Skip to main content

Corat coret

Hai.

Maaf aku tidak akan berbasa-basi, atau berepot-repot ria mencari kata pun ide yang lebih menyenangkan mata menyehatkan otak.

Tulisan ini hanya akan senilai recehan saja, tapi seharga waktu yang kuhabiskan untuk membujuk mata bertahan sedikit lagi.

Tidak ada yang lebih mahal dari waktu kan? Bahkan waktu tak ber-harga. Benarkan?

Tulisan ini hanya sebagai langkah-langkah kecilku lagi untuk setia nge-ODOP, back to my self, back to my second home. Here.

Anw, saya baruuu saja sampai rumah. Baru datang dari tempat kerja. Sendirian berjalan melewati jalanan sepi tanpa satu pun orang yang lewat, melewati masjid terbesar pesantrenku yang sepi nan gelap, melewati hutan bambu dengan tanah super becek.

Tapi tidak ding, awalnya memang harus demikian karena saya sendiri yang menolak berkali-kali berbagai panggilan jemputan, entah, malam ini saya memang ingin berjalan kaki saja ke rumah.

Setengah jam yang lalu saya harusnya sendirian melewati jalanan gelap menuju rumah, tapi tidak jadi sebab dengan mengandalkan kegelapan malam yang menyamarkan noda hitam_ menyamarkan wajahku ding, saya full percaya diri meminta dua santri putra yang sedang piket di rumah pimpinan untuk mengantar pulang. Dua anak laki-laki yang adalah santri dari suamiku.

Psst, jangan aneh-aneh dulu kepala anda... mereka berjarak puluhan kilometer dari saya. Anak kecil pulak.  Daan hanya sampai di area masjid mengantarnya, saya tetap memilih jalan sendiri melewati hutan dan jalan tol  menuju rumahku.

See yah. I'm so sleepy now.

00. 13 || Home

Comments

Popular posts from this blog

Kepada Dirimu, Hafsah.

Kepada dirimu, Ada waktu-waktu saat kita saling berbicara tentang kelu yang kita rasa bersama. Ada mata yang basah saat mengenang sedihnya menjadi perempuan seperti kita. Tapi itu dulu,  dua tiga tahun yang lalu. Kita sudah memilih berbahagia dengan banyak sekali cara, turut bergembira dan memeluk hangat, ketika kawan kita yang lebih dulu_ dan lagi-lagi_ diizinkan  Tuhan. Bukan kau atau aku. Kita sudah menyabarkan diri, memilih lebih percaya Tuhan Daripada sesak yang terus berlarut. Sesekali kembali basah, tapi tak mengapa membiarkannya  tumpah mungkin lebih baik Daripada berkarat hati dan runtuh kepercayaan padaNya, pada Tuhan yang lebih dekat daripada urat leher kita sendiri. Kau tahu?  Setiap kali aku ingin merutuki takdir, menangis sesegukan di ujung kasurku,  Saat setanku berbisik untuk mengutuk Tuhan, aku melihatmu. Duduk disampingku dengan mata sembab dan  luka yang lebih dibanding aku. Atau sekali waktu, kau datang dengan

Drama dalam Kepala Buibu

Assalamualaikum, rumahku... Apa kabar? masih dengan status "hidup ndak, mati ogah" yah, rumah? heheh iyya... i need you but always forget you yah. Sini peluk rumahku diriku bukuku! Eniwei, alhamdulillah, syukur yang dalam nan tulus karena Allah masih berikan kita kesempatan hidup sehat dalam keadaan masih muslim untuk ketemu Ramadhan ini; bulan penuh cinta paling hidup. Dear, rumahku. Temani saya ngobrol bout two choices yang lagi riuh pisah di kepalaku sendiri yah, here we go bismillah. Em, diskusi bout being a full mom at home atau being a working mom adalah topik yang menurutku ndak pernah etis  buat didebatkan mana yang paling mengambil peran termulia sebagai ibu dan mana yang 'ibu setengah mulia karena kerja di luar rumah' atau malah menjadi 'ibu kolot tidak terpelajar karena di rumah saja ngurus urusan dapur kasur', semua tergantung niat, kualitas diri dan keridhaan anak suami menurutku. Lets see the world, ada banyak ibu full time di

Tahfidz Putra Darul Istiqamah Dan Surga Sebelum Surga

Air berkecipak Saling beradu pelan, syahdu dari gerakan-gerakan suara yang kutahu lebih baik dari kecipak air mandiku. Dalam gelap paling mustajab kakikaki itu pergi ke rumah tuhan. Masih dalam separuh buaian mimpi aku tahu, tuhanku juga memanggil lalu aku; dengan mata tertutup menakarnakar rindu padaNya, menghitunghitung kekuatan melawan syaithan. ______________ Sudah pukul empat pagi ketika saya mulai menulis ini, dan dari masjid masih terdengar suara imam memimpin shalat tahajjud. Tartil, merdu, indah. Percayalah, menuliskan ini butuh banyak kekuatan. Ini pertama kalinya mengenalkan kehidupan baruku kepada rumah abu-abu ini. Dan  sepotong cerita pagi tentang Tahfidz Putra Darul Istiqamah,  its more than wonderful masyaallah. Masih pukul tiga-an, ketika qadarullah saya terbangun karena sebuah mimpi. Dalam proses memperbaiki posisi tidur kembali, di waktu ketika bahkan kokok ayam belum satu pun terdengar, saya mengenal baik suarasuara air  dan langkah kaki santri-santri y