Skip to main content

Takkan Ada Puisi Perihal Aksi Itu

Di umurku yang masih dua satu ini, bagiku tak ada hal yang lebih menakjubkan di Indonesia kita ini selain fenomena perihal agama; 411 dan 212

Adakah puisi yang bisa bercerita seindah fenomena itu? Kala berjuta manusia hadir tanpa bayaran sedikitpun dari para elit parpol, bersatu demi Indonesia, bergerak karena liLlah, semua bersuara karena Al- Qur'an.

Ada rasa yang manis dan menggetarkan hanya dengan melihat satu dua foto, menonton satu dua vidio peristiwa hebat itu. Dan hampir seluruh rakyat Indonesia bercerita tentang 411 dan 212. Maka meski tak mampu hadir menjadi bagian dari sejarah Indonesia paling memukau itu, hanya melihat dan menyeksamai puluhan foto-vidionya yang menjadi viral di media sosial dan berkali tayang di televisi, rasanya begitu haru, begitu bangga.

Peristiwa itu memberikan banyak pelajaran tentang Indonesia. Indonesia, meski hancurnya pemerintahan karena beberapa elit politik yang harusnya jadi pejabat terhormat malah menjadi mafia hukum dan pencuri cerdik jatah rakyat, tetap saja ada begitu banyak hal yang masih bisa kita banggakan tentang Indonesia kita ini.

Saudara kita ternyata saudara penuh empati, simpati dan siap memberikan kontribusi nyata jika memang harus. Lihatlah, hanya karena penistaan satu ayat al-qur'an, jutaan rakyat muslim bergerak menyuarakan keharusan penangkapan si pelaku. Bahkan ada ratusan peserta aksi berjalan kaki hingga ratusan kilometer dan singgah beristirahat di masjid-masjid hanya demi menjadi pelaku sejarah dalam aksi itu. 

Ada yang sendalnya rusak karena dipakai terlalu jauh dan ada juga yang melanjutkan perjalanan  dengan lepas-pasang  alas kaki, mungkin kadung lelah tapi karena sudah berniat, Allah mudahkan perjalanan berat itu.

Bukan karena ingin bergaya, tapi karena jutaan rakyat muslim saling merasa dan memiliki hak untuk menjaga Al-qur'an dan martabat agama. Bahwa meski satu ayat sekalipun, al-qur'an adalah kitab suci yang harus benar-benar disucikan dari perkara penistaan sekecil apapun itu.

Saudara kita adalah saudara yang siap menolong dan memberi tanpa berpikir berkali. Lihatlah, ribuan nasi bungkus gratis, makanan-minuman gratis yang dibagikan percuma pada jutaan peserta aksi. Bahkan anak-anak sekolahan sekalipun begitu ringan menyisihkan uang jajan untuk bisa ikut berbagi meski sedkit.

Lantang gemuruh takbir yang terdengar berkali-kali dan begitu syahdu, begitu tenang kala waktu mereka berdoa dan shalat bersama. Ada banyak yang menangis, mengangkat tinggi tangan penuh pengharapan semoga Allah sedia memperbaiki negeri kita ini, penuh pengharapan semoga si pelaku benar-benar dipenjarakan. Agar yang lain tahu, bahwa Al-qur'an masih begitu disucikan di negeri ini. Bahwa al-qur'an bukan sekedar buku yang bisa dikutip dan dinistakan seenak hati.

Bahkan meski hujan dan sudah kuyuplah mereka dalam shalat dan dzikirnya, tak ada yang bergerak dan berlari berteduh. Gelaran sajadah masih terhampar, jutaan muslim semakin khusyu' dan tenggelam dalam doa dan dzikirnya.

Ah, indah sekali aksi super damai ini. Allah memberi begitu banyak kemudahan dan menjadi saksi betapa menakjubkannya menjadi seorang muslim.

Saya menulis ini, bukan karena saya begitu tahu perihal aksi besar dan mengagumkan rakyat muslim Indonesia ini, hanya saja, Allah tak menghendaki saya ada dalam dua aksi indah itu, maka setidakny saya menuliskannya disini. Menyisipkan beberapa foto kiriman dari teman-teman grup menulis, bisnis dan ODOJ. Agar nanti, ketika saya pulang ke rumah ini, ada hal yang bisa kutemukan selain tentang hal-hal biasa yang sering kubagi.

Menuliskan dua aksi besar itu, saya hanya bisa seperti ini...saya tak pandai merangkainya agar mejadi lebih elok, maka semoga sedikit foto ini, bisa bercerita lebih banyak☺

Comments

Popular posts from this blog

Drama dalam Kepala Buibu

Assalamualaikum, rumahku... Apa kabar? masih dengan status "hidup ndak, mati ogah" yah, rumah? heheh iyya... i need you but always forget you yah. Sini peluk rumahku diriku bukuku! Eniwei, alhamdulillah, syukur yang dalam nan tulus karena Allah masih berikan kita kesempatan hidup sehat dalam keadaan masih muslim untuk ketemu Ramadhan ini; bulan penuh cinta paling hidup. Dear, rumahku. Temani saya ngobrol bout two choices yang lagi riuh pisah di kepalaku sendiri yah, here we go bismillah. Em, diskusi bout being a full mom at home atau being a working mom adalah topik yang menurutku ndak pernah etis  buat didebatkan mana yang paling mengambil peran termulia sebagai ibu dan mana yang 'ibu setengah mulia karena kerja di luar rumah' atau malah menjadi 'ibu kolot tidak terpelajar karena di rumah saja ngurus urusan dapur kasur', semua tergantung niat, kualitas diri dan keridhaan anak suami menurutku. Lets see the world, ada banyak ibu full time di

Kepada Dirimu, Hafsah.

Kepada dirimu, Ada waktu-waktu saat kita saling berbicara tentang kelu yang kita rasa bersama. Ada mata yang basah saat mengenang sedihnya menjadi perempuan seperti kita. Tapi itu dulu,  dua tiga tahun yang lalu. Kita sudah memilih berbahagia dengan banyak sekali cara, turut bergembira dan memeluk hangat, ketika kawan kita yang lebih dulu_ dan lagi-lagi_ diizinkan  Tuhan. Bukan kau atau aku. Kita sudah menyabarkan diri, memilih lebih percaya Tuhan Daripada sesak yang terus berlarut. Sesekali kembali basah, tapi tak mengapa membiarkannya  tumpah mungkin lebih baik Daripada berkarat hati dan runtuh kepercayaan padaNya, pada Tuhan yang lebih dekat daripada urat leher kita sendiri. Kau tahu?  Setiap kali aku ingin merutuki takdir, menangis sesegukan di ujung kasurku,  Saat setanku berbisik untuk mengutuk Tuhan, aku melihatmu. Duduk disampingku dengan mata sembab dan  luka yang lebih dibanding aku. Atau sekali waktu, kau datang dengan

Tahfidz Putra Darul Istiqamah Dan Surga Sebelum Surga

Air berkecipak Saling beradu pelan, syahdu dari gerakan-gerakan suara yang kutahu lebih baik dari kecipak air mandiku. Dalam gelap paling mustajab kakikaki itu pergi ke rumah tuhan. Masih dalam separuh buaian mimpi aku tahu, tuhanku juga memanggil lalu aku; dengan mata tertutup menakarnakar rindu padaNya, menghitunghitung kekuatan melawan syaithan. ______________ Sudah pukul empat pagi ketika saya mulai menulis ini, dan dari masjid masih terdengar suara imam memimpin shalat tahajjud. Tartil, merdu, indah. Percayalah, menuliskan ini butuh banyak kekuatan. Ini pertama kalinya mengenalkan kehidupan baruku kepada rumah abu-abu ini. Dan  sepotong cerita pagi tentang Tahfidz Putra Darul Istiqamah,  its more than wonderful masyaallah. Masih pukul tiga-an, ketika qadarullah saya terbangun karena sebuah mimpi. Dalam proses memperbaiki posisi tidur kembali, di waktu ketika bahkan kokok ayam belum satu pun terdengar, saya mengenal baik suarasuara air  dan langkah kaki santri-santri y