Skip to main content

Bapak dan Kata-Kata Paling Sunyi

Aku selalu tahu, ada satu lelaki yang akan utuh mencintaiku,  lebih dari siapapun setelah Tuhan, bagaimanapun aku.

Yang sepenuh sayang menatap dalam diam, yang memelukku berkali-kali setiap hari dengan doa tanpa bosan.

Dia lelakiku tersayang, lelaki pertama yang mengajari cinta juga dunia. Yang saat kukenali namaku, kukenali juga dia sebagai lelaki yang akan menjagaku dengan nyawanya. Yang akan mencintaiku lebih banyak dari seluruh rambut putih di kepalanya.

Dia bapakku. Lelaki dengan kata-kata cinta paling sunyi, dengan mata paling merah jambu.

_________

Hari ini kuliah pagi. Tiga mata kuliah,  dari pukul sembilan sampai pukul tujuh belas lewat sedikit. Dijemput suami dan diantar bapak; lelaki tua tersayangku.

Tersebab baru pulang shift malam di pukul tujuh lewat, membuatkan susu, menyiapkan semua keperluan Oofa ke sekolah, menyetrika dan lalalala yang baru selesai setelah pukul delapan lewat, tidak sekali pun tubuhku mau menerima kenyataan kalau hari ini kuliah pagi. Maafkan, saya memang suka belajar, tapi juga suka tidur. 

Tapi setelah berjuang mengumpulkan nyawa, saya akhirnya bersiap juga sebab sudah nyaris pukul sembilan kurang sekian menit saja. Diantar bapak yang membawa motor seperti dalam adegan slow motion. Dulu, saat masih kanak-kanak bahkan sampai kelas belasan, saya ingat cara bapak membawa motor. Bapak pandai menyalip-nyalip di antara kendaraan yang lain tapi bukan yang ugal-ugalan menyebalkan. Dahulu, dibonceng bapak selalu menyenangkan. Bapak menjelma laki-laki paling romantis yang akan mengantar sampai tujuan dengan cepat dan aman.

Lalu kemudian, waktu berlari tanpa suara. Semua rambut bapak nyaris utuh memutih. Tangannya tidak lagi sekuat dulu yang bisa menggendong dua sampai tiga sekaligus cucu. Dan perihal membawa motor, bapak tidak lagi bisa bercepat-cepat. Bahkan meski jalanan lengang belasan kilometer di depan kami, bapak tidak akan melajukan motornya buru-buru. Kecepatannya hanya akan  meningkat sekian persen saja kalau sudah kukatakan  aku sudah terlambat.

Begitupula tadi pagi. Sudah pukul sembilan lewat sedikit, dan saya masih di atas motor yang dibawa bapak seperti sedang menggowes sepeda di padang rumput. Pelan, santai, seperti ingin menghirup udara baik-baik sementara saya harus menahan diri agar menikmati perjalanan itu saja.

Dengan hati yang mulai gusar, saya melihat bapak dari kaca spionnya. Bapak yang fokus menghadap ke depan, tenang tanpa sepatah kata pun, dan saya terenyuh. Garis-garis muka bapak tidak lagi sama saat aku kecil dulu. 

Dan saya terbang ke dalam banyak sekali kenangan.

Bapak tipikal laki-laki yang tidak banyak bicara, tenang, bijak, laki-laki paling dermawan, penyayang dan paling jujur. Sedari kecil, saat merasa punya hak lebih atas suatu hal dibanding saudara-saudara yang lain, bapak akan selalu bilang kepada kami agar jangan iri. Jangan sekali-kali membiarkan perasaan cemburu negatif masuk ke dalam hati sebab akan berbahaya. Akan menjadi kebiasaan kemudian menjadi penyakit hingga besar nannti. Bapak selalu bilang rezeki kita berbeda-beda, tidak perlu saling iri.

Dan di atas motor, setelah belasan tahun berlalu, saya bersyukur sebab terlalu sering diingatkan demikian. Jika tidak dan karena izin Allah tentu,   apa kabar hatiku dengan kenyataan bahwa kakak tersayangku yang anak kedelapannya masih berumur satu tahun lebih, yang baru belajar ngoceh, ternyata sudah hamil anak kesembilan. 

Jika tidak, apa kabar hatiku dengan kenyataan bahwa adik perempuanku, yang menikah enam bulan yang lalu juga sudah dititipi manusia tiga bulanan dalam perutnya. Sementara aku, setelah nyaris enam tahun berlalu, Allah belum mengizinkan aku menjadi ummi untuk anakku sendiri.

Terima kasih, Bapak. Sungguh terima kasih sudah senantiasa mengajarkan  untuk selalu berdamai dengan hatiku sendiri. Hari ini, saat sudah dua puluh dua tahun, aku tahu, kau lelaki yang paling setia mencintaiku lebih dari siapa pun setelah Tuhan. Yang mengajarkan bahagia di dua kehidupan.


Rabu, 18 Oktober 2017. Perjalanan pagi bersama bapak.

#onedayonepost #bapak 


Comments

Popular posts from this blog

Drama dalam Kepala Buibu

Assalamualaikum, rumahku... Apa kabar? masih dengan status "hidup ndak, mati ogah" yah, rumah? heheh iyya... i need you but always forget you yah. Sini peluk rumahku diriku bukuku! Eniwei, alhamdulillah, syukur yang dalam nan tulus karena Allah masih berikan kita kesempatan hidup sehat dalam keadaan masih muslim untuk ketemu Ramadhan ini; bulan penuh cinta paling hidup. Dear, rumahku. Temani saya ngobrol bout two choices yang lagi riuh pisah di kepalaku sendiri yah, here we go bismillah. Em, diskusi bout being a full mom at home atau being a working mom adalah topik yang menurutku ndak pernah etis  buat didebatkan mana yang paling mengambil peran termulia sebagai ibu dan mana yang 'ibu setengah mulia karena kerja di luar rumah' atau malah menjadi 'ibu kolot tidak terpelajar karena di rumah saja ngurus urusan dapur kasur', semua tergantung niat, kualitas diri dan keridhaan anak suami menurutku. Lets see the world, ada banyak ibu full time di

Kepada Dirimu, Hafsah.

Kepada dirimu, Ada waktu-waktu saat kita saling berbicara tentang kelu yang kita rasa bersama. Ada mata yang basah saat mengenang sedihnya menjadi perempuan seperti kita. Tapi itu dulu,  dua tiga tahun yang lalu. Kita sudah memilih berbahagia dengan banyak sekali cara, turut bergembira dan memeluk hangat, ketika kawan kita yang lebih dulu_ dan lagi-lagi_ diizinkan  Tuhan. Bukan kau atau aku. Kita sudah menyabarkan diri, memilih lebih percaya Tuhan Daripada sesak yang terus berlarut. Sesekali kembali basah, tapi tak mengapa membiarkannya  tumpah mungkin lebih baik Daripada berkarat hati dan runtuh kepercayaan padaNya, pada Tuhan yang lebih dekat daripada urat leher kita sendiri. Kau tahu?  Setiap kali aku ingin merutuki takdir, menangis sesegukan di ujung kasurku,  Saat setanku berbisik untuk mengutuk Tuhan, aku melihatmu. Duduk disampingku dengan mata sembab dan  luka yang lebih dibanding aku. Atau sekali waktu, kau datang dengan

Bagaimanakah Besarnya Cinta Allah Padamu, Sayang?

Hokeh, ini rumah keduaku. Tempat tumpah macam cerita, juga sampah-sampah. Meski sebenarnya saya selalu berharap ada sampah yang bisa kalian daur ulang di sini, dengan bentuk yang jauh lebih baik. Pemahaman yang baru. Hari ini alhamdulillah saya berkesempatan juga jenguk Alif di RS Wahidin Makassar. Dia masih di ICU, pasca operasi Senin (091017) kemarin dia sempat sadar sehari kemudian muntah-muntah, demam tinggi dan sampai sekarang matanya belum terbuka-buka. Tapi dia merespon alhamdulillah kalau kakinya dielus, ada gerakan kecil dan lemah. Juga begitu kalau badannya dimandi, mamanya bilang dia bersuara kalau dimandi, meskipun dengan suara yang sangat lemah dan singkat. Tapi itu sudah syukur sekali kata mamanya. Badannya panas, dua kaki kecilnya  membengkak entah kenapa. Ada beberapa selang  di tubuh kecil nan ringkihnya Alif. Satu di antaranya selang yang dipasang di bawah  kulit perut; kalau tidak salah iyyah begitu kata dokternya tadi, waktu kukira selang itu dipasang di lambung.