Skip to main content

Mengenang Kita; Merayakan Cinta

Ada hampir dua ribu hari kita bersama
Dan aku, utuh mengengkau.

Bagaimana bisa kukata syukurku?
Saban waktu, memikirkan setiamu saja sudah melambungkanku.
Membuat puja-puja serasa salah jika tak kukirim kepadaNya.

Bagaimana bisa menamakan "kita"?
Jika semuanya telah satu, lebih padu daripada sekedar kita.

Kau mengalahkanku dalam perihal mencintai. Juga setia. Juga sabar, juga syukur.

Aku takjub dengan semua prinsipmu yang dengan pelan kau tulari aku.

Seperti aku takjub dan tak habis pikir,
Bagaimana sepanjang malam_dan siang jika aku jatuh tertidur_ kau bisa menahan berat kepalaku? Meminjamkan bahu dan lenganmu sebagai bantalku?

Sama takjubku dengan; Bagaimana kau bertahan dengan semua sifat menyebalkanku?
Bagaimana cara Allah menciptakanmu dengan semua sifat lembut dan sayangmu?

Hampir dua ribu hari berlalu, dan cinta kita masih segar meletup-letup, alhamdulillah.

Tak pernah ada badai yang membuat kita memilih menjauh, sebab keyakinanmu pada Allah selalu saja berhasil mengeratkan pelukan. Melangitkan doa-doa. Meneguhkan hati akan adanya jalan keluar.

"Kita punya Allah, Sayang."

Hampir dua ribu hari berlalu, dan doa-doa masih tak putus kukirim pada Allah,
Agar kau senantiasa disayangNya, dan kita bisa saling menatap karenaNya, pula menetap  karenaNya.

Hampir dua ribu hari sudah berlalu saat malam pertama kau bacakan aku doa keberkahan di ubun-ubunku; dengan syahdu, dengan lembut, dan aku mengenangnya sebagai mahar termanis darimu. 

Dan hingga sekarang, dengan kelembutan yang sama kau biarkan aku setia merasa sebagai pengantin barumu, kau masih  menaruh tanganmu di ubun-ubunku, membacakan doa-doa, tulus penuh sayang.

Hampir dua ribu hari berlalu, dan mencintaimu tak pernah melelahkan. Tak pernah salah.
Kau yang mengajarkan,  bahwa berkah adalah imam dalam hari-hari kita, dan bahagia akan menjadi makmum.

Lalu mencintai takkan pernah jadi beban, kau kepadaku, aku kepadamu. Dan pelayaran kita akan berlabuh di surgaNya.

Demikianlah, yang selalu kau bilang. Lalu bagaimana bisa aku tak mencintaimu utuh?

Maka, semoga Allah berkahi rumah tangga kita.

________

Rabu, 13 September 2017 || Dorm || 23.50

                                   Air terjun Takapala||Malino
                 si kaku dan si sok manis😅|| Rumer, 040917Heii kamuu yg sabar menjaga sampe aku terbanguun😂|| Gowa

Hingga surga insyaallah☺|| Malino
Pacaran ndak harus di tempat mahal toh?🙈|| Matjopa
Barakallahu lanaa wa baraka alaynaa☺|| Gowa

Happy morning, Kitaa || Lap. Masjid Jami'

When you're going to leave me😿

Foto KTP berdua😄|| Gowa


Dan lain-lain.
Dan lain-lain.

Alhamdulillah ala kulli haal.

Comments

Popular posts from this blog

Drama dalam Kepala Buibu

Assalamualaikum, rumahku... Apa kabar? masih dengan status "hidup ndak, mati ogah" yah, rumah? heheh iyya... i need you but always forget you yah. Sini peluk rumahku diriku bukuku! Eniwei, alhamdulillah, syukur yang dalam nan tulus karena Allah masih berikan kita kesempatan hidup sehat dalam keadaan masih muslim untuk ketemu Ramadhan ini; bulan penuh cinta paling hidup. Dear, rumahku. Temani saya ngobrol bout two choices yang lagi riuh pisah di kepalaku sendiri yah, here we go bismillah. Em, diskusi bout being a full mom at home atau being a working mom adalah topik yang menurutku ndak pernah etis  buat didebatkan mana yang paling mengambil peran termulia sebagai ibu dan mana yang 'ibu setengah mulia karena kerja di luar rumah' atau malah menjadi 'ibu kolot tidak terpelajar karena di rumah saja ngurus urusan dapur kasur', semua tergantung niat, kualitas diri dan keridhaan anak suami menurutku. Lets see the world, ada banyak ibu full time di

Kepada Dirimu, Hafsah.

Kepada dirimu, Ada waktu-waktu saat kita saling berbicara tentang kelu yang kita rasa bersama. Ada mata yang basah saat mengenang sedihnya menjadi perempuan seperti kita. Tapi itu dulu,  dua tiga tahun yang lalu. Kita sudah memilih berbahagia dengan banyak sekali cara, turut bergembira dan memeluk hangat, ketika kawan kita yang lebih dulu_ dan lagi-lagi_ diizinkan  Tuhan. Bukan kau atau aku. Kita sudah menyabarkan diri, memilih lebih percaya Tuhan Daripada sesak yang terus berlarut. Sesekali kembali basah, tapi tak mengapa membiarkannya  tumpah mungkin lebih baik Daripada berkarat hati dan runtuh kepercayaan padaNya, pada Tuhan yang lebih dekat daripada urat leher kita sendiri. Kau tahu?  Setiap kali aku ingin merutuki takdir, menangis sesegukan di ujung kasurku,  Saat setanku berbisik untuk mengutuk Tuhan, aku melihatmu. Duduk disampingku dengan mata sembab dan  luka yang lebih dibanding aku. Atau sekali waktu, kau datang dengan

Tahfidz Putra Darul Istiqamah Dan Surga Sebelum Surga

Air berkecipak Saling beradu pelan, syahdu dari gerakan-gerakan suara yang kutahu lebih baik dari kecipak air mandiku. Dalam gelap paling mustajab kakikaki itu pergi ke rumah tuhan. Masih dalam separuh buaian mimpi aku tahu, tuhanku juga memanggil lalu aku; dengan mata tertutup menakarnakar rindu padaNya, menghitunghitung kekuatan melawan syaithan. ______________ Sudah pukul empat pagi ketika saya mulai menulis ini, dan dari masjid masih terdengar suara imam memimpin shalat tahajjud. Tartil, merdu, indah. Percayalah, menuliskan ini butuh banyak kekuatan. Ini pertama kalinya mengenalkan kehidupan baruku kepada rumah abu-abu ini. Dan  sepotong cerita pagi tentang Tahfidz Putra Darul Istiqamah,  its more than wonderful masyaallah. Masih pukul tiga-an, ketika qadarullah saya terbangun karena sebuah mimpi. Dalam proses memperbaiki posisi tidur kembali, di waktu ketika bahkan kokok ayam belum satu pun terdengar, saya mengenal baik suarasuara air  dan langkah kaki santri-santri y