Skip to main content

Teruntuk Kamu, Re. Dhiah, Nu, juga kamu, Rima.

Assalamualaikum, Kawan...

Sudah sampaikah kalian pada rumah tempat pulang yang nyaman? Sudah sampaikah kalian di tempat yang tak ada saudari seburuk diriku?

Sesungguhnya aku malu. Maafkan. Sungguh maafkan.
Sebab  khianat pada janji dan mauku sendiri.

Di perjumpaan kemarin, kutahu kalian kembali demi potongan-potongan kenangan masa remaja kita di sini. Menghirup aroma tanah yang pernah kita tapaki dengan langkah yang sama, sejenak duduk, sesekali berkeliling, berputar-putar saja. Menyapa pepohonan yang menjadi saksi cerita-cerita kita dulu. Di sini.
Memutus sejenak hal-hal dari masa kini. Hanya untuk pulang.

Bukankah tabiat masa lalu memang demikian? Meski jauh sudah kita pergi, dia akan memanggil untuk disapa.

Menuliskan ini sesungguhnya aku malu. Malu sekali, Re, Dhiah, Nu, Rima...

Aku ingin menyebut bahwa kalian datang karena aku, meski bukan.

Dan lihatlah, begitu inginku, tapi bahkan tidak kulayani kalian selaiaknya kawan yang lama tak berjumpa.

Bukankah seharusnya kita duduk bersisian, berbincang ini dan itu? bernostalgia tentang begitu dulu begini sekarang...

Omong kosong. Tak ada pelukan hangat yang lama saat kalian datang bahkan meski sesaat kala kalian sudah memilih untuk pulang, aku sungguh tidak tahu.
Dan lupa kalau kalian ada.

Maafkan! Sungguh maafkan!!

Sebut aku saudari terburuk. Kawan lama yang sok sibuk bahkan meski sudah dihampiri. Manusia paling palsu.

Terserah. Tapi sungguh maafkanlah aku, Re, Dhiah, Nu, Rima...

Sekarang, saat kutuliskan ini dalam sisa-sisa lelah dan rasa bersalah yang memalukan, mungkin saja kalian telah kembali sibuk pada hal-hal yang lebih nyata ketimbang kecewa yang kalian rasa.

Maafkan. Sungguh maafkan!

Kutuliskan ini begini saja. Semoga kalian baik-baik saja.
Kali yang lain, semoga aku berlaku sesungguhnya kawan. Bukan manusia paling palsu.

Malam selepas Open Day, 23 April- Shift malam, 27 April 2017 || 00.11

Comments

Popular posts from this blog

Kepada Dirimu, Hafsah.

Kepada dirimu, Ada waktu-waktu saat kita saling berbicara tentang kelu yang kita rasa bersama. Ada mata yang basah saat mengenang sedihnya menjadi perempuan seperti kita. Tapi itu dulu,  dua tiga tahun yang lalu. Kita sudah memilih berbahagia dengan banyak sekali cara, turut bergembira dan memeluk hangat, ketika kawan kita yang lebih dulu_ dan lagi-lagi_ diizinkan  Tuhan. Bukan kau atau aku. Kita sudah menyabarkan diri, memilih lebih percaya Tuhan Daripada sesak yang terus berlarut. Sesekali kembali basah, tapi tak mengapa membiarkannya  tumpah mungkin lebih baik Daripada berkarat hati dan runtuh kepercayaan padaNya, pada Tuhan yang lebih dekat daripada urat leher kita sendiri. Kau tahu?  Setiap kali aku ingin merutuki takdir, menangis sesegukan di ujung kasurku,  Saat setanku berbisik untuk mengutuk Tuhan, aku melihatmu. Duduk disampingku dengan mata sembab dan  luka yang lebih dibanding aku. Atau sekali waktu, kau datang dengan

Drama dalam Kepala Buibu

Assalamualaikum, rumahku... Apa kabar? masih dengan status "hidup ndak, mati ogah" yah, rumah? heheh iyya... i need you but always forget you yah. Sini peluk rumahku diriku bukuku! Eniwei, alhamdulillah, syukur yang dalam nan tulus karena Allah masih berikan kita kesempatan hidup sehat dalam keadaan masih muslim untuk ketemu Ramadhan ini; bulan penuh cinta paling hidup. Dear, rumahku. Temani saya ngobrol bout two choices yang lagi riuh pisah di kepalaku sendiri yah, here we go bismillah. Em, diskusi bout being a full mom at home atau being a working mom adalah topik yang menurutku ndak pernah etis  buat didebatkan mana yang paling mengambil peran termulia sebagai ibu dan mana yang 'ibu setengah mulia karena kerja di luar rumah' atau malah menjadi 'ibu kolot tidak terpelajar karena di rumah saja ngurus urusan dapur kasur', semua tergantung niat, kualitas diri dan keridhaan anak suami menurutku. Lets see the world, ada banyak ibu full time di

Tahfidz Putra Darul Istiqamah Dan Surga Sebelum Surga

Air berkecipak Saling beradu pelan, syahdu dari gerakan-gerakan suara yang kutahu lebih baik dari kecipak air mandiku. Dalam gelap paling mustajab kakikaki itu pergi ke rumah tuhan. Masih dalam separuh buaian mimpi aku tahu, tuhanku juga memanggil lalu aku; dengan mata tertutup menakarnakar rindu padaNya, menghitunghitung kekuatan melawan syaithan. ______________ Sudah pukul empat pagi ketika saya mulai menulis ini, dan dari masjid masih terdengar suara imam memimpin shalat tahajjud. Tartil, merdu, indah. Percayalah, menuliskan ini butuh banyak kekuatan. Ini pertama kalinya mengenalkan kehidupan baruku kepada rumah abu-abu ini. Dan  sepotong cerita pagi tentang Tahfidz Putra Darul Istiqamah,  its more than wonderful masyaallah. Masih pukul tiga-an, ketika qadarullah saya terbangun karena sebuah mimpi. Dalam proses memperbaiki posisi tidur kembali, di waktu ketika bahkan kokok ayam belum satu pun terdengar, saya mengenal baik suarasuara air  dan langkah kaki santri-santri y