuh.

: Memiliki imam yang shaleh serta anak-anak yang tumbuh sehat dan besar dengan prinsip ke-ayah-annya.

Dua puluh tiga tahun dalam bahtera romantis dan hanya aku perempuan penjaga ketaatannya. Azzamku membahagiakannya selalu tidak pernah melemah, begitupula dia kepadaku. Kami  telah berjanji untuk selalu menyatu dalam kebaikan. Kulayani ia dengan segenap mampu-ikhlasku. Segala masakan yang kuhidangkan, semua pakaian yang telah kusetrika rapi, segala hal yang ia butuh, semua nasehat yang kubisikkan lembut padanya adalah semua karena cinta, karena Allah.

Dan tibalah sekarang, saat aku siap membaginya pada perempuan lain, seorang gadis manis lagi shalihah. Hadiah untuk suamiku, pelengkap kebahagiaannya yang juga akan sama sepertiku; selalu berada disampingnya. Aku tahu dia mau, sebagaimana umumnya laki-laki. Hanya saja malu dan tak tega padaku, juga karena terlalu sayang pada anak-anak dan menantuku.

Kenapa aku ingin? Kenapa baru sekarang? Sungguhkah itu bukti cinta? Yakinkah aku ini jalan surga?
Berkali pertanyaan yang sama itu dilemparkan kepadaku. Ada yang bertanya dengan pelan dan tetap ingin menjaga hatiku tapi ada juga yang nyinyir mencemooh tak percaya kesanggupanku. Tak apa, ini keputusanku.

AlhamduliLlah Allah begitu maha penyayang, menunjukkan apa yang terbaik pada hambaNya, Kita percaya takdir, pilihan Allah akan mengiringi kebaikan besar dalam ketaatan kepadaNya.

Aku percaya bahwa menikahkan suami adalah puncak pengabdian istri, merelakan suami menikah adalah bukti kesetiaan istri dan merelakan suami menikah lagi adalah salah satu ukuran kematangan hidup sebagai mu’minah.

Aku percaya ini adalah hidayah, seperti namaku “ Hidayah” hadiah dari ettaku; kedua orangtuaku tercinta  ( رحمهما الله وجمعني وإياهما في الجنة ). Sangkaan baikku pada Allah adalah Allah memberi apa yang terbaik bukan apa yang aku ingin dan aku takutkan.

Suamiku adalah rumahku seutuhnya, ia bimbing aku dengan penuh doa dan cinta yang bijak. Maka kunikahkan ia sekarang. Mumpung aku masihlah sehat, kuat, subur, waras, masih cinta dan masih setia. Kunikahkan ia sekarang saat aku masih sanggup melayaninya 24 jam, menyiapkan pakaian yang tersetrika rapi dan wangi, serta saat aku masih sanggup melambaikan tangan menghantarnya keluar rumah.

Kunikahkan ia sekarang saat aku masih sungguh begitu cinta, sanggup mengendalikan diri dan membuktikan da’wah. Kuprakarsai monumen perjuangan ini, mencontoh para mu’minah shalihah dengan sepenuh doa agar tak ada godaan setan dan berujung pada riya’. Agar tak hanya menjadi keikhlasan semu tapi langkah yang jelas menuju surga.

Sebab aku mendamba bersisian dengan para wanita mulia di surga nanti: Khadijah, Aisyah, Maimunah dan istri-istri rasul SAW, sebab itu pula kami berikan nama yang indah itu kepada 7 putri-putri shalihah kami. Aku mendamba berdampingan dengan shahabiyah dan mu’minah-mu’minah dengan derajat yang hampir sama di surga nanti.

Maka yang kuharap adalah doa dan dukungan, sebab cemoohan hanya akan menjadi angin lalu.
Jalan menuju surga begitu banyak dan telah kupilih jalan ini. Bukan karena kepastian bahwa jalan ini adalah tiket gratis menuju surga, hanya saja aku khawatir ibadah-ibadah lainku takkan sanggup menghantarku ke surga. Sebab keikhlasanku teruslah teruji, keistiqamahanku ini akan menemui banyak kelokan, sedang aku masihlah amat kecil dibanding para pendahulu shalihin dan shalihat. Sedang Husnulkhatimah masihlah sebuah misteri.

Maka yang kubutuh adalah doa dan dukungan, sebab semua tergantung maunya Allah.
Ingin kuyakini bahwa ini adalah tapakku menuju surga, pembuktian pengamalan syari’ah suci, seperti tapak sama yang ummiku telah pilih.Aku cinta dan berbangga pada ummi mertuaku; Puang Murni( أطال الله عمرها وحفظها الله ورعاها ووفقها لطاعته ).
Mungkin saja aku akan merasa bersalah dengan keegoisanku jika tak merasakan apa yang telah beliau buktikan.

 Semoga kita  diperkenankan Allah bertemu kembali di surga, ummiku.
___________

 Sayangku, berbahagialah. Jangan sungkan!

Kebahagiaanmu adalah bahagiaku juga. Doamu abi diijabah Allah, harapan abah kita buktikan, anak-anak kita mendukung. Abi, bimbinganmu membuahkan hasil. Meski semua itu bukanlah syarat keabsahan jihad kita ini, paling tidak menjadi sebuah keteladanan berkeluarga bagi ummat ini.

Agama kita mengukur kedermawanan kita setiap saat, bi.Bahkan saat berkekurangan sekalipun. Makanan kita bagikan, perabot kita ikhlaskan, waktu kita korbankan. Bukankah meski nyawa  sekalipun mesti rela kita korbankan untuk agama ini, bukankah begitu bi?

Maka sekarang hakku sebagai istrimu satu-satunya..bismillah.. Kurelakan untuk adikku, istri jelitamu sayangku.
____________

Wahai adik manis, kemarilah!

Mari bersama melanjutkan perjalanan ini. Sebagai permaisuri baru, kuucapkan selamat datang dik! Aku siap berbagi pengalaman bagaimana menyemangati suami kita. Bersama berbagi waktu, bersama mengumpulkan pahala dalam ridha dan rahmatNya.

BarakaLlahu lakumaa wa Baraka ‘alaykumaa wa jamaa baynakumaa fii Khayr. 

 
  ******
Tulisan manis ini sebenarnya sudah terposting di banyak group whatsapp dan facebook, berkali-kali malah. Sebab tulisan ini adalah catatan yang amat manis dari guru kami, A. Hidayah Tenriajeng. Catatan tentang alasan - alasan beliau mengapa menikahkan suaminya sekitar dua minggu yang lalu, Selasa 11 Oktober 2016.

Dan karena rumahku ini adalah rumah yang manis juga *uhuk!ahahhah* maka saya juga ingin mengabadikannya disini. Mungkin someday, saya dan banyak perempuan lain diluar sana akan mencari tulisan  mendamaikan seperti ini.

Dan juga untuk mengingat, bahwa tulisan ini adalah pengalaman pertama saya menjadi editor resmi ( ciaahh bahasakuhh! Hahah )sebelum kemudian ter-share di banyak group dan media sosial. Whatever is, this is a sweet starting for me for being a writer. Amin.

Saya bahagia. Saya hanya ingin bilang itu sebenarnya.

Kampus Arafah, Selasa 01 November 2016

#OneDayOnePost








Comments

Popular posts from this blog

Drama dalam Kepala Buibu

Assalamualaikum, rumahku... Apa kabar? masih dengan status "hidup ndak, mati ogah" yah, rumah? heheh iyya... i need you but always forget you yah. Sini peluk rumahku diriku bukuku! Eniwei, alhamdulillah, syukur yang dalam nan tulus karena Allah masih berikan kita kesempatan hidup sehat dalam keadaan masih muslim untuk ketemu Ramadhan ini; bulan penuh cinta paling hidup. Dear, rumahku. Temani saya ngobrol bout two choices yang lagi riuh pisah di kepalaku sendiri yah, here we go bismillah. Em, diskusi bout being a full mom at home atau being a working mom adalah topik yang menurutku ndak pernah etis  buat didebatkan mana yang paling mengambil peran termulia sebagai ibu dan mana yang 'ibu setengah mulia karena kerja di luar rumah' atau malah menjadi 'ibu kolot tidak terpelajar karena di rumah saja ngurus urusan dapur kasur', semua tergantung niat, kualitas diri dan keridhaan anak suami menurutku. Lets see the world, ada banyak ibu full time di

Kepada Dirimu, Hafsah.

Kepada dirimu, Ada waktu-waktu saat kita saling berbicara tentang kelu yang kita rasa bersama. Ada mata yang basah saat mengenang sedihnya menjadi perempuan seperti kita. Tapi itu dulu,  dua tiga tahun yang lalu. Kita sudah memilih berbahagia dengan banyak sekali cara, turut bergembira dan memeluk hangat, ketika kawan kita yang lebih dulu_ dan lagi-lagi_ diizinkan  Tuhan. Bukan kau atau aku. Kita sudah menyabarkan diri, memilih lebih percaya Tuhan Daripada sesak yang terus berlarut. Sesekali kembali basah, tapi tak mengapa membiarkannya  tumpah mungkin lebih baik Daripada berkarat hati dan runtuh kepercayaan padaNya, pada Tuhan yang lebih dekat daripada urat leher kita sendiri. Kau tahu?  Setiap kali aku ingin merutuki takdir, menangis sesegukan di ujung kasurku,  Saat setanku berbisik untuk mengutuk Tuhan, aku melihatmu. Duduk disampingku dengan mata sembab dan  luka yang lebih dibanding aku. Atau sekali waktu, kau datang dengan

Tahfidz Putra Darul Istiqamah Dan Surga Sebelum Surga

Air berkecipak Saling beradu pelan, syahdu dari gerakan-gerakan suara yang kutahu lebih baik dari kecipak air mandiku. Dalam gelap paling mustajab kakikaki itu pergi ke rumah tuhan. Masih dalam separuh buaian mimpi aku tahu, tuhanku juga memanggil lalu aku; dengan mata tertutup menakarnakar rindu padaNya, menghitunghitung kekuatan melawan syaithan. ______________ Sudah pukul empat pagi ketika saya mulai menulis ini, dan dari masjid masih terdengar suara imam memimpin shalat tahajjud. Tartil, merdu, indah. Percayalah, menuliskan ini butuh banyak kekuatan. Ini pertama kalinya mengenalkan kehidupan baruku kepada rumah abu-abu ini. Dan  sepotong cerita pagi tentang Tahfidz Putra Darul Istiqamah,  its more than wonderful masyaallah. Masih pukul tiga-an, ketika qadarullah saya terbangun karena sebuah mimpi. Dalam proses memperbaiki posisi tidur kembali, di waktu ketika bahkan kokok ayam belum satu pun terdengar, saya mengenal baik suarasuara air  dan langkah kaki santri-santri y