Kau pernah?
Memiliki kawan yang seolah saudara.
Yang ketika kau ingat, kau merasa hangat.
Kau jarang memberi kabar, juga bertanya kabar.
Hanya sekali dua kali perjumpaan di lowongnya waktu,
tak lebih dari lima kali sepekan saling mengirim chat,
Bilang rindu dan sekedar mengobrol ria.
Tapi kau senantiasa merasa dekat, meski jauh sebenarnya.
Lalu waktu terus berjalan. Kau tak sadar, jarak memberi banyak pelajaran.
Memberi kawanmu ruang bebas mengubah diri semau yang ia mau, ia bahagia dengan banyak sekali cara.
Dan kau bertemu jeda. Sadar kalau ia bukan kawanmu seutuhnya.
Lalu mengenalinya lebih banyak hanya lewat media sosial miliknya, yang diam-diam kau stalk.
Kau merasa ada yang salah dengan hatimu. Entah.
Bukan karena iri melihatnya hidup lebih baik darimu, bukan tentang dengki yang seperti itu, tapi rasa yang tak bernama.
Bahwa ia memiliki banyak waktu yang tak habis bersamamu.
Bahwa ia mungkin saja telah melalui banyak hal dan kau tak tahu.
Bahwa mungkin saja ada luka yang ia sembunyi.
Bahwa mungkin saja, ia telah memiliki kawan yang lebih istimewa dan lebih dekat dengannya di banding dirimu.
Dan kau berandai-andai dengan segala kemungkinan rekaanmu sendiri.
Dan tiba-tiba saja, kau merasa begitu kecil. Begitu tak berguna sebagai kawan.
Dan yang lebih pilu adalah; jika rekaanmu adalah nyata.
Bahwa kau bukan lagi kawan istimewa baginya. Ada kawan baru yang lebih dari segalanya ketimbang dirimu.
Dan meski telah berjumpa, kau tahu tawamu telah diselipi rasa cemburu yang bodoh.
Aku pernah. Sekarang.
Bodoh memang. Tapi bagaimanalah jika rasa itu memang telah hidup?
Masjid Arafah, 11 Nopember 2016
Setelah mengenangmu dengan waktu yang lama.
# OneDayOnePost
Comments
Post a Comment