Menganggap semua orang menyayangimu setulus kau menyayangi mereka, dan kau hidup dengan perasaan itu. Padahal sebenarnya tidak.
Bahkan menyukai pun mungkin tidak.
Dan bodohnya saya hidup seceria seorang Hikmah selama ini, dengan perasaan dan anggapan demikian.
Dua pekan berlalu dan ini hari pertama saya menulis lagi. Hampir sepuluh draft di dua pekan kemarin hanya berakhir begitu saja. Dua pekan yang mendung.
Setiap kali ingin menulis, setiap kali itu pula saya khawatir melakukan kesalahan lagi. Khawatir bahwa apa yang akan kutulis di diaryku ini adalah sesuatu yang salah, meski luka itu nganga mengganggu, saya menyimpannya dengan sesak. Sendirian.
Dan setelah mendung itu pergi, pagi ini, saya akhirnya tumbang. Bukan karena dia, tapi mereka. Rasanya menyesakkan sekali mendengar mereka mengataiku sedemikian jahatnya. Rasanya semua tidak berarti, rasanya hadirku salah dan harusnya bukan di situ tempatku.
Dia mungkin benar, duniaku harusnya berhenti di seputarannya saja. Menyelesaikan kuliah dan berkutat di rumah tanpa embel-embel dunia lain.
Tiga tahun menjadi bagian dari mereka, bohong kalau tidak ada air mata, tapi bisa dihitung jari berapa kali saya harus membiarkan diriku menangis untuk kemudian kembali berlaku baik-baik saja. Karena yah, saya sungguh mencintai hari-hariku menjadi Hikmah dalam versi yang berbeda dari yang di rumah dan kampus. Saya senang berseliweran di tempat itu dengan senyum yang rekah, sapaan dan pelukan singkat yang tulus kepada mereka. Pun meski juga harus berseliweran dengan ekspresi yang tidak enak untuk dilihat kalau-kalau mereka sedang agak susah untuk taat.
Saya mencintai tempat itu sebesar rasa senangku ketika duduk belajar di ruang-ruang belajar yang disediakan, sesenang saat menyadari bahwa ada begitu banyak kesempatan meng-upgrade diri yang kudapat di tempat itu.
Saya menikmatinya sebab saya memang cinta.
Tapi pagi ini, untuk pertama kalinya saya merasa kalah. Begitu terluka. Dan sayangnya, saya tidak punya ruang untuk menangis sepuasnya.
Saya tidak pernah membiarkan orang rumah tahu betapa tidak mudahnya menjadi Hikmah di tempat itu, saya terbiasa menyimpan beban dan air mata dari mereka, bahkan kepada dia sekalipun. Bukan karena mereka tidak akan mengerti betapa pun kuceritakan, tapi karena saya malu.
Malu jika mereka tahu bahwa saya lemah dengan pilihanku sendiri tetap bertahan di tempat itu, tapi saya ingin terus melanjutkannya. Sungguh malu kalau mereka tahu, bahwa saya tidak seistimewa yang sering kukatakan.
Bahwa pada kenyataannya saya tidak seistimewa seperti yang sering kukatakan pada diriku sendiri.
Entahlah.
Ahad, 05 November 2017|| 05.55
Comments
Post a Comment