Skip to main content

Rumah Tangga Bahagia: Rumah Tangga Pembelajar



Pernikahan butuh Ilmu. Rumah tangga yang baik adalah rumah tangga pembelajar.

Seperti cinta, pemahaman itu tidak datang serta merta setelah aqad nyaris lima tahun yang lalu. Hari-hari hanya kami lewati sekadarnya, dengan ilmu yang juga sekadarnya. Bahwa pernikahan demi ketaatan kepada Allah, keharmonisan rumah tangga, kebahagiaan orang tua dan da’wah bagi orang di sekitar kami. Sebab itu saja pernikahan ini kami jalani dengan sebaik-baiknya selama nyaris enam tahun. Saya memang sungguh bahagia sebab dinikahi dia yang shalih, tapi pernikahan ternyata bukan tentang rasa sedangkal itu saja, kami_ aku saja mungkin_ melupa suatu hal.

Hari-hari terasa melesat cepat. Yang dulunya dia mengantar sampai gerbang  sekolah, menemani mengambil rapor kenaikan kelas, sekarang berganti mengantar ke kampus kuliahan dan ke tempat kerja. Yang dulunya dia masih malu-malu mendekat, sekarang sangat lancar mengajak berdiskusi, menasehati dan membagi rasanya. 

Banyak hal yang sudah terjadi, beberapa kali hujan, dingin dan memberi jarak atau malah semakin melekatkan, menafikkan jarak.

Tahun berganti dan kami baru mengerti, pernikahan butuh ilmu. Kami harus belajar banyak hal. Sebab menikah juga sungguh berarti banyak hal, menagih banyak sabar. Tidak melulu mesra bermanja-manja, tapi juga merajuk menyebalkan dan saling tidak mengerti. Tidak selalu ada obrolan hangat, genggaman tangan, peluk sayang dan ciuman di kening sebelum tidur, doa di ubun-ubun, kadang seranjang pun rasanya jauh, dan kadang ego memasang tabir yang terlalu tinggi, tak mau peduli. 

Dahulu saya berpikir bahwa pernikahanku adalah pernikahan yang akan senantiasa tentram bahagia sebab suamiku adalah orang yang shalih; baik dan penyayang. Tapi ternyata, sekali lagi, itu juga adalah pemikiran yang sangat dangkal. Sebab ternyata, membawa pernikahan dalam bahagia karena Allah bukan tugas suami semata tapi juga istri, saya.

Tulisan ini tidak akan berisi tips dan trik rumah tangga sukses dunia akhirat, saya nol soal ilmu demikian. Lagipula umur pernikahanku masih seumur jagung. Tulisan ini hanya akan berisi apa yang berkelebat dalam kepalaku malam ini, semoga besok-besok saat berubah menjadi perempuan menyebalkan saya bisa ingat pernah menulis ini.

Mungkin setahun atau dua tahun yang lalu saya membaca buku-buku ustad Salim A.Fillah. Buku-buku pertama yang saya baca setelah sekian tahun hanya menikmati novel-novel saja. Dan malam ini saya membacanya lagi_ buku-buku beliau memang wajib baca berulang-ulang. Saksikan bahwa aku seorang muslim, itu judul buku ust. Salim yang saya buka-buka lagi malam ini. Hadiah dari dia di  shubuh ketiga di bulan Maret 2016.

Berkah. Pusat pembahasan buku ini (menurut saya) adalah bagaimana meraih dan menjalani kehidupan yang berkah. Yang karena berkah, kita mampu bersyukur dalam lapang maupun sempit. Yang karena berkah, ada rindu meski sedang marah dan kecewa. Yang karena berkah, meski berat tetap ada ikhlas dan sabar yang diperjuangkan. Yang karena berkah, menolong saudara tak pernah terasa berat. Yang karena berkah, kita tahu mana haq dan mana bathil. Yang karena berkah, dalam apapun keadaan, Allah akan selalu menjadi tujuan, pusat pengharapan.

Banyak hal yang kemudian kembali kurenungkan. Ilmu kami masih sangat dangkal, khususnya saya. Terlebih dengan satus istri yang kusandang, saya sungguh nol. Belum perihal skill memanage waktu antara sebagai istri, ummi, mahasiswi dan musyrifah di tempat kerja, perihal muamalah, terlebih perihal ibadah. 

Saya tertampar. Mau seperti bagaimanakah rumah tangga ini kami lewati? Berkahkah rumah tangga yang kami jalani selama ini? Berhasilkah  saya tidak menjadi beban bagi imamku nanti di akhirat? Sedang dalam keseharian, hal sekrusial shalat pun, saya masih sering diingatkan agar tepat waktu dan tidak lalai apapun alasannya, bacaan alqur'anku yang dia masih harus ekstra sabar mengajarkan, mengingatkan agar mengaji dengan tartil dan bukan balapan hinga huruf-huruf tidak menjadi jelas, dan terjemahnya menjadi rancu. Belum lagi perihal memanage emosi, dia masih dengan sangat bijak selalu mengingatkan agar tidak asal menumpah marah, agar tidak sesuka hati bersuara besar tanpa malu bahwa itu aurat. Ini dan itu. Anu dan ana.

Bahwa sungguh ternyata masih begitu banyak hal yang harus kami pelajari. Ada banyak hal yang harus kami perjuangkan agar rumah tangga yang kami jalani tidak dalam perawatan yang sekadarnya saja, tapi dengan dasar ilmu dan tujuan yang jelas.

Sebab rumah tangga yang baik adalah rumah tangga pembelajar.

Pada akhirnya, tulisan ini adalah apa yang berkelebat ribut di kepalaku. Semoga bermanfaat.

Sabtu, 290917 II Home II 22.11

Comments

Popular posts from this blog

Drama dalam Kepala Buibu

Assalamualaikum, rumahku... Apa kabar? masih dengan status "hidup ndak, mati ogah" yah, rumah? heheh iyya... i need you but always forget you yah. Sini peluk rumahku diriku bukuku! Eniwei, alhamdulillah, syukur yang dalam nan tulus karena Allah masih berikan kita kesempatan hidup sehat dalam keadaan masih muslim untuk ketemu Ramadhan ini; bulan penuh cinta paling hidup. Dear, rumahku. Temani saya ngobrol bout two choices yang lagi riuh pisah di kepalaku sendiri yah, here we go bismillah. Em, diskusi bout being a full mom at home atau being a working mom adalah topik yang menurutku ndak pernah etis  buat didebatkan mana yang paling mengambil peran termulia sebagai ibu dan mana yang 'ibu setengah mulia karena kerja di luar rumah' atau malah menjadi 'ibu kolot tidak terpelajar karena di rumah saja ngurus urusan dapur kasur', semua tergantung niat, kualitas diri dan keridhaan anak suami menurutku. Lets see the world, ada banyak ibu full time di

Kepada Dirimu, Hafsah.

Kepada dirimu, Ada waktu-waktu saat kita saling berbicara tentang kelu yang kita rasa bersama. Ada mata yang basah saat mengenang sedihnya menjadi perempuan seperti kita. Tapi itu dulu,  dua tiga tahun yang lalu. Kita sudah memilih berbahagia dengan banyak sekali cara, turut bergembira dan memeluk hangat, ketika kawan kita yang lebih dulu_ dan lagi-lagi_ diizinkan  Tuhan. Bukan kau atau aku. Kita sudah menyabarkan diri, memilih lebih percaya Tuhan Daripada sesak yang terus berlarut. Sesekali kembali basah, tapi tak mengapa membiarkannya  tumpah mungkin lebih baik Daripada berkarat hati dan runtuh kepercayaan padaNya, pada Tuhan yang lebih dekat daripada urat leher kita sendiri. Kau tahu?  Setiap kali aku ingin merutuki takdir, menangis sesegukan di ujung kasurku,  Saat setanku berbisik untuk mengutuk Tuhan, aku melihatmu. Duduk disampingku dengan mata sembab dan  luka yang lebih dibanding aku. Atau sekali waktu, kau datang dengan

Tahfidz Putra Darul Istiqamah Dan Surga Sebelum Surga

Air berkecipak Saling beradu pelan, syahdu dari gerakan-gerakan suara yang kutahu lebih baik dari kecipak air mandiku. Dalam gelap paling mustajab kakikaki itu pergi ke rumah tuhan. Masih dalam separuh buaian mimpi aku tahu, tuhanku juga memanggil lalu aku; dengan mata tertutup menakarnakar rindu padaNya, menghitunghitung kekuatan melawan syaithan. ______________ Sudah pukul empat pagi ketika saya mulai menulis ini, dan dari masjid masih terdengar suara imam memimpin shalat tahajjud. Tartil, merdu, indah. Percayalah, menuliskan ini butuh banyak kekuatan. Ini pertama kalinya mengenalkan kehidupan baruku kepada rumah abu-abu ini. Dan  sepotong cerita pagi tentang Tahfidz Putra Darul Istiqamah,  its more than wonderful masyaallah. Masih pukul tiga-an, ketika qadarullah saya terbangun karena sebuah mimpi. Dalam proses memperbaiki posisi tidur kembali, di waktu ketika bahkan kokok ayam belum satu pun terdengar, saya mengenal baik suarasuara air  dan langkah kaki santri-santri y