Skip to main content

Tentang Dia; Lelaki Kecil Tak Diharapkan

BismiLlah..

Tulisan ini harusnya sudah kupost sejak seminggu kemarin di website odop, menjawab tantangan minggu pertama " Pengalaman Paling Berkesan" tapi karena satu dan lain hal tulisan ini kutulis ulang di rumah keduaku ini saja. Terlanjur dongkol dengan kenyataan bahwa tulisan ini gagal berkali-kali ter-submit-__-
And here we go, sebuah kisah nyata dalam hidupku.

"Tentang Dia; Lelaki Kecil Tak Diharapkan"

Namanya Sakti Nouval Kurniawan, dengan huruf u setelah o dalam ejaan Nouvalnya. Nama dari ayahnya, begitu kata bundanya. Meski kelak ketika dia berumur empat tahun lebih, dia datang mengguncang lembut lenganku yang sedang baca novel di rosban dan bilang dia sudah mengganti namanya, Muhammad Naufal. Itu nama barunya katanya. Ah yah, dia memang lelaki kecilku yang cerdas, dunia tahu itu.

Hari itu di terik siang Ramadhan 1943 H, 16 Agustus 2012, dia datang bersama ayah bunda dan teman bundanya yang kelak ketika agak besar dia memanggilnya ibu_lengkap dengan tas besar berisi pakaian dan sarung-sarung bayinya beserta dua atau tiga kantongan besar persiapan pampers, susu, biskuit, beberapa mainan dan alat mandinya. Hari itu hari pertama kami bertemu sekaligus hari pertama dia resmi menjadi bagian dari keluarga kami, bagian dari hidupku.

Kami tidak mengenal siapa dan bagaimana keluarga mereka, begitupun mereka kepada kami. Tidak ada yang saling mengenal kecuali sepotong info yang mereka dapat bahwa kami adalah tempat titipan yang tepat buat bayi kecil mereka. Iyya, mereka hanya membutuhkan tempat titipan yang tepat itulah kenapa mereka datang kepada kami. Bayi kecil yang mereka bawa tidak bisa mereka titipkan kepada keluarga asli mereka karena tidak ada yang mau dijadikan tempat titipan kecuali mereka mau  menyerahkan resmi anak mereka. Duh, siapa yang bisa memberikan seutuh dan selamanya anak sendiri kepada orang lain. Meski tentu menyerahkan kembali anak yang sudah dibesarkan dengan penuh sayang dan ketika besar harus dikembalikan kepada orangtua aslinya juga adalah perjanjian yang menyesakkan. Dan perjanjian menyesakkan itulah yang membayangi kami, sebagai keluarga  tempat titipan.

 Dengan perkenalan yang singkat, sedikit basa basi dan sedikit info tentang Nouval. Bahwa Nouval adalah lelaki kecil yang kuat dan sehat, Nouval yang kalau tidur harus tengkurap, Nouval yang jago minum susu, Nouval yang begini dan begitu. Lalu mereka pamit pulang, dengan airmata yang banyak tentu. Hari itu mereka resmi menitipkan bayi kecil sembilan bulan mereka pada kami, keluarga tanpa pertalian darah sama sekali yang mereka percaya akan mencintai bayi kecil mereka seperti anak sendiri, dan itulah yang kami lakukan hingga sekarang. Selalu lupa bahwa bayi kecil yang kami jaga dan besarkan adalah bukan darah kami, yang selalu ada adalah ingatan bahwa dia adalah hadiah manis dari Tuhan.

Sedianya Nouval akan menjadi tanggungan mama bapakku yang memang mereka berstatus orangtua bagi ratusan anak tak berorang tua dan anak yang butuh disekolahkan sejak dua puluh tahun yang lalu hingga sekarang. Tapi lelaki kecil menggemaskan yang pandai duduk itu adalah kasus yang berbeda. Dia butuh orangtua.

Maka saya yang sudah jatuh hati memintanya pada mama, sayang sekali karena saya meminta tanpa persetujuan suamiku terlebih dahulu.
Iyya, ramadhan itu adalah ramadhan pertamaku berstatus istri, masih pengantin baru beberapa bulan  dengan usia yang masih enam belas tahun dan suamiku yang masih sembilan belas tahun. Kulafal doa dengan hati yang deg-degan dan kuajak lelakiku itu bicara. Dia marah dan menolak, mempertanyakan keberanianku mengambil keputusan besar tanpa melibatkannnya terlebih dahulu, kami masih sangat muda ditambah statusku yang masih anak sekolahan 2 SMA. Wajar kalau dia mengkhawatirkan semua itu. Meski akhirnya dia mengembalikan semua keputusan ditanganku; istri tidak taat. Ah maafkan!

Tapi hati manusia siapa yang tahu?

Dengan berlalunya hari dan Oofa (baca;Ufa) sekarang sudah berusia lima tahun kurang sebulan, suamiku tercatat sebagai idola pertama dan tersayang anakku itu. Karena meski dia awalnya begitu kecewa dengan sikapku, tapi dia tetaplah laki-laki paling baik dan penyayang yang kukenal setelah bapakku; dia begitu mencintai anakku dengan indah.

Oofa selalu menjadikan abbanya yang pertama ketimbang saya, selalu lebih memilih abbanya ketimbang saya umminya. Kenapa bukan saya idola pertama dan tersayangnya?
Jawabannya adalah: karena saya tidak akan pernah sanggup meladeninya bermain gulat berjam-jam, saling tindih, saling menendang,meninju dan saling berteriak. Saya tidak akan pernah mengajaknya mendekati kerbau, kambing, dan kuda dan membantunya naik ke atas punggung busuk binatang-binatang peliharaan itu, saya tidak akan pernah mau berlari dan sekali-kali mengendap untuk menangkapkannya ayam, membiarkannya bermain dan memeluk binatang menyebalkan itu. Saya tidak akan pernah berani membawanya bermain di kolam renang khusus orang dewasa karena hingga kini pun saya berusia duapuluhsatu tahun, saya masih saja tidak pandai berenang, saya tidak akan pernah berani mengajarinya memanjat pohon lalu membiarkannya naik dari dahan yang rendah ke dahan yang tinggi. Dan banyak laki keseruan-keseruan liar yang bisa Oofa rasakan hanya dengan abbanya, bukan saya. Abbanyalah yang lebih banyak menemaninya bermain dan bergembira dengan hal-hal seperti itu.
Dan saya? saya hanya akan selalu menjadi tempat pulangnya kalau ingin mendengar cerita-cerita pengantar tidur atau menjadi pembaca buku-buku dongeng yang disukainya. Selalu begitu. Tapi percayalah, saya menikmatinya.

 Like son like father. Sebut saja seperti itu, toh yang kupunya memang hanya mereka, dua laki-laki ajaib yang tertakdir sama.
 Tiba-tiba datang, tanpa doa-doa yang panjang, memaksaku merasakan banyak rasa dan bermetamorfosis lebih cepat dari usiaku, dan tiba-tiba juga kucintai sepenuh hati.

Sekarang hampir lima tahun pernikahan kami dan itu berarti Oofa sudah menjadi bagian keluarga kecil kami  juga hampir lima tahun.
Dari sejak ia hanya pandai merangkak dan duduk hingga sekarang kecepatan larinya diakui oleh ustadzah-ustadzah di sekolahnya. Dari sejak ia hanya menggumam tidak jelas hingga sekarang dia begitu pandai merangkai kata, fasih berbicara, menghafal banyak surah-surah alquran dan ayat-ayat pilihan yang dia hafal dari vidio-vidio yang di download abbanya ( abba lagi) dan pandai protes ini itu kepada kami. Oofa kami sudah besar, tumbuh besar dan sehat. Cerdas dan shaleh. Selalu semoga.

BarakaLlah, nak. Sehat selalu. Uhibbuka fiLlah.



Kampus I YAPIM, Monday, 10 August 2016.

Comments

Popular posts from this blog

Drama dalam Kepala Buibu

Assalamualaikum, rumahku... Apa kabar? masih dengan status "hidup ndak, mati ogah" yah, rumah? heheh iyya... i need you but always forget you yah. Sini peluk rumahku diriku bukuku! Eniwei, alhamdulillah, syukur yang dalam nan tulus karena Allah masih berikan kita kesempatan hidup sehat dalam keadaan masih muslim untuk ketemu Ramadhan ini; bulan penuh cinta paling hidup. Dear, rumahku. Temani saya ngobrol bout two choices yang lagi riuh pisah di kepalaku sendiri yah, here we go bismillah. Em, diskusi bout being a full mom at home atau being a working mom adalah topik yang menurutku ndak pernah etis  buat didebatkan mana yang paling mengambil peran termulia sebagai ibu dan mana yang 'ibu setengah mulia karena kerja di luar rumah' atau malah menjadi 'ibu kolot tidak terpelajar karena di rumah saja ngurus urusan dapur kasur', semua tergantung niat, kualitas diri dan keridhaan anak suami menurutku. Lets see the world, ada banyak ibu full time di

Kepada Dirimu, Hafsah.

Kepada dirimu, Ada waktu-waktu saat kita saling berbicara tentang kelu yang kita rasa bersama. Ada mata yang basah saat mengenang sedihnya menjadi perempuan seperti kita. Tapi itu dulu,  dua tiga tahun yang lalu. Kita sudah memilih berbahagia dengan banyak sekali cara, turut bergembira dan memeluk hangat, ketika kawan kita yang lebih dulu_ dan lagi-lagi_ diizinkan  Tuhan. Bukan kau atau aku. Kita sudah menyabarkan diri, memilih lebih percaya Tuhan Daripada sesak yang terus berlarut. Sesekali kembali basah, tapi tak mengapa membiarkannya  tumpah mungkin lebih baik Daripada berkarat hati dan runtuh kepercayaan padaNya, pada Tuhan yang lebih dekat daripada urat leher kita sendiri. Kau tahu?  Setiap kali aku ingin merutuki takdir, menangis sesegukan di ujung kasurku,  Saat setanku berbisik untuk mengutuk Tuhan, aku melihatmu. Duduk disampingku dengan mata sembab dan  luka yang lebih dibanding aku. Atau sekali waktu, kau datang dengan

Tahfidz Putra Darul Istiqamah Dan Surga Sebelum Surga

Air berkecipak Saling beradu pelan, syahdu dari gerakan-gerakan suara yang kutahu lebih baik dari kecipak air mandiku. Dalam gelap paling mustajab kakikaki itu pergi ke rumah tuhan. Masih dalam separuh buaian mimpi aku tahu, tuhanku juga memanggil lalu aku; dengan mata tertutup menakarnakar rindu padaNya, menghitunghitung kekuatan melawan syaithan. ______________ Sudah pukul empat pagi ketika saya mulai menulis ini, dan dari masjid masih terdengar suara imam memimpin shalat tahajjud. Tartil, merdu, indah. Percayalah, menuliskan ini butuh banyak kekuatan. Ini pertama kalinya mengenalkan kehidupan baruku kepada rumah abu-abu ini. Dan  sepotong cerita pagi tentang Tahfidz Putra Darul Istiqamah,  its more than wonderful masyaallah. Masih pukul tiga-an, ketika qadarullah saya terbangun karena sebuah mimpi. Dalam proses memperbaiki posisi tidur kembali, di waktu ketika bahkan kokok ayam belum satu pun terdengar, saya mengenal baik suarasuara air  dan langkah kaki santri-santri y