Skip to main content

Puisi Sederhana untuk Anak-Anak Surga

Duhai...
Ada yang menyala-nyala di jenaka matamu
Rekah senyum pula suaramu.
Dan kami tak bisa bohong

: Kami purna bahagia, Dik!

Hari ini kami datang, Dik
Dengan bingkis-bingkis doa yang kami bungkus dengan sayang yang sederhana.

Duhai...
Ada yang meletup-letup di dada kami, Dik!
Bagaimana bisa ikhlas itu terbaca jelas di wajah kalian?
Bagaimanakah semesta mendidik kalian
hingga begitu sabar tapak kecil itu mengejar mimpi?

Duhai kalian, anak-anak surga...
Bahagialah, sebab Tuhanlah yang akan memeluk.
Dengan sayang, dengan setia.
______

Bus menuju Gowa; SPIDI Lunch With Orphans
Rabu, 08 November 2017

Puisi-puisiku tidak pernah too high, too beautiful atau sok2 nyastra gimana-gimana, but honestly, tetap saja menulis puisi superbb sederhana ini, rasanya lucu. Karena  pertama kalinya saya menulis puisi untuk orphans. Padahal jauh sebelum kelahiranku, rumahku sudah penuh dengan mereka. Saya berbagi bapak dan mama dengan ratusan anak yang bukan sedarahku, bahkan hingga hari ini.

Dan, haru. Wajah-wajah mereka ada dalam kumpulan kata-kata sederhana ini.

Terima kasih ummu, terima kasih seluruh warga dan santri cab. Gowa. Terima kasih SPIDI☺☺
________

Jum'at, 10.11.17 || 21.59.
Menunggu bus untuk Nining. Bersama K Putri dan Miss Kiki

Comments

Popular posts from this blog

Kepada Dirimu, Hafsah.

Kepada dirimu, Ada waktu-waktu saat kita saling berbicara tentang kelu yang kita rasa bersama. Ada mata yang basah saat mengenang sedihnya menjadi perempuan seperti kita. Tapi itu dulu,  dua tiga tahun yang lalu. Kita sudah memilih berbahagia dengan banyak sekali cara, turut bergembira dan memeluk hangat, ketika kawan kita yang lebih dulu_ dan lagi-lagi_ diizinkan  Tuhan. Bukan kau atau aku. Kita sudah menyabarkan diri, memilih lebih percaya Tuhan Daripada sesak yang terus berlarut. Sesekali kembali basah, tapi tak mengapa membiarkannya  tumpah mungkin lebih baik Daripada berkarat hati dan runtuh kepercayaan padaNya, pada Tuhan yang lebih dekat daripada urat leher kita sendiri. Kau tahu?  Setiap kali aku ingin merutuki takdir, menangis sesegukan di ujung kasurku,  Saat setanku berbisik untuk mengutuk Tuhan, aku melihatmu. Duduk disampingku dengan mata sembab dan  luka yang lebih dibanding aku. Atau sekali waktu, kau datang dengan

Drama dalam Kepala Buibu

Assalamualaikum, rumahku... Apa kabar? masih dengan status "hidup ndak, mati ogah" yah, rumah? heheh iyya... i need you but always forget you yah. Sini peluk rumahku diriku bukuku! Eniwei, alhamdulillah, syukur yang dalam nan tulus karena Allah masih berikan kita kesempatan hidup sehat dalam keadaan masih muslim untuk ketemu Ramadhan ini; bulan penuh cinta paling hidup. Dear, rumahku. Temani saya ngobrol bout two choices yang lagi riuh pisah di kepalaku sendiri yah, here we go bismillah. Em, diskusi bout being a full mom at home atau being a working mom adalah topik yang menurutku ndak pernah etis  buat didebatkan mana yang paling mengambil peran termulia sebagai ibu dan mana yang 'ibu setengah mulia karena kerja di luar rumah' atau malah menjadi 'ibu kolot tidak terpelajar karena di rumah saja ngurus urusan dapur kasur', semua tergantung niat, kualitas diri dan keridhaan anak suami menurutku. Lets see the world, ada banyak ibu full time di

Tahfidz Putra Darul Istiqamah Dan Surga Sebelum Surga

Air berkecipak Saling beradu pelan, syahdu dari gerakan-gerakan suara yang kutahu lebih baik dari kecipak air mandiku. Dalam gelap paling mustajab kakikaki itu pergi ke rumah tuhan. Masih dalam separuh buaian mimpi aku tahu, tuhanku juga memanggil lalu aku; dengan mata tertutup menakarnakar rindu padaNya, menghitunghitung kekuatan melawan syaithan. ______________ Sudah pukul empat pagi ketika saya mulai menulis ini, dan dari masjid masih terdengar suara imam memimpin shalat tahajjud. Tartil, merdu, indah. Percayalah, menuliskan ini butuh banyak kekuatan. Ini pertama kalinya mengenalkan kehidupan baruku kepada rumah abu-abu ini. Dan  sepotong cerita pagi tentang Tahfidz Putra Darul Istiqamah,  its more than wonderful masyaallah. Masih pukul tiga-an, ketika qadarullah saya terbangun karena sebuah mimpi. Dalam proses memperbaiki posisi tidur kembali, di waktu ketika bahkan kokok ayam belum satu pun terdengar, saya mengenal baik suarasuara air  dan langkah kaki santri-santri y