Skip to main content

Hanif : Jawaban atas Mimpi Mama dan Bapak







Hanif...

Seolah tunai semua cita dan harapan-harapan mama-bapak  saat kudengar kabar tentang khatammu, Dek. Hari ini, Senin Pagi. di satu Mei dua ribu tujuh belas.
Tidak pernah kulupa waktu-waktu dimana selalu bergantian mama-bapak membicarakan harapan-harapan mereka. Bahwa anak-anaknya akan menjadi guru, menjadi orang yang paling berjasa. Paling terhormat. Dan tak ada yang lebih membanggakan selain kita_anak-anaknya, menjadi hafidz dan hafidzah. Tidak akan lebih membanggakan bahkan meski kelak kita berada di putaran takdir berlimpah kekayaan.

Tidak akan kulupa harapan-harapan mereka, Dek. Sebab semuanya seolah sudah menempel di dinding-dinding, menggantung di langit-langit rumah kita. Bahwa mama-bapak ingin surga, ingin hadiah jubah kemuliaan yang berkilau di akhirat nanti. Sebab Allah ridha, sebab Allah merahmati.

Tapi lihatlah, Dek...dari sembilan kita bersaudara, kau yang  anak ketujuh adalah yang pertama menkhatamkan alqur'an tiga puluh juz. Lima kakakmu berhenti bahkan belum genap setengah perjalanan. Satunya lagi juga sedang berjuang di lima lembar terakhirnya. Bahkan aku, Dek...aku yang selalu berbangga menyebut diri anak istimewa, anak tersayang dalam keluarga, nyatanya belum ada harapan mama-bapak yang kutunaikan.

     
Hari ini, sungguh-sungguh kulabuh syukurku padamu, Dek. Kepada kamu yang tak pernah berhenti berjuang menuntaskan hafalanmu. Meski lelah, meski bosan. Bahkan mungkin pernah ada air mata-air mata yang kau tumpah dalam diam sebab kesulitan-kesulitan yang kau hadapi dalam menyematkan ayat-ayat Tuhan di kepalamu. Pernah ada jengkel yang sangat pada ustadzmu yang adalah suamiku, tersebab menahanmu terlalu lama pada juz-juz tertentu, agar kau benar-benar hafal, bukan sekedar menyetor sementara bapak-mama juga tak henti menanyakan kabar hafalanmu. 

Terima kasih, Adek shalehku. Terima kasih sudah bertahan. Sebab sama seperti mama bapak, aku pun menitip harapan besar padamu, Dek. Kepada kamu adek kecil yang akan mengangkat martabat keluarga kita di surga kelak, insyaallah.

Kala itu tiba, di hamparan indah rumput surga, akan kubiarkan kamu berbahagia dengan prestasimu. Bahwa kaulah anak ketujuh yang menghadiahi kita semua kesempatan menghuni surgaNya.

Adek manisku...
Sama seperti nasihat ustadz-ustadzmu, bahwa khatammu bukanlah akhir. Tapi awal dari perjalanan menjaga ayat-ayat Allah, perjalanan yang lebih berat. Amanah yang bahkan pun jika gunung diberikan demikian, ia akan pecah. Hancur. Maka, Dek...semoga kau bersabar, semoga kau bertahan. 

Dan entah bagaimanapun, jadilah selalu anak mama-bapak yang shaleh. Lelaki terhormat. Tentulah kau ingat, Dek, bagaimanakah itu lelaki terhormat. Kalimat-kalimat yang selalu kupesankan padamu kala kita duduk berdua. Harapan-harapan mama-bapak yang kemudian kupikulkan padamu agar kau tunaikan, kau jaga hingga nanti. Hingga mati.

Terima kasih, Hanifku. Terima kasih sudah menjadi anak mama bapak yang terhormat. Yang meneladani kasih sayang, kejujuran dan keteguhan dari keduanya. Barakallah, Dekku.


          
                                Hanif; 1 Aliyah_Tahfidz
               (Bangun, Dek. Perjuanganmu masih panjang :))

         Semoga kamu suka hadiah sederhana ini, Dekku:)
              (ngambil fotonya dimana sih, dek? hahah)
  

Kakak Ima yang terlalu cerewet padamu_
Senin malam, 01 Mei 2017 || 00.49


Comments

Popular posts from this blog

Kepada Dirimu, Hafsah.

Kepada dirimu, Ada waktu-waktu saat kita saling berbicara tentang kelu yang kita rasa bersama. Ada mata yang basah saat mengenang sedihnya menjadi perempuan seperti kita. Tapi itu dulu,  dua tiga tahun yang lalu. Kita sudah memilih berbahagia dengan banyak sekali cara, turut bergembira dan memeluk hangat, ketika kawan kita yang lebih dulu_ dan lagi-lagi_ diizinkan  Tuhan. Bukan kau atau aku. Kita sudah menyabarkan diri, memilih lebih percaya Tuhan Daripada sesak yang terus berlarut. Sesekali kembali basah, tapi tak mengapa membiarkannya  tumpah mungkin lebih baik Daripada berkarat hati dan runtuh kepercayaan padaNya, pada Tuhan yang lebih dekat daripada urat leher kita sendiri. Kau tahu?  Setiap kali aku ingin merutuki takdir, menangis sesegukan di ujung kasurku,  Saat setanku berbisik untuk mengutuk Tuhan, aku melihatmu. Duduk disampingku dengan mata sembab dan  luka yang lebih dibanding aku. Atau sekali waktu, kau datang dengan

Drama dalam Kepala Buibu

Assalamualaikum, rumahku... Apa kabar? masih dengan status "hidup ndak, mati ogah" yah, rumah? heheh iyya... i need you but always forget you yah. Sini peluk rumahku diriku bukuku! Eniwei, alhamdulillah, syukur yang dalam nan tulus karena Allah masih berikan kita kesempatan hidup sehat dalam keadaan masih muslim untuk ketemu Ramadhan ini; bulan penuh cinta paling hidup. Dear, rumahku. Temani saya ngobrol bout two choices yang lagi riuh pisah di kepalaku sendiri yah, here we go bismillah. Em, diskusi bout being a full mom at home atau being a working mom adalah topik yang menurutku ndak pernah etis  buat didebatkan mana yang paling mengambil peran termulia sebagai ibu dan mana yang 'ibu setengah mulia karena kerja di luar rumah' atau malah menjadi 'ibu kolot tidak terpelajar karena di rumah saja ngurus urusan dapur kasur', semua tergantung niat, kualitas diri dan keridhaan anak suami menurutku. Lets see the world, ada banyak ibu full time di

Tahfidz Putra Darul Istiqamah Dan Surga Sebelum Surga

Air berkecipak Saling beradu pelan, syahdu dari gerakan-gerakan suara yang kutahu lebih baik dari kecipak air mandiku. Dalam gelap paling mustajab kakikaki itu pergi ke rumah tuhan. Masih dalam separuh buaian mimpi aku tahu, tuhanku juga memanggil lalu aku; dengan mata tertutup menakarnakar rindu padaNya, menghitunghitung kekuatan melawan syaithan. ______________ Sudah pukul empat pagi ketika saya mulai menulis ini, dan dari masjid masih terdengar suara imam memimpin shalat tahajjud. Tartil, merdu, indah. Percayalah, menuliskan ini butuh banyak kekuatan. Ini pertama kalinya mengenalkan kehidupan baruku kepada rumah abu-abu ini. Dan  sepotong cerita pagi tentang Tahfidz Putra Darul Istiqamah,  its more than wonderful masyaallah. Masih pukul tiga-an, ketika qadarullah saya terbangun karena sebuah mimpi. Dalam proses memperbaiki posisi tidur kembali, di waktu ketika bahkan kokok ayam belum satu pun terdengar, saya mengenal baik suarasuara air  dan langkah kaki santri-santri y