Dia. Lelaki belasan tahun
dengan bibir yang selalu terkatup rapat, potongan rambut biasa tanpa aroma
minyak wangi sama sekali, kering saja. Juga dengan segumpal kesedihan di
matanya. Untuk pertemuan yang selalu, tanpa pernah ada jejak senyum. Hatiku basah.
Saat kursi-kursi masih berjejer tak beraturan, riuh rendah berbagai
suara masih memenuhi ruangan, piring-piring bekas makan para tamu masih tergeletak
di berbagai sudut, dan sendok gelas masih menyisakan bekas bibir mereka, untuk sepersekian
detik waktu seolah berhenti di matanya. Aku beku.
Dia bergeming di sudut ranjang kecil itu, duduk santai dengan
luka-luka dan rindu pada perempuan yang tak putus dipandanginya.
Berapa lamakah hati mengajari anak manusia agar tabah pada tabiat
rindu yang menyiksa? Bagaimanakah Tuhan mendidik hamba agar tak membenci pelaku
luka yang paling borok? Bagaimanakah Tuhan melatih seorang bocah agar pandai
menyembunyikan air mata bahkan pada seorang perempuan yang pertama kali
dirumahinya??
Waktu kemudian berjalan terlalu cepat sementara rindu masih mengepak-ngepak
di tubuh si remaja tanggung, ada yang akan meledak. Tapi bahkan ketika hingga
berakhir drama pertemuan itu, bahkan ketika dengan pelan didahuluinya langkah
si perempuan menuju pintu, dia masih juga bergeming. Tak ada kata-kata, pun
sepatah. Bahkan gumpalan rindu di matanya ia sembunyikan, ditekurinya
jejak-jejak kaki para tamu. Tak peduli bahkan meski rasanya sangat ingin menghambur memeluk, meronta memohon
agar jangan pergi, mengamuk agar tak dibiarkan sendiri lagi. Ia tahu, perempuan
itu bersisa bayang-bayang kenangan saja.
Ia tak boleh berharap lebih. Ia bukan lagi lelaki kecil yang ingin dipeluknya
hangat dengan dongeng-dongeng ajaib yang selalu diceritakannya.
Sebab beberapa rindu dan luka adalah seperihal dendam. Harus pupus.
Meski oleh perempuan paling dicintai sekalipun.
Di detik-detik perpisahan itu, aku mematung di sudut gelap. Ingin rasanya kutemani
ia bermohon pada Tuhan agar waktu berhenti, memohon tolong untuk lebih lama lagi perempuan itu ada di jangkauan matanya.
Tapi lihatlah, tak pernah ada yang kita minta dan dipenuhi Tuhan
jika berlebihan. Mungkin bersitatap, duduk berentang beberapa jarak, bertanya
tentang kabar dan sekolah setelah beratus hari tak jumpa, belaian sayang di
kepala, jabat tangan takzim antara anak ibu itu, bahkan tanpa peluk sayang sama
sekali, mungkin bagi Tuhan itu cukup.
Setidaknya, sedikit rindu sudah ia titipkan agar dibawa pergi di
tangan sang ibu yang dijabatnya.
Kepada perempuan cantik dengan gurat lelah itu, pelaku yang
melubangi hati dengan kejam, menyisakan luka yang bernanah-nanah sekaligus
rindu yang parah, dia masih menyimpan cinta yang sangat besar. Sebab dialah perempuan
pertama yang dirumahinya, tempat hidup segumpal daging tak berdaya lalu menjadi
tulang belulang dan menerima ruh, tempat dimana dia menjadi bayi kecil
menggemaskan, ditimang-timang dan disayang.
Meski besar dikihianati dan ditinggalkan. Setidaknya dia masih punya ayah yang
tabah.
Dan takdir tetaplah takdir. Bahwa tabiat alam adalah mengembalikan
semua akibat dari sebab laku-laku manusia. Yang khianat akan dikhianati. Yang
ditinggalkan dengan tabah dan doa-doa akan diberi ganti dengan yang lebih baik.
Sebab perempuan pertama tak pernah niscaya sebagai yang selamanya akan menetap.
Kamis 01 Juni 2017/ 6 Ramadhan 1438H.
#onedayonepost
Comments
Post a Comment