Skip to main content

Who Are We?




Me : Oofa di sekolah punya sahabat?
Oofa : …
Me: Sahabat itu apa, Nak?
Oofa : Emm… sahabat itu Bro!
Me : haah? Kok bro, Nak? Kenapa bro? Hahahhhahah
Oofa : iyye, sahabat itu bro!
Me : Sahabat itu, Nak yang begini lalalala…
____                                                                           

Itu adalah sebuah percakapan saya bareng Oofa di suatu malam sebelum tidur saat dia ikut nginap di tempat kerja. Saya hanya ingin tahu siapa sih teman kelas yang sangat dekat dengan dia. Even, makna sahabat yang dia tahu masih sebatas yang selalu mau berbagi makanan dan main apa saja bareng dia. Belum sampai ke makna sahabat seperti yang ada dalam kepala kita masing-masing. Karena kita yang sudah dewasa (tua umur) ini pun  mungkin punya opini yang berbeda tentang sahabat. And its okay 😊

Sahabat : seseorang yang tidak masalah jika dia tidak selalu ada di jangkauan mata kita tapi dimana pun, dia selalu bisa menjadi tempat berbagi cerita apa saja. Kita bisa jujur, and being crazy.

Sounds selfish mungkin. Tapi yah itu yang saya rasakan_saya yakin dia juga_ bareng dia. 

Angkatan kelas kami namanya Khansa’, dan karena saya tipikal orang yang mudah beradaptasi (baca; cerewet), kepada mereka,  saya terbiasa berbagi cerita apa saja. Berkeluh kesah dari hal yang remeh bin receh sampai hal yang cukup serius. Begitu pun dengan partner kerja dan teman kuliah.

Tapi of course, setiap kita secerewet-cerewet apapun, pasti alam bawah sadar kita tetap saja ON untuk mengingatkan me-rem mulut. Dalam lingkup yang lebih kecil dan intens, saya punya  beberapa kawan, kami terbiasa saling berbagi, melempar jokes, menertawakan hal-hal absurd bin bego. Seperti memang sudah ada ikatan magis yang membuat kita dekat dan chemistry itu kuat. Sehingga saling melempar ejekan pun tak pernah berhasil merusak chemistry itu.

Tapi, beberapa minggu yang lalu, dan sebenarnya bukan yang pertama kalinya, saya berdebat dengan salah satu dari mereka.  Sebenarnya bukan berdebat karena saya lebih banyak diam dan berusaha menahan intonasi suara. Saya memang selalu dan seperti sudah terbiasa membuatnya menang dengan berbagai argumentnya sendiri. Sementara argumenku kusimpan di kepalaku, membiarkannya ribut berputar-putar selalu lebih baik bagiku daripada kuungkap sementara dia  juga tidak akan mengerti.

___

Okeh, intronya mungkin sudah terlalu panjang dan berputar-putar saja. Malam itu, saat bertanya dengan Oofa, sebenarnya saya sedang memikirkan seorang kawan, seorang sahabat yang kepadanya saya nyaman dan aman menumpahkan segalanya, sampai hal-hal yang deep from my heart, segala resah dan keinginan, yang saya sendiri kadang susah membahasakannya kepada suami atau bahkan untuk menjembrengnya kepada teman-teman yang saya sebut kami punya chemistry itu. Hanya sama dia saja. 

Saya memanggilnya La. 

Membicarakan keistimewaan seseorang bagi kita kadang tidak pernah cukup dengan kata-kata. Begitupun La bagi saya. Seringnya frekuensi berdebat dengan kawan yang satu karena persoalan pilihan yang kuambil, I know then, La satu-satunya kawan yang sedari awal sangat paham dengan keputusan yang kuambil. Stay as a working mom.

Kita selalu berhak memilih pilihan masing-masing, ketika pilihan itu memang tersedia dan keluarga ridha.

Iya, I’m not stay at home mom. Bukan karena saya tidak cinta dengan dunia tumbuh kembang anak dan bersibuk ria dengan tumpukan kerjaan rumah yang entah kenapa ada-ada saja. Setiap perempuan punya kodrat mencintai dunia itu, termasuk saya yang crazy ini. Saya menikmati saat-saat dimana saya  fokus menyelesaikan tumpukan cucian, bolak-balik dengan setrikaan dan masakan di dapur, menyelesaikan tumpukan  lipatan dan beberes kamar. Mengganti seprei, merapikan kasurnya Oofa, mencuci-mengganti keset, mencuci trash kamar dan mencuci sandal-sepatunya Oofa juga dia. Saya menikmati saat saya menghabiskan waktu di rumah dengan semangat mengerjakan semua itu, bahkan saya juga tetap merasa puas menjalani peran sebagai istri dan ummi ketika rasanya lelah sekali, bad mood tapi  tuntutan lemari yang mulai kosong dan malah berpindah ke keranjang, jadi mau tidak mau harus tetap bergerak meski dengan sometimes rada misuh-misuh atau dengan menghandle semuanya sambil menonton apresiasi puisi di youtube, sambil sesekali baca novel, atau sambil mata berpindah-pindah dari setrikaan ke lepi yang menyala menampilkan drakor. Hah,aku memang bukan malaikat, kawan!😅

Saya juga sangaatt menikmati ketika berbagai moment saya habiskan di rumah; nonton stand up comedy bareng dia di youtube, nonton vidio-vidio da’wah,  atau dengar ceritanya dia tentang betapa inspiratifnya seorang Naruto, kerennya Baruto, drama persaingan sekaligus persahabat Naruto dengan Sasuke, hebatnya coach tim nganu, kocokan bola si ngana, betapa memalukannya politikus ini, betapa miris rezim pemerintahan anu, betapa bersyukurnya kita punya politikus seperti dada didi, dll.

Saya juga menikmati waktu-waktu di mana saya ngobrol dengan Oofa, menceritakannya apa saja, menjawab pertanyaan-pertanyaannya, membantu memakaian baju, mengajaknya makan bareng, mengajarinya membaca, mengontrol shalat dan murajaahnya, mencharge earphone dan mengurusi tetek bengek persiapan sekolahnya. Meski tetap saja ada yang tidak sempurna dari semua yang kulakukan, saya mencintai duniaku itu.

Tapi kecintaan saya bukan itu saja. Kalau beberapa perempuan nyaman tinggal di rumah sedari bangun tidur sampai tidur kembali. I don’t. Dan memang wajar saja bukan, jika kita punya perbedaan akan kecintaan masing-masing?

Saya senang berada di rumah, tapi juga butuh dunia luar rumah. 
Perempuan dengan kodratnya yang memang mencintai rumah dan segala lalalanya tetap saja; We’re human being yang punya passion, cita-cita dan kesenangan yang berbeda-beda. Kita tidak pernah berhak memaksa seseorang, atau menghakimi seseorang atas pilihan yang dia putuskan. Memberi pendapat dan saran mungkin masih sah-sah saja, tapi kemudian nyinyir dan mensinisi, who are we?? Kita tidak bisa memaksa seseorang menjalani kehidupan yang sama dengan kehidupan yang menurut kita itu baik dan tepat, karena baik dan tepat itu relative. Please, mari belajar menghargai pilihan orang lain.

Hasil gambar untuk gambar who are we?

Being a working mom, bukan karena saya tidak percaya pada rezekiku yang Allah akan titipkan pada suamiku saban harinya. BIG  BIG NO!

Tapi being a working mom, saya menemukan diriku yang lebih bersinar. Kesenanganku bersosialisasi dengan banyak orang terpenuhi, kecintaanku dengan dunia pendidikan, dunia remaja tersalurkan, ketakjubanku dengan luasnya ilmu-ilmu yang Allah jembreng buat kita semua bisa kunikmati, ibadahku tetap terjaga, dan lagi, saya tidak bekerja dengan pergi meninggalkan rumah sejauh puluhan kilometer, No. Lingkungan bekerjaku masih di lingkungan pesantrenku juga. Saya bisa pergi dengan antar jemput atau hanya berjalan kaki yes saja. Dan saya sungguhan bersyukur karena lahir, besar, sekolah dan hidup di lingkungan pesantren ini juga. Tempat mengabdi sekaligus belajar tanpa henti.

Lingkungan yang membuatku semakin sadar bahwa menjadi pribadi yang biasa saja (bukan dalam konteks kesederhanaan) di zaman yang berat ini mungkin memang kesalahan, seperti yang seorang kakak katakan. Umat butuh orang yang bisa tampil untuk kebermanfaatan bagi sesama.
Dan ketika semua alasan itu yang kupunya sebagai working mom, saya heran kenapa dia tidak paham juga dan terus nyinyir dengan pilihanku. Sementara di sisi lain, sahabat yang kutahu adalah yang seseorang yang lebih paham karakter kita dibanding orang lain.

Lagipula, percayalah  Cepat atau lambat saya akan pulang ke rumah, sebab lima perkara sebelum lima perkara itu, juga akan datang kepadaku.


___
Still Monday, kan? :D

Tulisan ini ditulis untuk memenuhi tantangan materi-6.
*Penulis yang membuat saya jatuh cinta dan ingin menulis dahulu adalah Ifa Avianty.
*Novelnya Strowberry shortcake kubaca hingga lebih dari 10 kali.

Comments

Popular posts from this blog

Drama dalam Kepala Buibu

Assalamualaikum, rumahku... Apa kabar? masih dengan status "hidup ndak, mati ogah" yah, rumah? heheh iyya... i need you but always forget you yah. Sini peluk rumahku diriku bukuku! Eniwei, alhamdulillah, syukur yang dalam nan tulus karena Allah masih berikan kita kesempatan hidup sehat dalam keadaan masih muslim untuk ketemu Ramadhan ini; bulan penuh cinta paling hidup. Dear, rumahku. Temani saya ngobrol bout two choices yang lagi riuh pisah di kepalaku sendiri yah, here we go bismillah. Em, diskusi bout being a full mom at home atau being a working mom adalah topik yang menurutku ndak pernah etis  buat didebatkan mana yang paling mengambil peran termulia sebagai ibu dan mana yang 'ibu setengah mulia karena kerja di luar rumah' atau malah menjadi 'ibu kolot tidak terpelajar karena di rumah saja ngurus urusan dapur kasur', semua tergantung niat, kualitas diri dan keridhaan anak suami menurutku. Lets see the world, ada banyak ibu full time di

Kepada Dirimu, Hafsah.

Kepada dirimu, Ada waktu-waktu saat kita saling berbicara tentang kelu yang kita rasa bersama. Ada mata yang basah saat mengenang sedihnya menjadi perempuan seperti kita. Tapi itu dulu,  dua tiga tahun yang lalu. Kita sudah memilih berbahagia dengan banyak sekali cara, turut bergembira dan memeluk hangat, ketika kawan kita yang lebih dulu_ dan lagi-lagi_ diizinkan  Tuhan. Bukan kau atau aku. Kita sudah menyabarkan diri, memilih lebih percaya Tuhan Daripada sesak yang terus berlarut. Sesekali kembali basah, tapi tak mengapa membiarkannya  tumpah mungkin lebih baik Daripada berkarat hati dan runtuh kepercayaan padaNya, pada Tuhan yang lebih dekat daripada urat leher kita sendiri. Kau tahu?  Setiap kali aku ingin merutuki takdir, menangis sesegukan di ujung kasurku,  Saat setanku berbisik untuk mengutuk Tuhan, aku melihatmu. Duduk disampingku dengan mata sembab dan  luka yang lebih dibanding aku. Atau sekali waktu, kau datang dengan

Bagaimanakah Besarnya Cinta Allah Padamu, Sayang?

Hokeh, ini rumah keduaku. Tempat tumpah macam cerita, juga sampah-sampah. Meski sebenarnya saya selalu berharap ada sampah yang bisa kalian daur ulang di sini, dengan bentuk yang jauh lebih baik. Pemahaman yang baru. Hari ini alhamdulillah saya berkesempatan juga jenguk Alif di RS Wahidin Makassar. Dia masih di ICU, pasca operasi Senin (091017) kemarin dia sempat sadar sehari kemudian muntah-muntah, demam tinggi dan sampai sekarang matanya belum terbuka-buka. Tapi dia merespon alhamdulillah kalau kakinya dielus, ada gerakan kecil dan lemah. Juga begitu kalau badannya dimandi, mamanya bilang dia bersuara kalau dimandi, meskipun dengan suara yang sangat lemah dan singkat. Tapi itu sudah syukur sekali kata mamanya. Badannya panas, dua kaki kecilnya  membengkak entah kenapa. Ada beberapa selang  di tubuh kecil nan ringkihnya Alif. Satu di antaranya selang yang dipasang di bawah  kulit perut; kalau tidak salah iyyah begitu kata dokternya tadi, waktu kukira selang itu dipasang di lambung.