Skip to main content

Balada Menjadi Ummi

Saya tidak ingat kapan terakhir kali menemani Oofa belajar bersama dengan antusiasme dan waktu yang banyak. Sampai tadi malam, saya akhirnya melakukannya lagi.

Sepulang dari shift siang semalam, keinginan untuk segera bebersih badan, nimbrung di group bedah film odop dan beristirahat  jadi harus tertunda. Tumpukan pakaian yang tidak sempat kulipat kemarin _karena harus menyetrika pagi, kuliah dan langsung ke tempat kerja sampai malam_ harus kuselesaikan jika mau tidur di kasur yang nyaman.

Seringnya memang saya akan menemani Oofa belajar dan bercerita, tapi sangat jarang dengan waktu yang banyak. Jika pun ada waktu yang banyak, saya yang akan lebih dulu mengibarkan bendera putih, menyerah. Mengarang cerita bahwa beruang atau gajah atau Hasan dan Hussain kelelahan, mengantuk, terpaksa harus tidur di bawah pohon dan tak boleh ada yang mengganggu. Jadi cerita selesai, tidak boleh lagi ada suara; ummi dan Oofa harus tidur juga. Meski Oofa akan selalu merengek agar cerita dilanjutkan, saya  akan keukeuh dengan alasan tak boleh ada yang ribut supaya beruang atau gajah atau Hasan dan Husain tidak terganggu. 

Semalam, saat abbanya membujuk Oofa berhenti belajar (baca; menggambar entah) agar besok shubuh bisa bangun shalat shubuh sementara Oofa masih semangat ingin belajar, saya meminta persetujuan beliau agar membiarkan bocah kecil itu menemani saya yang masih melipat. Alasan saja sebenarnya agar abbanya berhenti membujuk untuk tidur.

Saat sadar bahwa abbanya sudah mengalah dan malah beliau yang lebih dulu tertidur di kasurnya, mulailah Oofa dengan kebiasaannya, mendekati saya, menindis pakaian yang sudah kulipat dan melemparkan banyak sekali pertanyaan.

Sambil melipat, sambil menahan sakit dada yang sangat (efek setiap kali  makan gorengan lebih dari satu) saya harus menghadapi Oofa dengan cerita-cerita dan serangan pertanyaannya yang bukan cuma lima enam tujuh. Tapi lebih dari sepuluh.

 Pertanyaan-pertanyaan biasa, dari mulai ini huruf apa? yang ini huruf apa? kenapa kakak (dalam gambar buku belajar membacanya) main perosotan di huruf U yang besar? saya juga nanti mau begitu, Ummi. kenapa kakak membaca di atas ayunan, padahal bahaya, nanti bisa jatuh?  Sampai pada pertanyaan-pertanyaan sulit ketika Oofa mendapati gambar anatomi kepala di buku belajar membacanya. Yang ini apa? yang ini apa? yang ini apa? gambar yang banyak (berlilit) ini apa? Kenapa ini berwarna hitam, Ummi? apa karena sering makan mie dan menonton tv jadi otaknya hitam? jadi tidak sehat, Ummi?

Maka, sungguh disayangkan karena ummi anak cerdas itu, berotak sangat simple. Jadilah jawabanku seadanya saja, selogis yang kuanggap bisa diterimanya sebagai anak-anak. Padahal sebagian jawabanku adalah akal-akalan ummi yang malas belajar dan nyomot dari pertanyaannya juga.

"Iyya itu gambar sesuatu di otaknya yang jadi hitam karena dia mungkin sering makan mie, sering nonton jadi tidak sehat, jadi hitam."

"Iyya, sayang...iyye... betul...bukan, tapi...."

Uhuk!

Sambil tetap melipat, sambil membujuk dada agar segera sembuh, sesesekali saya menghadap langsung, menatap wajahnya yang takjub penuh keingintahuan dan menjawab pertanyaan-pertanyaannya dengan ngasal yang antusias.

Itulah kenapa, Hikmah...menjadi ummi haruslah cerdas. Belajar banyak, kamu! begitulah suara yang selalu ribut di kepalaku.

Hampir pukul duabelas malam, saat sakit dada saya semakin mengganggu karena malah tembus sampai belakang, lipatan sudah selesai dan kasur siap untuk kutiduri dengan nyaman. Kuminta Oofa agar segera berwudhu', biar nanti di surga bercahaya seluruh badannya, disayang sama Allah dan tidak jadi seperti babi.
 Oofa malah memulai dengan topik yang lain.

"Ummi, babi haram toh? tidak boleh dimakan? tikus juga, Ummi toh haram?"
"Iyya, Nak. Haram semua itu. Tidak boleh dimakan. Pergimki berwudhu', sayangku."
"Kalau belalang, Ummi bisa dimakan toh?"
Saya berpikir, mungkin abbanya yang pernah kasih tahu demikian.
"Iyye, Nak. Bisa. Malam sekalimi, Nak. Pergimki bobo."
"Belalang yang bagaimana, Ummi yang bisa dimakan?"

Oh Allah...

"Em, ummi tidak tau, Nak. Tidak pernah liat. Tanya nenek saja dii, nenek mungkin tau."

Dia berteriak dari dalam kamar, bertanya. Tapi karena tidak mendengar baik apa jawaban neneknya,   dengan semangat, dia membuka pintu yang sudah terkunci. Menyeberang ke kamar neneknya yang juga sudah mengantuk. Mengulang pertanyaan yang sama.

"Belalang yang biasa ada di sawah, Nak. Warna hijau"
"Oh, kutaumi, Nenek!pernahjeka liat dalam tv. Warna hijau toh, Nek?"

Setelah bertanya, girang karena mendapat jawaban belalang halal yang pernah dilihatnya, dia kembali ke kamar memberitahuku jawaban neneknya dan bilang...

"Ummi, nanti gorengkanka dii belalang begitu. Bolehji  dimakan."
 

Uhukkk...Dada saya rasanya semakin sakit. Oofa selalu demikian, meminta hal-hal aneh yang menjijikkan bagi saya

Malam semakin larut, rasanya sangat lelah sementara Oofa masih riuh, sibuk melempar pertanyaan dan cerita-ceritanya. Bolak-balik lagi ke dalam kamar neneknya yang ternyata sedang membongkar beberapa foto pernikahanku dan foto saat perjalanan umrahnya.

Umrah, Ka'bah dan negeri Onta. Maka lain lagi permintaan Oofa.

"Ummi, nanti mauka juga pergi ke negeri Onta dii...nanti bawaka ke sana, Ummi"

Saya tersenyum, menjawabnya singkat,  segera mematikan lampu, memintanya segera kembali ke kamar. Memakaikannya selimut, mengingatkan baca doa dan ayat kursi sebelum tidur.

Fiuuh...meski enggan dan dia masih bersuara lagi. Dia akhirnya diam juga. Dan saya bisa tenang mengambil posisi di kasurku sendiri. Pelan-pelan menyalakan senter ponsel dan membaca novel; Tentang Kamu.

Tere Liye menemani saya yang sudah  sangat mengantuk dan lelah. Tapi harus tetap terjaga karena kesakitan dengan sakit dada yang semakin menjadi hanya karena habis makan dua gorengan saja.

Hingga akhirnya, dzikir, witir dan tertidur.


Sabtu, 11 Mret 2017
Tulisan panjang dari hari yang panjang 

#onedayonepost








Comments

Popular posts from this blog

Kepada Dirimu, Hafsah.

Kepada dirimu, Ada waktu-waktu saat kita saling berbicara tentang kelu yang kita rasa bersama. Ada mata yang basah saat mengenang sedihnya menjadi perempuan seperti kita. Tapi itu dulu,  dua tiga tahun yang lalu. Kita sudah memilih berbahagia dengan banyak sekali cara, turut bergembira dan memeluk hangat, ketika kawan kita yang lebih dulu_ dan lagi-lagi_ diizinkan  Tuhan. Bukan kau atau aku. Kita sudah menyabarkan diri, memilih lebih percaya Tuhan Daripada sesak yang terus berlarut. Sesekali kembali basah, tapi tak mengapa membiarkannya  tumpah mungkin lebih baik Daripada berkarat hati dan runtuh kepercayaan padaNya, pada Tuhan yang lebih dekat daripada urat leher kita sendiri. Kau tahu?  Setiap kali aku ingin merutuki takdir, menangis sesegukan di ujung kasurku,  Saat setanku berbisik untuk mengutuk Tuhan, aku melihatmu. Duduk disampingku dengan mata sembab dan  luka yang lebih dibanding aku. Atau sekali waktu, kau datang dengan

Drama dalam Kepala Buibu

Assalamualaikum, rumahku... Apa kabar? masih dengan status "hidup ndak, mati ogah" yah, rumah? heheh iyya... i need you but always forget you yah. Sini peluk rumahku diriku bukuku! Eniwei, alhamdulillah, syukur yang dalam nan tulus karena Allah masih berikan kita kesempatan hidup sehat dalam keadaan masih muslim untuk ketemu Ramadhan ini; bulan penuh cinta paling hidup. Dear, rumahku. Temani saya ngobrol bout two choices yang lagi riuh pisah di kepalaku sendiri yah, here we go bismillah. Em, diskusi bout being a full mom at home atau being a working mom adalah topik yang menurutku ndak pernah etis  buat didebatkan mana yang paling mengambil peran termulia sebagai ibu dan mana yang 'ibu setengah mulia karena kerja di luar rumah' atau malah menjadi 'ibu kolot tidak terpelajar karena di rumah saja ngurus urusan dapur kasur', semua tergantung niat, kualitas diri dan keridhaan anak suami menurutku. Lets see the world, ada banyak ibu full time di

Tahfidz Putra Darul Istiqamah Dan Surga Sebelum Surga

Air berkecipak Saling beradu pelan, syahdu dari gerakan-gerakan suara yang kutahu lebih baik dari kecipak air mandiku. Dalam gelap paling mustajab kakikaki itu pergi ke rumah tuhan. Masih dalam separuh buaian mimpi aku tahu, tuhanku juga memanggil lalu aku; dengan mata tertutup menakarnakar rindu padaNya, menghitunghitung kekuatan melawan syaithan. ______________ Sudah pukul empat pagi ketika saya mulai menulis ini, dan dari masjid masih terdengar suara imam memimpin shalat tahajjud. Tartil, merdu, indah. Percayalah, menuliskan ini butuh banyak kekuatan. Ini pertama kalinya mengenalkan kehidupan baruku kepada rumah abu-abu ini. Dan  sepotong cerita pagi tentang Tahfidz Putra Darul Istiqamah,  its more than wonderful masyaallah. Masih pukul tiga-an, ketika qadarullah saya terbangun karena sebuah mimpi. Dalam proses memperbaiki posisi tidur kembali, di waktu ketika bahkan kokok ayam belum satu pun terdengar, saya mengenal baik suarasuara air  dan langkah kaki santri-santri y