Skip to main content

Perempuan Mata Kejora


Senin, 11 September 2017, hari ini first day kami para odopers balik lagi ke komitmen awal buat menulis setiap hari, kembali lagi pada semua alasan yang kami punya; kenapa kami harus menulis.

Bismillah, sebab sebenarnya pemilik rumah ini sendiri saja yang banyak dalih tidak menulis -_-

Actually, ada beberapa tulisan yang berakhir dalam kotak draft saja, tidak selesai. Padahal harusnya bisa kutulis dengan bahagia sebab bulan-bulan ini beberapa moment menakjubkan terjadi dengan izin Allah yang Maha baik.

Jadii, karena semuanya berakhir dalam draft saja,  hari ini saya akan mulai menulis lagi. Tapi bukan menyelesaikan itu semua dulu, tapi tulisan ini akan bercerita tentang perempuan manis dan tulus yang sudah sejak lama sekali ingin kusimpan di rumah ini. Sebagai pengingat, bahwa yang tulus selalu memukau.

Here we go...

Perempuan dengan tubuh bongsor, hidung kecil yang pas sekali paduannya  dengan pipi gembir dan bibir tipis. Yang paling istimewa adalah, matanya yang kejora. Berkilat-kilat jenaka dengan senyum paling tulus, laku paling polos. Tanpa bohong.

Dan saya sudah menyukainya sejak  masih sebagai perempuan kecil kelas tiga Ibtidaiyyah (SD). 

Namanya Endang.

Dahulu, lebih sepuluh tahun yang lalu, saya sudah sering melihatnya duduk di teras rumah panggung hijau yang berada di belakang sekolah Ibtidaiyyahku yang belum rampung.

Duduk-duduk saja dengan jilbab coklat atau hitam, dengan senyuman sampai ke mata setiap kali ada anak-anak sepantaranku  yang berteriak memanggil. Dan makin lama, sebab sungguhan suka dengan senyum sampai matanya, setiap kali pergi pulang sekolah dan dia ada di teras rumah, sambil dadadada saya akan menyapa riang dari depan rumah panggungnya,  "assalamualaikum, Kak Endaaang...".

Lalu seketika, tangan perempuan itu akan balas melambai dadadada juga, riang dengan senyum paling ramah. Selalu begitu.

Dahulu, saat  masih berseragam putih hijau, saya selalu bertanya-tanya; kenapa perempuan besar seperti dia tidak sekolah? tidak pernah kelihatan pakai seragam apapun? kenapa dia tidak berlaku seperti perempuan besar lainnya? Kenapa Endang bisa tersenyum terus di teras rumah hijaunya??

Pertanyaan-pertanyaan itu beberapa kali sering berputar di kepala kecil delapan tahunku, dan tidak pernah bertemu jawaban.


Lalu waktu seperti melesat cepat, rok hijauku sudah berganti hitam dan jilbab kaos sekolahku berubah menjadi kain panjang berlilit, juga hari-hariku berubah menjadi lebih berwarna, saya tidak pernah lagi melihat dan bahkan lupa dengan Endang, perempuan mata kejora itu.

Beberapa bulan yang lalu, ketika sudah begitu banyak nama yang masuk dalam kehidupan dewasaku, saya melihatnya lagi di jalanan. Sepuluh tahun lebih telah berlalu, tapi senyumnya masih sama. Manis, tulus dengan mata berkilat jenaka. Dan saya terpukau.

Dua puluh dua tahun umurku hari ini, saya ingin lupa pernah mempertanyakan kenapa Endang tidak pernah berseragam, kenapa Endang tidak sama dengan perempuan dewasa lainnya, kenapa Endang hanya tersenyum terus saja di teras rumah hijaunya, saya tidak ingin mengingat,  bahwa saat masih sebagai perempuan kecil delapan tahun, saya pernah membuat pertanyaan itu di kepalaku sendiri.

Saya hanya ingin mengenalnya sebagai perempuan baik tanpa pendidikan yang berbakti kepada ibu. Perempuan buta aksara yang setia berjalan jauh demi ibunya yang lemah tertatih berjalan sebab stroke. 

Saya cukup mengenalnya dengan perempuan paling tulus yang saban hari berkeliling  pesantren menjajakan gula merahnya (gula aren/ gula jawa), door to door ke rumah warga. Dan lebih sering ke rumah-rumah keluarga ustad. Rumah abba,  anak-anak beliau dan besan beliau.  Sebab mereka, khususnya Ibu pimpinan, akan selalu membeli gula jualan Endang meski sudah membeli dan belum habis-habis juga di lemari dapur mereka. 

Saya cukup mengenalnya sebagai perempuan paling ramah dan lucu, perempuan yang  rajin ke pengajian yang meski pembahasan berubah-ubah, dari surga ke neraka, neraka ke surga,  ekspresinya tetap saja sama; pipi gembir, bibir tipis, hidung kecil dan sepasang mata yang sepakat setia untuk tersenyum-senyum saja.

Dan saya menyukainya sebagai perempuan sederhana dengan laku paling tulus, yang setia tersenyum sampai di manik mata kejoranya.



Kak Endang. Ahad pagi kemarin,  saat dia lagi jualan gula merah di rumah kak Mira selepas pengajian.



Comments

Popular posts from this blog

Drama dalam Kepala Buibu

Assalamualaikum, rumahku... Apa kabar? masih dengan status "hidup ndak, mati ogah" yah, rumah? heheh iyya... i need you but always forget you yah. Sini peluk rumahku diriku bukuku! Eniwei, alhamdulillah, syukur yang dalam nan tulus karena Allah masih berikan kita kesempatan hidup sehat dalam keadaan masih muslim untuk ketemu Ramadhan ini; bulan penuh cinta paling hidup. Dear, rumahku. Temani saya ngobrol bout two choices yang lagi riuh pisah di kepalaku sendiri yah, here we go bismillah. Em, diskusi bout being a full mom at home atau being a working mom adalah topik yang menurutku ndak pernah etis  buat didebatkan mana yang paling mengambil peran termulia sebagai ibu dan mana yang 'ibu setengah mulia karena kerja di luar rumah' atau malah menjadi 'ibu kolot tidak terpelajar karena di rumah saja ngurus urusan dapur kasur', semua tergantung niat, kualitas diri dan keridhaan anak suami menurutku. Lets see the world, ada banyak ibu full time di

Kepada Dirimu, Hafsah.

Kepada dirimu, Ada waktu-waktu saat kita saling berbicara tentang kelu yang kita rasa bersama. Ada mata yang basah saat mengenang sedihnya menjadi perempuan seperti kita. Tapi itu dulu,  dua tiga tahun yang lalu. Kita sudah memilih berbahagia dengan banyak sekali cara, turut bergembira dan memeluk hangat, ketika kawan kita yang lebih dulu_ dan lagi-lagi_ diizinkan  Tuhan. Bukan kau atau aku. Kita sudah menyabarkan diri, memilih lebih percaya Tuhan Daripada sesak yang terus berlarut. Sesekali kembali basah, tapi tak mengapa membiarkannya  tumpah mungkin lebih baik Daripada berkarat hati dan runtuh kepercayaan padaNya, pada Tuhan yang lebih dekat daripada urat leher kita sendiri. Kau tahu?  Setiap kali aku ingin merutuki takdir, menangis sesegukan di ujung kasurku,  Saat setanku berbisik untuk mengutuk Tuhan, aku melihatmu. Duduk disampingku dengan mata sembab dan  luka yang lebih dibanding aku. Atau sekali waktu, kau datang dengan

Tahfidz Putra Darul Istiqamah Dan Surga Sebelum Surga

Air berkecipak Saling beradu pelan, syahdu dari gerakan-gerakan suara yang kutahu lebih baik dari kecipak air mandiku. Dalam gelap paling mustajab kakikaki itu pergi ke rumah tuhan. Masih dalam separuh buaian mimpi aku tahu, tuhanku juga memanggil lalu aku; dengan mata tertutup menakarnakar rindu padaNya, menghitunghitung kekuatan melawan syaithan. ______________ Sudah pukul empat pagi ketika saya mulai menulis ini, dan dari masjid masih terdengar suara imam memimpin shalat tahajjud. Tartil, merdu, indah. Percayalah, menuliskan ini butuh banyak kekuatan. Ini pertama kalinya mengenalkan kehidupan baruku kepada rumah abu-abu ini. Dan  sepotong cerita pagi tentang Tahfidz Putra Darul Istiqamah,  its more than wonderful masyaallah. Masih pukul tiga-an, ketika qadarullah saya terbangun karena sebuah mimpi. Dalam proses memperbaiki posisi tidur kembali, di waktu ketika bahkan kokok ayam belum satu pun terdengar, saya mengenal baik suarasuara air  dan langkah kaki santri-santri y