Aku bersedih, Allah. Saat Kauambil milikMu yang Kautitipkan di bumi, ada sesak. Sungguh sesak. Sebab dia adalah dia, kakak tersayang yang nama lainnya adalah kebaikan, keteladanan.
Ajal.
Mengapa air mata lebih cepat melesat jatuh ketimbang doa-doa yang harusnya melangit?? Maafkan aku. Aku sungguh tak menyangka. Jikalau ayat kematian; Tiap-tiap yang bernyawa pasti akan mati_ sungguh sudah kutelan mentah-mentah. Tapi percaya, tidak sama seperti bersabar tepat pada saat pukulan pertama kabar duka itu sampai.
Kak Iis...
K Iis...
Kak Iis...
Menjadi baik bukankah adalah pilihan? Lalu kemudian menyatu dalam diri. Menjadi nama lain, menjadi nama belakang.
Sama seperti saat kutetapkan hati untuk memujamu diam-diam, lalu saat dewasa mengerti bahwa tak perlu malu mengakuinya... aku mencintaimu, Kak.
Pernah ada waktu saat kita berbicara berdua saja, dan kulangitkan pujian kepada Allah tersebab sempurna menciptakanmu, Kak. Aku takjub. Kau kilau. Cerdas yang menyenangkan, sahaja. Kau teladan.
Bukankah kekurangan adalah niscaya? Bukti kesempurnaan yang manusiawi?
Kak Iis...
Kakak yang tak dikenal mamakku tapi kuakui sebagai saudariku. Peluk sayang, Kak.
Peluk erat, dengan erat. Aku mencintaimu, Kak. Semoga Allah mencintaimu selalu, sama seperti dirimu yang tak pernah putus menggantungkan semua hal kepadaNya.
Peluk erat, Kak. Dengan sangat erat. Semoga Allah mudahkan semua urusanmu menujuNya. Aku mencintaimu, Kak. Semua orang mencintaimu, Kak Iis...
Kaakk, selamat jalan. Allah mencintaimu.
Kamis, 25 Mei 2017
Jelang ashar.
Comments
Post a Comment