Skip to main content

Dika Hijrah Tiap Hari





Dalam beberapa keadaan, aku tahu, aku menempati tempat tersunyi.
Lalu berdebat dengannya tak mau habis, pula paksa-paksa untuk
Jeli, untuk sadar, ini suara iman. Bukan kehinaan.
______

“heii, mungkin berjilbab seperti itu cantik, yah. Keren…” mata coklat Dika menangkap siluet perempuan berjilbab pashmina greentea yang berjalan di koridor kelas. Anggun. Lagi, hatinya teriak girang hanya untuk berdengung di hatinya saja. Tidak pada sesiapa.

Lalu..

“juga gamis seperti itu! Aiih, aku bisa sedikit lebih modis lagi ternyata. Kalau begitu kan jadi kelihatan smartnya, juga kesan shalihahnya tetap ketangkep…”  bibir Dika tersenyum, juga matanya, lima detik cukup. Seperti ada bohlam yang menyala terang di atas kepalanya. Ada referensi baru yang perempuan berlesung pipi itu dapat dalam berbusana untuk esok hari.

Esoknya Dika malah datang ke kampus dengan potongan gamis sederhana dan jilbab segitiga menjulur sampai ke bawah dada, sampai menutupi bokong malah. Bukan dengan referensi busana yang seterang bohlam lima puluh watt yang kemarin direkamnya.

Bukan perempuan berpashmina greentea itu saja yang disimpan memorynya, bukan pula hanya teman mahasiswi yang berbusana jeans overall plus inner itu. Bukan hanya mereka. Tapi tumpukan berbagai gaya busana muslimah ada dalam kepalanya. Seperti gerai yang buka dua puluh empat jam sehari tanpa libur. Dari profil sahabat, teman kelas, guru, tetangga, teman kerja, hingga puluhan selebgram muslimah. Dia bisa bebas memilih ingin meniru siapa dengan style bagaimana, tapi tidak pernah.

Mata coklat Dika memang selalu berhasil menjadi lensa konkaf yang menebarkan gembira dari apa yang terekam, tapi hatinya, entah. Ada mata di dalamnya yang juga selalu berebut tempat menjadi lensa konveks untuk memberitahukan fokus yang seharusnya menjadi prioritas.

:keselamatan iman.

“kawanmu itu memang laki-laki, bukan mahram, tapi kan dia hanya ingin menjadi teman maya saja. Hanya ingin bertanya tentang islam, kenapa tak kau accept saja invitenya di BBM?toh kalian hanya akan chattingan saja, bukan bertemu apalagi bersentuhan” kali ini sesuatu yang berbicara padanya, suara dari entah. Mungkin segumpal daging yang sudah bernoktah sebab dosa.

Tak mudah mengabaikan jika sudah masuk perkara islam. Tapi perempuan mungil itu tahu, agamanya juga jelas memberi ruang terhormat bagi hawa; tak sembarang lelaki yang boleh beruluk salam, pun dengan dalih  belajar. Dika tahu kapasitas imannya, setan masih saja senantiasa datang.

Sudah semester lima, dua tahun lebih sudah terlewati, bukan hijrah dari tak berbusana muslimah yang Dika ikhtiyarkan sepenuh cinta, tapi menjaga nurani. Dan ternyata itu lebih berat. Sebab kadangkala berkawan dengan nurani sama artinya sunyi. Beberapa kali dicemoh, disenyumi palsu. 

Dika kecil sudah pandai memakai jilbab sendiri, malu tak memakai jilbab di luar rumah, bahkan jika hanya ikutan menjadi penonton bola saudara-saudaranya di halaman rumah atau ikutan menjadi peserta petak umpet, songkolo ke’ju, menangkap ikan di sungai dekat rumah apalagi bersepeda di luar rumah. 

Tapi berislam sejak kecil bukan berarti beriman hingga dewasa. Dika butuh hijrah setiap hari. Berdebat dengan bisikan-bisikan melankolik yang palsu.

-end

 ____
Pukul berapakah sekarang di kota kalian?
 #tantangantemahijrah

Comments

Popular posts from this blog

Drama dalam Kepala Buibu

Assalamualaikum, rumahku... Apa kabar? masih dengan status "hidup ndak, mati ogah" yah, rumah? heheh iyya... i need you but always forget you yah. Sini peluk rumahku diriku bukuku! Eniwei, alhamdulillah, syukur yang dalam nan tulus karena Allah masih berikan kita kesempatan hidup sehat dalam keadaan masih muslim untuk ketemu Ramadhan ini; bulan penuh cinta paling hidup. Dear, rumahku. Temani saya ngobrol bout two choices yang lagi riuh pisah di kepalaku sendiri yah, here we go bismillah. Em, diskusi bout being a full mom at home atau being a working mom adalah topik yang menurutku ndak pernah etis  buat didebatkan mana yang paling mengambil peran termulia sebagai ibu dan mana yang 'ibu setengah mulia karena kerja di luar rumah' atau malah menjadi 'ibu kolot tidak terpelajar karena di rumah saja ngurus urusan dapur kasur', semua tergantung niat, kualitas diri dan keridhaan anak suami menurutku. Lets see the world, ada banyak ibu full time di

Kepada Dirimu, Hafsah.

Kepada dirimu, Ada waktu-waktu saat kita saling berbicara tentang kelu yang kita rasa bersama. Ada mata yang basah saat mengenang sedihnya menjadi perempuan seperti kita. Tapi itu dulu,  dua tiga tahun yang lalu. Kita sudah memilih berbahagia dengan banyak sekali cara, turut bergembira dan memeluk hangat, ketika kawan kita yang lebih dulu_ dan lagi-lagi_ diizinkan  Tuhan. Bukan kau atau aku. Kita sudah menyabarkan diri, memilih lebih percaya Tuhan Daripada sesak yang terus berlarut. Sesekali kembali basah, tapi tak mengapa membiarkannya  tumpah mungkin lebih baik Daripada berkarat hati dan runtuh kepercayaan padaNya, pada Tuhan yang lebih dekat daripada urat leher kita sendiri. Kau tahu?  Setiap kali aku ingin merutuki takdir, menangis sesegukan di ujung kasurku,  Saat setanku berbisik untuk mengutuk Tuhan, aku melihatmu. Duduk disampingku dengan mata sembab dan  luka yang lebih dibanding aku. Atau sekali waktu, kau datang dengan

Bagaimanakah Besarnya Cinta Allah Padamu, Sayang?

Hokeh, ini rumah keduaku. Tempat tumpah macam cerita, juga sampah-sampah. Meski sebenarnya saya selalu berharap ada sampah yang bisa kalian daur ulang di sini, dengan bentuk yang jauh lebih baik. Pemahaman yang baru. Hari ini alhamdulillah saya berkesempatan juga jenguk Alif di RS Wahidin Makassar. Dia masih di ICU, pasca operasi Senin (091017) kemarin dia sempat sadar sehari kemudian muntah-muntah, demam tinggi dan sampai sekarang matanya belum terbuka-buka. Tapi dia merespon alhamdulillah kalau kakinya dielus, ada gerakan kecil dan lemah. Juga begitu kalau badannya dimandi, mamanya bilang dia bersuara kalau dimandi, meskipun dengan suara yang sangat lemah dan singkat. Tapi itu sudah syukur sekali kata mamanya. Badannya panas, dua kaki kecilnya  membengkak entah kenapa. Ada beberapa selang  di tubuh kecil nan ringkihnya Alif. Satu di antaranya selang yang dipasang di bawah  kulit perut; kalau tidak salah iyyah begitu kata dokternya tadi, waktu kukira selang itu dipasang di lambung.