Skip to main content

Kau Pernah ? ( II )

Kau pernah?

Memiliki kawan yang seolah saudara.
Yang ketika kau ingat, kau merasa hangat.

Kau jarang memberi kabar, juga bertanya kabar.
Hanya sekali dua kali perjumpaan di lowongnya waktu,
tak lebih dari lima kali sepekan saling mengirim chat,
Bilang rindu dan sekedar mengobrol ria.

Tapi kau senantiasa merasa dekat, meski jauh sebenarnya.

Lalu waktu terus berjalan. Kau tak sadar, jarak memberi banyak pelajaran.
Memberi kawanmu ruang bebas mengubah diri semau yang ia mau, ia bahagia dengan banyak sekali cara.

Dan kau bertemu jeda. Sadar kalau ia bukan kawanmu seutuhnya.
Lalu mengenalinya lebih banyak hanya lewat media sosial miliknya,  yang diam-diam kau stalk.

Kau merasa ada yang salah dengan hatimu. Entah.
Bukan karena iri melihatnya hidup lebih baik darimu, bukan tentang dengki yang seperti itu, tapi rasa yang tak bernama.

Bahwa ia memiliki banyak waktu yang tak habis bersamamu.
Bahwa ia mungkin saja telah melalui banyak hal dan kau tak tahu.
Bahwa mungkin saja ada luka yang ia sembunyi.
Bahwa mungkin saja, ia telah memiliki kawan yang lebih istimewa dan lebih dekat dengannya di banding dirimu.

Dan kau berandai-andai dengan segala kemungkinan rekaanmu sendiri.

Dan tiba-tiba saja, kau merasa begitu kecil. Begitu tak berguna sebagai kawan.
Dan yang lebih pilu adalah; jika rekaanmu adalah nyata.

Bahwa kau bukan lagi kawan istimewa baginya. Ada kawan baru yang lebih dari segalanya ketimbang dirimu.

Dan meski telah berjumpa, kau tahu tawamu telah diselipi rasa cemburu yang bodoh.

Aku pernah. Sekarang.

Bodoh memang. Tapi bagaimanalah jika rasa itu memang telah hidup?

Masjid Arafah, 11 Nopember 2016
Setelah mengenangmu dengan waktu yang lama.

# OneDayOnePost

Comments

Popular posts from this blog

Drama dalam Kepala Buibu

Assalamualaikum, rumahku... Apa kabar? masih dengan status "hidup ndak, mati ogah" yah, rumah? heheh iyya... i need you but always forget you yah. Sini peluk rumahku diriku bukuku! Eniwei, alhamdulillah, syukur yang dalam nan tulus karena Allah masih berikan kita kesempatan hidup sehat dalam keadaan masih muslim untuk ketemu Ramadhan ini; bulan penuh cinta paling hidup. Dear, rumahku. Temani saya ngobrol bout two choices yang lagi riuh pisah di kepalaku sendiri yah, here we go bismillah. Em, diskusi bout being a full mom at home atau being a working mom adalah topik yang menurutku ndak pernah etis  buat didebatkan mana yang paling mengambil peran termulia sebagai ibu dan mana yang 'ibu setengah mulia karena kerja di luar rumah' atau malah menjadi 'ibu kolot tidak terpelajar karena di rumah saja ngurus urusan dapur kasur', semua tergantung niat, kualitas diri dan keridhaan anak suami menurutku. Lets see the world, ada banyak ibu full time di

Kepada Dirimu, Hafsah.

Kepada dirimu, Ada waktu-waktu saat kita saling berbicara tentang kelu yang kita rasa bersama. Ada mata yang basah saat mengenang sedihnya menjadi perempuan seperti kita. Tapi itu dulu,  dua tiga tahun yang lalu. Kita sudah memilih berbahagia dengan banyak sekali cara, turut bergembira dan memeluk hangat, ketika kawan kita yang lebih dulu_ dan lagi-lagi_ diizinkan  Tuhan. Bukan kau atau aku. Kita sudah menyabarkan diri, memilih lebih percaya Tuhan Daripada sesak yang terus berlarut. Sesekali kembali basah, tapi tak mengapa membiarkannya  tumpah mungkin lebih baik Daripada berkarat hati dan runtuh kepercayaan padaNya, pada Tuhan yang lebih dekat daripada urat leher kita sendiri. Kau tahu?  Setiap kali aku ingin merutuki takdir, menangis sesegukan di ujung kasurku,  Saat setanku berbisik untuk mengutuk Tuhan, aku melihatmu. Duduk disampingku dengan mata sembab dan  luka yang lebih dibanding aku. Atau sekali waktu, kau datang dengan

Tahfidz Putra Darul Istiqamah Dan Surga Sebelum Surga

Air berkecipak Saling beradu pelan, syahdu dari gerakan-gerakan suara yang kutahu lebih baik dari kecipak air mandiku. Dalam gelap paling mustajab kakikaki itu pergi ke rumah tuhan. Masih dalam separuh buaian mimpi aku tahu, tuhanku juga memanggil lalu aku; dengan mata tertutup menakarnakar rindu padaNya, menghitunghitung kekuatan melawan syaithan. ______________ Sudah pukul empat pagi ketika saya mulai menulis ini, dan dari masjid masih terdengar suara imam memimpin shalat tahajjud. Tartil, merdu, indah. Percayalah, menuliskan ini butuh banyak kekuatan. Ini pertama kalinya mengenalkan kehidupan baruku kepada rumah abu-abu ini. Dan  sepotong cerita pagi tentang Tahfidz Putra Darul Istiqamah,  its more than wonderful masyaallah. Masih pukul tiga-an, ketika qadarullah saya terbangun karena sebuah mimpi. Dalam proses memperbaiki posisi tidur kembali, di waktu ketika bahkan kokok ayam belum satu pun terdengar, saya mengenal baik suarasuara air  dan langkah kaki santri-santri y