Skip to main content

Sebelum Dua Puluh Tujuh



Menjadi perempuan dua puluh tujuh tahun, semoga Allah  mengizinkan…
 
Ketika masa itu tiba, aku sudah lebih matang dalam hal  kepribadian. Bahwa life begin in twenty seven, not forty. Ada banyak hal yang akan berubah, ini dan itu.

Dulu, waktu masih sembilan belas tahun, di balik  keabsurdanku, aku menyimpan keresahan. Takut menjadi perempuan  usia dua puluh tahun. Apalagi makin hari dua puluh tahun pelan-pelan akan berganti, dan akhirnya menjadi dua puluh satu, dua puluh lima, dua puluh tujuh. Ketakutan yang lebay hanya karena terpengaruh dengan ungkapan bahwa “kehidupan orang berumur itu ribet, menjadi dewasa itu berat.” Lagipula, diriku bahkan bukan seorang cenayan yang tahu sampai kapan usiaku berhenti.

Hokeh, ungkapan itu mungkin kudapat dari terlalu sering membaca novel-novel yang kurang bermanfaat atau dari sinetron-sinetron picisan saat zaman jahiliyah dan menjabat sebagai pemuja benda kotak itu. Tuh kaann, malah menyalahkan dua hal itu untuk ketakutan menjadi perempuan usia puluhan, padahal yang paling benarnya adalah hanya takut menjadi tua -_____-  

Maafkan!       
                                                       
Sekarang, saat usiaku sudah dua puluh satu tahun, aku berbahagia. Ternyata alhamdulillah aku masih muda, masih diberi Allah kesehatan dan banyak sekali kesempatan. Kesempatan belajar, kesempatan mengenal banyak sekali kawan-kawan keren dan menakjubkan, dan berbagai kesempatan hidup lainnya. Menjadi perempuan dua puluh satu, aku sungguh bersyukur padaNya.

Bahkan ternyata, gairah dan semangat untuk mewujudkan mimpi-mimpi dan menjadi diriku yang pernah kubayangkan,  pelan-pelan kubuktikan. Bukan hanya sekedar bermimpi, berdoa kemudian berkhayal. Menjadi perempuan puluhan, aku akhirnya betul-betul memaksa diri untuk ngeh bahwa semua yang kita inginkan, bukan hanya sekedar menuliskannya di kertas-kertas pengharapan, berdoa lalu kemudian mengumumkannya dimana-mana atau yang lebih parah, lupa dengan mimpi-mimpi itu sendiri. Harus ada usaha dan perjuangan yang betul-betul nyata.

Apa keinginan yang sangat kuingin agar Tuhan mengijabahnya sebelum usia dua puluh tujuh tahunku?

Setidaknya  ada empat hal yang paling kumau sebelum masa itu tiba. Tapi, karena aku tidak tahu apakah jantungku masih berdetak hingga dua puluh tujuh tahun, aku punya dua pengharapan yang sungguh-sungguh ingin agar Tuhanku membantu mewujudkannya segera.

Memiliki anak dari rahimku sendiri dan mengantar bapak untuk menunaikan ibadah haji/ umrah.

Sebab dua hal itu, aku selalu bersemangat untuk terus hidup dan berusaha. Bermohon agar ditetapkan Allah pada hal yang baik-baik saja. DiijabahNya pada waktu terbaik. Sebab sepenuh keyakinan aku percaya, kepadaNya tempatku bergantung, segala doa dan usaha bermuara. Maka semoga, semoga, semoga.

Kamis, 18 Mei 2017                                                                               
#onedayonepost #tantanganKakSabrina



 

Comments

Popular posts from this blog

Drama dalam Kepala Buibu

Assalamualaikum, rumahku... Apa kabar? masih dengan status "hidup ndak, mati ogah" yah, rumah? heheh iyya... i need you but always forget you yah. Sini peluk rumahku diriku bukuku! Eniwei, alhamdulillah, syukur yang dalam nan tulus karena Allah masih berikan kita kesempatan hidup sehat dalam keadaan masih muslim untuk ketemu Ramadhan ini; bulan penuh cinta paling hidup. Dear, rumahku. Temani saya ngobrol bout two choices yang lagi riuh pisah di kepalaku sendiri yah, here we go bismillah. Em, diskusi bout being a full mom at home atau being a working mom adalah topik yang menurutku ndak pernah etis  buat didebatkan mana yang paling mengambil peran termulia sebagai ibu dan mana yang 'ibu setengah mulia karena kerja di luar rumah' atau malah menjadi 'ibu kolot tidak terpelajar karena di rumah saja ngurus urusan dapur kasur', semua tergantung niat, kualitas diri dan keridhaan anak suami menurutku. Lets see the world, ada banyak ibu full time di

Kepada Dirimu, Hafsah.

Kepada dirimu, Ada waktu-waktu saat kita saling berbicara tentang kelu yang kita rasa bersama. Ada mata yang basah saat mengenang sedihnya menjadi perempuan seperti kita. Tapi itu dulu,  dua tiga tahun yang lalu. Kita sudah memilih berbahagia dengan banyak sekali cara, turut bergembira dan memeluk hangat, ketika kawan kita yang lebih dulu_ dan lagi-lagi_ diizinkan  Tuhan. Bukan kau atau aku. Kita sudah menyabarkan diri, memilih lebih percaya Tuhan Daripada sesak yang terus berlarut. Sesekali kembali basah, tapi tak mengapa membiarkannya  tumpah mungkin lebih baik Daripada berkarat hati dan runtuh kepercayaan padaNya, pada Tuhan yang lebih dekat daripada urat leher kita sendiri. Kau tahu?  Setiap kali aku ingin merutuki takdir, menangis sesegukan di ujung kasurku,  Saat setanku berbisik untuk mengutuk Tuhan, aku melihatmu. Duduk disampingku dengan mata sembab dan  luka yang lebih dibanding aku. Atau sekali waktu, kau datang dengan

Bagaimanakah Besarnya Cinta Allah Padamu, Sayang?

Hokeh, ini rumah keduaku. Tempat tumpah macam cerita, juga sampah-sampah. Meski sebenarnya saya selalu berharap ada sampah yang bisa kalian daur ulang di sini, dengan bentuk yang jauh lebih baik. Pemahaman yang baru. Hari ini alhamdulillah saya berkesempatan juga jenguk Alif di RS Wahidin Makassar. Dia masih di ICU, pasca operasi Senin (091017) kemarin dia sempat sadar sehari kemudian muntah-muntah, demam tinggi dan sampai sekarang matanya belum terbuka-buka. Tapi dia merespon alhamdulillah kalau kakinya dielus, ada gerakan kecil dan lemah. Juga begitu kalau badannya dimandi, mamanya bilang dia bersuara kalau dimandi, meskipun dengan suara yang sangat lemah dan singkat. Tapi itu sudah syukur sekali kata mamanya. Badannya panas, dua kaki kecilnya  membengkak entah kenapa. Ada beberapa selang  di tubuh kecil nan ringkihnya Alif. Satu di antaranya selang yang dipasang di bawah  kulit perut; kalau tidak salah iyyah begitu kata dokternya tadi, waktu kukira selang itu dipasang di lambung.