Skip to main content

Rasa Ini Salah, Bodoh!

Menganggap semua orang  menyayangimu setulus kau menyayangi mereka, dan kau hidup dengan perasaan itu. Padahal sebenarnya tidak.

Bahkan menyukai pun mungkin tidak.

Dan bodohnya  saya hidup seceria seorang Hikmah selama ini, dengan perasaan dan anggapan demikian.

Dua pekan berlalu dan ini hari pertama saya menulis lagi. Hampir sepuluh draft di dua pekan kemarin hanya berakhir begitu saja. Dua pekan yang mendung.

Setiap kali ingin menulis, setiap kali itu pula saya khawatir melakukan kesalahan lagi. Khawatir bahwa apa yang akan kutulis di diaryku ini adalah sesuatu yang salah, meski luka itu nganga mengganggu, saya menyimpannya dengan sesak. Sendirian.

Dan setelah mendung itu pergi, pagi ini,  saya akhirnya tumbang. Bukan karena dia, tapi mereka. Rasanya menyesakkan sekali mendengar mereka mengataiku sedemikian jahatnya. Rasanya semua tidak berarti, rasanya hadirku salah dan harusnya bukan di situ tempatku.

Dia mungkin benar, duniaku harusnya berhenti di seputarannya saja. Menyelesaikan kuliah dan berkutat di rumah tanpa embel-embel dunia lain.

Tiga tahun menjadi bagian dari mereka, bohong kalau tidak ada air mata, tapi bisa dihitung jari berapa kali saya harus membiarkan diriku menangis untuk kemudian kembali berlaku baik-baik saja. Karena yah, saya sungguh mencintai hari-hariku menjadi Hikmah dalam versi yang berbeda dari yang di rumah dan kampus. Saya senang berseliweran di tempat itu dengan senyum yang rekah, sapaan dan pelukan singkat yang tulus kepada mereka. Pun meski juga harus berseliweran dengan ekspresi yang tidak enak untuk dilihat kalau-kalau mereka sedang agak susah untuk taat.

Saya mencintai tempat itu sebesar rasa senangku ketika duduk belajar di ruang-ruang belajar yang disediakan, sesenang saat menyadari bahwa ada begitu banyak kesempatan meng-upgrade diri yang kudapat di tempat itu.

Saya menikmatinya sebab saya memang cinta.

Tapi pagi ini,  untuk pertama kalinya saya merasa kalah. Begitu terluka. Dan sayangnya, saya tidak punya ruang untuk menangis sepuasnya.

Saya tidak pernah membiarkan orang rumah tahu betapa tidak mudahnya menjadi Hikmah di tempat itu, saya terbiasa menyimpan beban dan air mata dari mereka, bahkan kepada dia sekalipun. Bukan karena mereka tidak akan mengerti betapa pun kuceritakan, tapi karena saya malu.

Malu jika mereka tahu bahwa  saya lemah dengan pilihanku sendiri tetap bertahan di tempat itu, tapi saya ingin terus melanjutkannya. Sungguh malu kalau mereka tahu, bahwa saya tidak seistimewa yang sering kukatakan.

Bahwa pada kenyataannya saya tidak seistimewa seperti yang sering kukatakan pada diriku sendiri.

Entahlah.

Ahad, 05 November 2017|| 05.55

Comments

Popular posts from this blog

Kepada Dirimu, Hafsah.

Kepada dirimu, Ada waktu-waktu saat kita saling berbicara tentang kelu yang kita rasa bersama. Ada mata yang basah saat mengenang sedihnya menjadi perempuan seperti kita. Tapi itu dulu,  dua tiga tahun yang lalu. Kita sudah memilih berbahagia dengan banyak sekali cara, turut bergembira dan memeluk hangat, ketika kawan kita yang lebih dulu_ dan lagi-lagi_ diizinkan  Tuhan. Bukan kau atau aku. Kita sudah menyabarkan diri, memilih lebih percaya Tuhan Daripada sesak yang terus berlarut. Sesekali kembali basah, tapi tak mengapa membiarkannya  tumpah mungkin lebih baik Daripada berkarat hati dan runtuh kepercayaan padaNya, pada Tuhan yang lebih dekat daripada urat leher kita sendiri. Kau tahu?  Setiap kali aku ingin merutuki takdir, menangis sesegukan di ujung kasurku,  Saat setanku berbisik untuk mengutuk Tuhan, aku melihatmu. Duduk disampingku dengan mata sembab dan  luka yang lebih dibanding aku. Atau sekali waktu, kau datang dengan

Drama dalam Kepala Buibu

Assalamualaikum, rumahku... Apa kabar? masih dengan status "hidup ndak, mati ogah" yah, rumah? heheh iyya... i need you but always forget you yah. Sini peluk rumahku diriku bukuku! Eniwei, alhamdulillah, syukur yang dalam nan tulus karena Allah masih berikan kita kesempatan hidup sehat dalam keadaan masih muslim untuk ketemu Ramadhan ini; bulan penuh cinta paling hidup. Dear, rumahku. Temani saya ngobrol bout two choices yang lagi riuh pisah di kepalaku sendiri yah, here we go bismillah. Em, diskusi bout being a full mom at home atau being a working mom adalah topik yang menurutku ndak pernah etis  buat didebatkan mana yang paling mengambil peran termulia sebagai ibu dan mana yang 'ibu setengah mulia karena kerja di luar rumah' atau malah menjadi 'ibu kolot tidak terpelajar karena di rumah saja ngurus urusan dapur kasur', semua tergantung niat, kualitas diri dan keridhaan anak suami menurutku. Lets see the world, ada banyak ibu full time di

Tahfidz Putra Darul Istiqamah Dan Surga Sebelum Surga

Air berkecipak Saling beradu pelan, syahdu dari gerakan-gerakan suara yang kutahu lebih baik dari kecipak air mandiku. Dalam gelap paling mustajab kakikaki itu pergi ke rumah tuhan. Masih dalam separuh buaian mimpi aku tahu, tuhanku juga memanggil lalu aku; dengan mata tertutup menakarnakar rindu padaNya, menghitunghitung kekuatan melawan syaithan. ______________ Sudah pukul empat pagi ketika saya mulai menulis ini, dan dari masjid masih terdengar suara imam memimpin shalat tahajjud. Tartil, merdu, indah. Percayalah, menuliskan ini butuh banyak kekuatan. Ini pertama kalinya mengenalkan kehidupan baruku kepada rumah abu-abu ini. Dan  sepotong cerita pagi tentang Tahfidz Putra Darul Istiqamah,  its more than wonderful masyaallah. Masih pukul tiga-an, ketika qadarullah saya terbangun karena sebuah mimpi. Dalam proses memperbaiki posisi tidur kembali, di waktu ketika bahkan kokok ayam belum satu pun terdengar, saya mengenal baik suarasuara air  dan langkah kaki santri-santri y