Pagi pecah, tetiba riuh.
Lelaki kecil penuh luka-luka (atau bersisa bekaskah? Entah) pelakunya.
Muntahan air mata, teriakan- teriakan. Hingga
Atap rumah kecil kita rasanya akan terlepas saja.
Bising. Terlalu bising.
Bagaimana bisa kau terima dia, Bu?
Katamu, karena dia anak manusia. Kita manusia.
Bukankah dia punya ibu sendiri? kenapa harus kau, Bu?
Berhenti, Nak. Dia hanya dititipkan pada kita.
Hidup sudah cukup kejam. Ibunya tak punya pilihan. Apakah kita juga harus berlaku kejam?
Terserah kaulah, Bu. Dia hanya membuat pagi kita pecah. Bising.
Perutku rasanya teriris-iris, Nak. Bagaimana jika anakku, anakmu yang menemui nasib demikian?
: Ayah ibu yang sibuk dengan serapah-serapah dan keringat. Pekak telingaku, bahkan. Bagaimana dengan lelaki kecil yang seperti kudisan itu?
Hidup terlalu kejam, Nak.
Terserahlah, Bu. Bukankah hidup memang harusnya berwarna? Kita bahkan sudah terlalu sering menuai hitam di langit-langit rumah kita.
Menggantung di dinding, menempel di lantai-lantai.
"Kakak, Kakak..." kau memanggilku dengan senyum paling rekah. Dengan bekas air mata. Menarik-narik ujung bajuku. Berdadah-dadah melepasku pergi.
Ah, kenapa kau cepat sekali tersenyum selepas mengamuk, Dek?
Kamis, 16 Maret 2017
#onedayonepost
Comments
Post a Comment