Skip to main content

Surat Pendek Untuk Perjuanganmu yang Panjang

Kepada kau, adek manis nun jauh disana. Di tanah yang hingga telah dua dasawarsa kehidupanku, membayangkan aromanya pun aku belum bisa...

Kau jauh, bagiku dan bagi keluarga kita yang sederhana ini.

Ah, pipimu mungkin masih lengket, Dek, oleh air mata yang kau tumpah di jam sebegini malam. Saat satu dua orang rumah telah lelap dan aku di lemahnya sadarku, isakmu memaksa mataku tetap terjaga, Dek.

Perjuanganmu memindai ayat demi ayat alqur'an ke dalam kepala dan hatimu, sungguh kami tak tahu. Mungkin sekali kau lelah dan berkali kau berusaha melihat dirimu tetap bertahan meski dideru bosan dan rindu.

Katamu kau khawatir, ragu dengan semua usaha yang pernah kau jadikan ruh. Kau takut jikalau kau akhirnya harus berhenti sebelum benar-benar memulai semuanya. Dan kau khawatir melukai kami dengan gagalmu.

Dan mama bilang apa, Dek di tengah sesegukan kecilmu di ujung telepon sana?

"Minta yang terbaik, nak. Selalu begitu doa kita harusnya. Tidak ada yang memaksamu harus sampai disana. Jangan ragu dengan semua usaha dan doamu, nak. Kalaupun pulang adalah yang terbaik, maka tak ada masalah. Kau sudah melakukan yang terbaik. Asal  jangan berhenti berusaha dan terus berdoa"

" Bapakmu sungguh bangga, nak. Andai harus harta yang  bisa membuat kau naik pesawat dan pergi belajar sejauh sekarang, kau mungkin takkan pernah kemana-mana. Semua ini adalah rahmat Allah"

Demi mendengar semua nasehat mama yang terus terulang,  isakmu pelan-pelan berhenti.  Ah, aku membayangkan wajah cengengmu, Dek...

Bibir manyun, senyum gaje dan kata-kata yang belepotan.
Aku tak percaya, aku juga merindukanmu.

Kepada kau, adek kecil yang sedang berjuang karena Allah. Semoga kau bertahan, Dek.  Menyaksikan hal-hal sederhana di sebuah keluarga sebagai sebuah berkah besar dari Allah adalah obat.

Selamat kembali berjuang, Dek. Semoga kau kuat dn menemukan sisi terbaikmu.

AlhamduliLlah ala kulli Haal.

Jum'at, 23 Desember 2016

Comments

Popular posts from this blog

Drama dalam Kepala Buibu

Assalamualaikum, rumahku... Apa kabar? masih dengan status "hidup ndak, mati ogah" yah, rumah? heheh iyya... i need you but always forget you yah. Sini peluk rumahku diriku bukuku! Eniwei, alhamdulillah, syukur yang dalam nan tulus karena Allah masih berikan kita kesempatan hidup sehat dalam keadaan masih muslim untuk ketemu Ramadhan ini; bulan penuh cinta paling hidup. Dear, rumahku. Temani saya ngobrol bout two choices yang lagi riuh pisah di kepalaku sendiri yah, here we go bismillah. Em, diskusi bout being a full mom at home atau being a working mom adalah topik yang menurutku ndak pernah etis  buat didebatkan mana yang paling mengambil peran termulia sebagai ibu dan mana yang 'ibu setengah mulia karena kerja di luar rumah' atau malah menjadi 'ibu kolot tidak terpelajar karena di rumah saja ngurus urusan dapur kasur', semua tergantung niat, kualitas diri dan keridhaan anak suami menurutku. Lets see the world, ada banyak ibu full time di

Kepada Dirimu, Hafsah.

Kepada dirimu, Ada waktu-waktu saat kita saling berbicara tentang kelu yang kita rasa bersama. Ada mata yang basah saat mengenang sedihnya menjadi perempuan seperti kita. Tapi itu dulu,  dua tiga tahun yang lalu. Kita sudah memilih berbahagia dengan banyak sekali cara, turut bergembira dan memeluk hangat, ketika kawan kita yang lebih dulu_ dan lagi-lagi_ diizinkan  Tuhan. Bukan kau atau aku. Kita sudah menyabarkan diri, memilih lebih percaya Tuhan Daripada sesak yang terus berlarut. Sesekali kembali basah, tapi tak mengapa membiarkannya  tumpah mungkin lebih baik Daripada berkarat hati dan runtuh kepercayaan padaNya, pada Tuhan yang lebih dekat daripada urat leher kita sendiri. Kau tahu?  Setiap kali aku ingin merutuki takdir, menangis sesegukan di ujung kasurku,  Saat setanku berbisik untuk mengutuk Tuhan, aku melihatmu. Duduk disampingku dengan mata sembab dan  luka yang lebih dibanding aku. Atau sekali waktu, kau datang dengan

Tahfidz Putra Darul Istiqamah Dan Surga Sebelum Surga

Air berkecipak Saling beradu pelan, syahdu dari gerakan-gerakan suara yang kutahu lebih baik dari kecipak air mandiku. Dalam gelap paling mustajab kakikaki itu pergi ke rumah tuhan. Masih dalam separuh buaian mimpi aku tahu, tuhanku juga memanggil lalu aku; dengan mata tertutup menakarnakar rindu padaNya, menghitunghitung kekuatan melawan syaithan. ______________ Sudah pukul empat pagi ketika saya mulai menulis ini, dan dari masjid masih terdengar suara imam memimpin shalat tahajjud. Tartil, merdu, indah. Percayalah, menuliskan ini butuh banyak kekuatan. Ini pertama kalinya mengenalkan kehidupan baruku kepada rumah abu-abu ini. Dan  sepotong cerita pagi tentang Tahfidz Putra Darul Istiqamah,  its more than wonderful masyaallah. Masih pukul tiga-an, ketika qadarullah saya terbangun karena sebuah mimpi. Dalam proses memperbaiki posisi tidur kembali, di waktu ketika bahkan kokok ayam belum satu pun terdengar, saya mengenal baik suarasuara air  dan langkah kaki santri-santri y