“Karena meski bagaimana pun, dialah yang mencintaimu sejantan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhu. Yang berprinsip ketika mencintai hanya akan ada dua sikap seorang lelaki sejati; melamar atau melepaskan.”
Senyap menghinggap. Kamar ini rasanya terlalu sempit, menjepit. Mulutku
kering, jemariku beku. Waktu rasanya sudah terlalu tua dan ingatanku tiba-tiba
rapuh, lupa bagaimana menyusun kata agar meyakinkanmu bahwa semua akan
baik-baik saja. Atau, apakah bukan kata yang harusnya kuucapkan tapi usaha
yang kubuktikan?? Kumohon, jawab aku,
Ta!
Ini sudah jurnal yang ke sekian, Ta. Bergelas-gelas kopi kuteguk
saban malam, sebab mataku tak mau tertutup sedang ingatan tentangmu rasanya
akan membunuhku. Dan penggalan kalimat itu masih menghantui. Kenapa pula
kutuliskan kalimat sebijak itu untuk menguatkanmu menerimanya sedang aku tak pernah
tahu dia akan sepicik itu menyakitimu?! Kenapa kutuliskan itu sedang aku yang
lebih dulu memintamu pada Tuhan?? Aku naïf, Ta! Bodoh!
Ta, salahkah aku masih menyebut namamu dalam doaku? dosakah aku
yang tak bisa berhenti mengutuk imammu? Ada marah yang tak habis kepada dia. Tak
bisa kuteladani Ali radhiyallahu anhu dalam perkara mencintai, Ta. Bahkan meski
sudah kujabani hampir semua sunnah rasul kita agar terhindar dari dosa hati. Gadhul
bashar, memperbanyak shalat dan dzikir, memperbanyak aktifitas positif,
kenyataannya, setan telah mengindahkanmu dalam kepalaku. Memutar
potongan-potongan senyum, gerak dan suara-suaramu yang sudah kurekam diam-diam.
Saat sudah kukatakan pada tuhan bahwa aku mencintaimu karenaNya,
bukankah harusnya hatiku patuh menjadi makmum atas semua kehendakNya juga?
Tapi aku rindu, Ta. Sungguh rindu!
“Assalamualaikum,Tita. Afwan, aku mencintaimu karena Allah.”
Kukirim pesan itu kepadamu enam bulan yang lalu. Pesan yang tak
pernah kuhapus, kubaca hingga berkali dalam seminggu, dan setiap kali itu,
setan mengangguku. Menggoda untuk merampasmu. Pesan yang singkat. Sepersekian detik
setelah empat tahun aku hanya melihat satu perempuan saja setelah ibuku, kamu. Singkat.
Sepersekian detik setelah ratusan doa kukirim pada tuhan agar menjagamu untukku
saja. Singkat. Sepersekian detik setelah aku nyaris frustrasi karena merinduimu
padahal kita berada dalam kelas yang sama selama tujuh semester.
Singkat. Setelah dengan tega kuabaikan nuraniku untuk tak
mengusikmu dengan rasaku. Sekali ini saja, Tuhan…
Dan ternyata itu memang kali pertama, tapi bukan yang terakhir. Aku
futur. Khianat dengan cinta yang kusebut karena Allah.
Ahad, 23 Juli 2017_12.10
#onedayonepost
#tantangan4kelasfiksi
#10paragraf
Comments
Post a Comment