Ada suara lirih yang syahdu dari arah kebun samping rumah.
"Mama... dimanaki?"
"..."
"Ma... di kebunki?"
"Kenapa? iyya, disinika. Kenapa?"
"dzikirki? atau mengajiki?"
"berzikir-zikirka. Dimana sajaki, dalam keadaan apapun, biar orang dalam keadaan lapang dan sempit tetap harus zikir."
"didih...masya Allah. Begitu memang kalau nenek berkualitaski"
"Apa?"
"Ndaji Ma. Dzikirmki lagi"
*****
Itu percakapan singkat (dengan tambahan not2 bahasa daerah kami) saya dengan mama sebelum shalat ashar tadi. Saat dari arah kebun samping rumah ada suara lirih yang syahdu terdengar sampai ke dalam kamarku.
Dan selepas shalat ashar, suara mama yang sambil berkebun itu masih terdengar. Tapi bukan lagi suara dzikir yang lirih, tapi suara murajaah hafalannya yang cukup jelas, surah al-mulk.
Iyya, mama adalah apa yang sering beliau katakan. Bahwa dalam keadaan apapun, mama tidak pernah lupa kebiasaann yang juga sudah menjadi kebutuhannya, dzikir dan mengaji. Dan di waktu pagi senantiasa shalat dhuha'.
Mama, serendah apapun pendidikan sekolah yang pernah mama jejaki, beliau adalah teladan buat saya dan saudara-saudara dalam banyak hal. Misalnya dalam hal memberi, karena mama tahu kami dari keluarga yang tak bisa berbagi harta berupa uang dan semacamnya kepada orang-orang yang butuh, maka mama berkebun, menanam apa yang mama bisa untuk dibagi kepada tetangga, sesama warga pesantren dan teman-teman donatur anak panti yang mama asuh. Mama selalu bilang, memberi itu soal kebiasaan. Kalau saat miskin saja susah untuk memberi maka jika sudah kaya, meminjamkan orang sepasang sendal pun akan susah, berat sekali.
Maka di kebun sekeliling rumah, depan, belakang dan samping kiri kanan, tumbuh beberapa tanaman yang mama tanam dengan penuh pengharapan bahwa kelak ketika sudah berbuah atau sudah bisa dimasak orang lain juga bisa merasakannya.
Ada beberapa pohon pepaya, lombok, sayur, ubi ungu, ubi kayu a.k.a singkong dan keladi, kemangi, markisa dan beberapa tanaman yang terus ditanam berganti-gantian. Seperti terong, timun dan tanaman obat.
Mama dalam beberapa sisi adalah seperti mama-mama lainnya. Cerewet dan suka marah-marah. Tapi seperti halnya juga mama-mama lainnya. Mama adalah pemilik cinta yang kapasitasnya tak terbendung. Mama sudah punya ratusan anak, yang kandung hanya 9 anak termasuk saya. selebihnya adalah anak orang lain. Mama sudah 20 tahun lebih menjadi pengasuh anak panti, sejak awal-awal tinggal dan menjadi warga pesantren Darul Istiqamah pusat di tahun '86.
Diantara anak-anak mama adalahh anak-anak yang benar-benar yatim piatu, anak2 yang yatim/ piatu, anak yangditinggal orangtuanya, anak2 yang butuh sekolah, anak yang sempat dijual oleh mamanya sendiri, anak2 yang orang tuanya sendiri menitipkan untuk dirawat dan diurus kehidupan kecil dan sekolahnya karena alasan ekonomi yang mencekik.
Dan hingga kini, ketika ratusan dari anak-anak itu sudah besar, menjadi orang. Ada yang menjadi guru, kepala sekolah, dokter, tukang, mandor, kepala desa, imam masjid, pegawai roti, pengusaha dan profesi lainnya dan ketika rumah yang dulu kami sesaki tinggal bersama telah terbakar habis dan mereka di alokasikan di cabang pesantren di Gowa, mama masih hidup sebagai mama bagi puluhan anak-anak kecil asuhannya yang mama tiap hari pikirkan soal hal-hal yang mereka butuhkan. Tentang lauk, beras yang cepat sekali habis, alat tulis, alat mandi, tagihan listrik, pengganti piring gelas yang mudah sekali pecah ataupun hilang entah dibawa main kemana, bahkan soal garam dapur dan kecap penambah nafsu makan mereka, Meski sudah tidak serumah lagi dengan mereka, mama beserta bapak memikirkan dan memperjuangkan semuanya. Mendatangi donatur-donatur yang masih setia dan masih hidup setiap bulannya dan bolak balik 3-4 kali seminggu ke Gowa untuk mengantarkan apa yang bisa diantarkan untuk mereka dan membantu pengurus pesantren mengurus apapun yang mama bapak bisa untuk keluarnya dana dari donatur yayasan luar yang membagi hartanya untuk anak-anak yang membutuhkan,
Saya, meski bertahun-tahun kemudian baru lahir dan sadar bahwa mamaku bukan mamaku seutuhnya, sedikit banyak melihat perjuangan mama mengurus puluhan anak pantinya. Saat kecil, saat mesin cuci adalah benda yang amat mewah di rumah kami, saya sudah terbiasa melihat mama mencuci berbaskom-baskom besar cucian kotor dan pessing saudara lainku itu setiap harinya. Tumpukan pakaian yang harus dilipat dan dirapikan, Cucian piring yang menggunung setiap kali waktu makan hingga pecah dan kasar bukan main tapak kaki mama.
Tidak, meski saya menulis apa yang kusaksikan sendiri, itu sungguh masih bagian yang sangat kecil saja dari apa yang mama lakukan untuk kehidupan orang lain. Mama adalah nama dari akumulasi semua pengorbanan, keikhlasan dan kasih sayang.
Mama sudah hidup dengan semua kelelahan dan kepusingan untuk kehdupan orang lain, maka semoga saja pusing dan lelahnya mama adalah rasa liLlah. Karena Allah. Semoga Allah ridha menjadikan mama dan bapak menghuni firdausNya juga. Allahumma amin.
Senin, 28 Nopember 2016
#onedayonepost
#tantangan9
#tulisantakbolehedit
Comments
Post a Comment