Skip to main content

Cinta Pertamaku (first love story, main jujur-jujuran)


I

Jam makan siang, selepas shalat dhuhur. Dari teras rumah kakak kedua, Gowa.
Saat kelas empat SD.

Dia berjalan di jalanan setapak dari asrama menuju dapur umum, membawa piring, menunduk seolah takut kalau-kalau ada ranjau. 
“Dia siapa, Kak Nahar?” tanyaku pada kakak keempat.
“Itu? Dia santri putra, namanya anu…nanti dia mau ke Maros, jadi anak tahfiz.” jawab Kak Nahar singkat.

Sama singkatnya dengan aku yang juga hanya melihatnya sekilas. Sambil lalu saja. Lalu lupa.

II

Pengajian malam Rabu, Masjid Jami’, Maros. Kelas I Tsanawiyah (kelas tujuh SMP)

“Siapa itu yang mengaji?” tanganku berhenti mencoret-coret kertas yang sedari awal sejak MC bicara, sudah kulakukan. Teman disebelah yang juga tidak serius mengikuti pengajian, mengangkat bahu tidak tahu, malah ikut memajukan badan. Hendak melihat siapa gerangan yang mengaji dengan suara indah. 

“Ooh…masya Allah”

Kepalanya yang menunduk, aku ingat. oh dia sudah di sini rupanya.

Aku kembali duduk nyaman, kembali bermain dengan pulpen kertas, teman sebelahku juga. Sedang dia masih tenang dengan bacaan alqur’an yang dihafalkannya menggunakan mic di depan jamaah pengajian.

Entah kapan MC memanggilnya naik, juga entah di menit keberapa dia selesai mengaji. Aku tidak peduli.

III

Lajnah Rifqah. Jelang istirahat malam, Asrama Arafah Boarding School, Maros. Kelas I Aliyah (kelas sepuluh SMA)

“Tidur semuanyaaa, baca ayat kursi. Tengah malam nanti, bangun berdoa, minta sama Allah biar dikasih lihat siapa jodohmu nanti.” Kata kak Dina kepada kami adik-adik kamarnya.

“aih, bisakah begitu, Kak?”
“masa, Kak?”
“ih sembarang…“

Saran kak Dina tiba-tiba berubah menjadi topic yang menyenangkan sebelum tidur. Karena ternyata, kak Dina sudah mencobanya. Dan, hasilnya adalah rahasia. Dan meski sedang asik membaca novel, aku juga mendengar keseruan obrolan teman-teman kamarku malam itu, bahkan sesekali ikut tertawa menimpali. 

Lalu seperti ada yang membangunkan, tengah malam itu, dengan cara yang tak sopan; berdoa dari atas ranjang dengan mata yang masih tertutup, aku memintanya.

Berbaju kokoh, bersongkok hitam, menunduk mengaji di sudut lain rumah kami. Tanpa bicara, pun melihatku yang melihat padanya dari sudut yang lain rumah kami.

 Aku terbangun dengan sentuhan lembut teman kamarku, sudah waktunya shalat shubuh.
Lalu lupa dengan mimpi itu hingga berbulan kemudian. Itu hanya bunga tidur, mimpi biasa.

Kelas II Aliyah (kelas sebelas) semester II.

Hanya ada satu laki-laki dalam kehidupanku di luar daripada keluarga dan tokoh-tokoh novel pujaanku.

Seseorang yang hanya tiga kali kulihat sambil lalu saja sebelum pernikahan. Tidak kukenal, tidak kutahu siapa, bagaimana dan darimana asalnya, lalu seperti mimpi, tidak lebih dari dua puluh empat jam dari mulai mama meminta, memberi tahu lamaran itu sampai kemudian besok paginya, dia sudah sah menjadi suamiku, imam dunia akhiratku. Menjadi  orang pertama dan terakhir kali yang kulihat dan kuajak bicara sebelum dan bangun tidurku.

Saat diminta menerima lamaran, di tengah mengamuk dan air mata yang banjir. Saat namanya disebut, seketika ingatan tentang mimpi biasa itu datang. Kali ketiga dari tiga kali melihatnya. Lalu seperti film pendek, dua moment sebelumnya juga datang. Menyadarkanku dengan telak, Tuhan bahkan sudah memberi tahuku berbulan-bulan sebelumnya.

Lalu bagaimanakah rasanya jatuh cinta pertama kali?

Aku sungguh tidak ingat, juga tidak tahu kapan mulai sadar menyukainya, lalu mencintainya. Butuh berpuluh hari, hingga aku tahu, aku jatuh cinta dengan semua hal sederhana yang dia lakukan di tengah sikap kekanakanku yang seperti mimpi, harus menjadi perempuan kecilnya.

Kecupan singkat di kening saat akan keluar rumah, coklat-coklat yang dibungkus kado, selimut yang hangat, pelukan sayang, payung, genggaman tangan, kesabaran menemani saat suhu badanku tidak normal, dan ruang yang luas untuk membiarkanku tetap menjadi aku.

Kenyamanan. Aku tahu itu yang pertama kali kurasakan setelah berpuluh hari bersamanya. Belum cinta. Lalu aku suka, pada lelaki puisiku.

Dan beratus hari hingga hari ini, dia masih menjadi yang pertama dan satu-satunya.

Tentang cinta, rasa yang menetap di hati, melakukan yang terbaik, aku sungguh nol. Yang kutahu, bagian paling jujur dari diriku adalah menginginkannya hanya sebagai milikku saja. Bahkan hingga seluruh manusia dari alam semesta ini berkumpul di kehidupan selanjutnya.

Tak ingin ada orang lain yang memilikinya, lebih buruk atau bahkan, meski lebih baik daripada aku. Yang kunamakan cinta, iyya, memang seegois ini.
Maafkan.

Pernikahan, aku sungguh percaya, cinta bukan syarat paling fundamental untuk memulainya. Seperti dahulu kakek nenek kita, banyak yang menikah karena permintaan ayah ibunya saja. Lalu tanpa cinta, kepatuhan saja, percaya sepenuhnya pada pilihan orangtua, mereka menikah, hari- hari bersama, berteman, saling mengenal, membujuk diri menerima lebih dan kurangnya, nyaman, lalu sadar telah saling mencintai, saling membutuhkan. Lalu segala riak yang kemudian datang, rasanya mudah saja, semua akan selesai jika tetap bersama.
Seperti hal paling klasik di dunia_sesuatu yang langka hari ini_kakek nenek kita hidup bersama menjalani semua suka duka, menyetia hingga mati.

Aku berdoa untuk paket cinta ini, semoga berkah, senantiasa berkah. Dan hanya ada aku, juga  dia.

Dan, wahai hati… terima kasih banyak telah patuh pada janji remajaku, untuk tak pernah mencinta sebelum menikah. Untuk tak pernah mencinta selain pada lelaki halalku.





Comments

Popular posts from this blog

Kepada Dirimu, Hafsah.

Kepada dirimu, Ada waktu-waktu saat kita saling berbicara tentang kelu yang kita rasa bersama. Ada mata yang basah saat mengenang sedihnya menjadi perempuan seperti kita. Tapi itu dulu,  dua tiga tahun yang lalu. Kita sudah memilih berbahagia dengan banyak sekali cara, turut bergembira dan memeluk hangat, ketika kawan kita yang lebih dulu_ dan lagi-lagi_ diizinkan  Tuhan. Bukan kau atau aku. Kita sudah menyabarkan diri, memilih lebih percaya Tuhan Daripada sesak yang terus berlarut. Sesekali kembali basah, tapi tak mengapa membiarkannya  tumpah mungkin lebih baik Daripada berkarat hati dan runtuh kepercayaan padaNya, pada Tuhan yang lebih dekat daripada urat leher kita sendiri. Kau tahu?  Setiap kali aku ingin merutuki takdir, menangis sesegukan di ujung kasurku,  Saat setanku berbisik untuk mengutuk Tuhan, aku melihatmu. Duduk disampingku dengan mata sembab dan  luka yang lebih dibanding aku. Atau sekali waktu, kau datang dengan

Drama dalam Kepala Buibu

Assalamualaikum, rumahku... Apa kabar? masih dengan status "hidup ndak, mati ogah" yah, rumah? heheh iyya... i need you but always forget you yah. Sini peluk rumahku diriku bukuku! Eniwei, alhamdulillah, syukur yang dalam nan tulus karena Allah masih berikan kita kesempatan hidup sehat dalam keadaan masih muslim untuk ketemu Ramadhan ini; bulan penuh cinta paling hidup. Dear, rumahku. Temani saya ngobrol bout two choices yang lagi riuh pisah di kepalaku sendiri yah, here we go bismillah. Em, diskusi bout being a full mom at home atau being a working mom adalah topik yang menurutku ndak pernah etis  buat didebatkan mana yang paling mengambil peran termulia sebagai ibu dan mana yang 'ibu setengah mulia karena kerja di luar rumah' atau malah menjadi 'ibu kolot tidak terpelajar karena di rumah saja ngurus urusan dapur kasur', semua tergantung niat, kualitas diri dan keridhaan anak suami menurutku. Lets see the world, ada banyak ibu full time di

Tahfidz Putra Darul Istiqamah Dan Surga Sebelum Surga

Air berkecipak Saling beradu pelan, syahdu dari gerakan-gerakan suara yang kutahu lebih baik dari kecipak air mandiku. Dalam gelap paling mustajab kakikaki itu pergi ke rumah tuhan. Masih dalam separuh buaian mimpi aku tahu, tuhanku juga memanggil lalu aku; dengan mata tertutup menakarnakar rindu padaNya, menghitunghitung kekuatan melawan syaithan. ______________ Sudah pukul empat pagi ketika saya mulai menulis ini, dan dari masjid masih terdengar suara imam memimpin shalat tahajjud. Tartil, merdu, indah. Percayalah, menuliskan ini butuh banyak kekuatan. Ini pertama kalinya mengenalkan kehidupan baruku kepada rumah abu-abu ini. Dan  sepotong cerita pagi tentang Tahfidz Putra Darul Istiqamah,  its more than wonderful masyaallah. Masih pukul tiga-an, ketika qadarullah saya terbangun karena sebuah mimpi. Dalam proses memperbaiki posisi tidur kembali, di waktu ketika bahkan kokok ayam belum satu pun terdengar, saya mengenal baik suarasuara air  dan langkah kaki santri-santri y