Skip to main content

Paket Kaya

"Wah, cantik sekali outermu, Taa!"
"Iyya, mama yang belikan kemarin. Mama yang pilihkan."
"Harganya berapa? Pasti mahal yah? Bahannya bagus ginii"

"Gak kok biasa ajah, Na"

Tita memegang kerah outer barunya, ketahuan kalau dia juga tidak tahu berapa harga outer yang dibelikan mamanya. Setelah melihat, dia buru-buru mencabut label harganya.

"Wah wah...ini mah sejuta namanya, Taa! Ini merk terkenal!"

Dede yang dari tadi diam dan hanya memerhatikan percakapan Tita dan Nena tiba-tiba nimbrung setelah mengambil label harga yang dibuang Tita di kolong ranjang.

" sejuta? Emang itu merk apa, De?"
"Ini merk fashion artis, Na...Liat nih merknya! Waahh keren mamamu, Taa!
"Kamu lebay, De! Ini cuman 976 ribu, gak sampe sejuta kali."
"Yeayy kurang 24 ribu doang jugaa, itu sudah sejuta namanya, Taa!
"Aku gak ngerti merk-merk fashion. Baju paling mahalku cuman 235 ribu yang kubeli di pasar rakyat. Tapi bener kata Dede, Taa...mamamu emang keren! Duuuhh seneng yah punya ortu kaya yang loyal gitu" mata Nena berbinar-binar mengelus-elus outer baru Tita. Modelnya v-neck, simple tapi manis. Aih, dipegangnya saja dia sudah happy, karena membayangkan punya barang semahal itu, Nena tahu, itu mimpi.

"Gak kok. Gak enak punya ortu kaya. Mereka jarang ada di rumah. Mama punya banyak usaha. Salon, EO, Karokean dll, jadi jarang keliatan di rumah. Juga papa. Sama doang. Dia kerja di luar kota. Jabatan tinggi. Mereka kaya, tapi gada waktu buat aku dan adek-adek ngobrol santai bareng mereka."

Nena terdiam, dilihatnya air muka Tita yang tenang. Untuk sepersekian detik, dia sempat melihat senyum kecil yang sendu. Lalu kembali tersenyum.

Mungkin menjadi kaya memang sepaket dengan sepi. Mungkin.

_____

"Ibu, ibu apa kabar?"
"Sehat, Dek. Alhamdulillah..."
"AlhamduliLlah kalo gitu, Bu...ohiyya, kemarin Tita cerita banyak. Dia pendiam, tapi kalau udah dekat, dia banyak cerita juga."
"Iya, Tita emang begitu, Dek. Beda dengan adeknya yang ampun-ampunan."
"Hihihh iyya, Ibu...kemarin dia bahkan sempat cerita, kalau mamanya waktu pergi umrah, masya Allah ibadahnya. Teman-teman yang lain pada pergi belanja, mamanya seharian mengaji di masjid. Bahkan sampe nginap di masjid masya Allah..."
"Hahah, iyya, Dek. AlhamduliLlah. Dia itu banyak bicara juga kalo udah dekat. Kalo gak yah...boro-boro, Dek! di rumah saya bahkan jarang ketemu dia. Saya di bawah, dia di kamar saja seharian. Jarang ketemu, jarang ngobrol. Makan juga diantarin sama adeknya."

Nah, bagaimanakah ini? Siapa yang jarang bertemu siapa? siapa yang malas ketemu siapa?

Menjadi kaya, iyya, mungkin juga sepaket dengan acuh. Masing-masing punya dunia sendiri. Masing-masing merasa tak lagi dipeduli, lalu juga tak mau peduli berlebih. Mungkin.

Sabtu,  08 April 2017

#twodaysonepost

Comments

Popular posts from this blog

Kepada Dirimu, Hafsah.

Kepada dirimu, Ada waktu-waktu saat kita saling berbicara tentang kelu yang kita rasa bersama. Ada mata yang basah saat mengenang sedihnya menjadi perempuan seperti kita. Tapi itu dulu,  dua tiga tahun yang lalu. Kita sudah memilih berbahagia dengan banyak sekali cara, turut bergembira dan memeluk hangat, ketika kawan kita yang lebih dulu_ dan lagi-lagi_ diizinkan  Tuhan. Bukan kau atau aku. Kita sudah menyabarkan diri, memilih lebih percaya Tuhan Daripada sesak yang terus berlarut. Sesekali kembali basah, tapi tak mengapa membiarkannya  tumpah mungkin lebih baik Daripada berkarat hati dan runtuh kepercayaan padaNya, pada Tuhan yang lebih dekat daripada urat leher kita sendiri. Kau tahu?  Setiap kali aku ingin merutuki takdir, menangis sesegukan di ujung kasurku,  Saat setanku berbisik untuk mengutuk Tuhan, aku melihatmu. Duduk disampingku dengan mata sembab dan  luka yang lebih dibanding aku. Atau sekali waktu, kau datang dengan

Drama dalam Kepala Buibu

Assalamualaikum, rumahku... Apa kabar? masih dengan status "hidup ndak, mati ogah" yah, rumah? heheh iyya... i need you but always forget you yah. Sini peluk rumahku diriku bukuku! Eniwei, alhamdulillah, syukur yang dalam nan tulus karena Allah masih berikan kita kesempatan hidup sehat dalam keadaan masih muslim untuk ketemu Ramadhan ini; bulan penuh cinta paling hidup. Dear, rumahku. Temani saya ngobrol bout two choices yang lagi riuh pisah di kepalaku sendiri yah, here we go bismillah. Em, diskusi bout being a full mom at home atau being a working mom adalah topik yang menurutku ndak pernah etis  buat didebatkan mana yang paling mengambil peran termulia sebagai ibu dan mana yang 'ibu setengah mulia karena kerja di luar rumah' atau malah menjadi 'ibu kolot tidak terpelajar karena di rumah saja ngurus urusan dapur kasur', semua tergantung niat, kualitas diri dan keridhaan anak suami menurutku. Lets see the world, ada banyak ibu full time di

Tahfidz Putra Darul Istiqamah Dan Surga Sebelum Surga

Air berkecipak Saling beradu pelan, syahdu dari gerakan-gerakan suara yang kutahu lebih baik dari kecipak air mandiku. Dalam gelap paling mustajab kakikaki itu pergi ke rumah tuhan. Masih dalam separuh buaian mimpi aku tahu, tuhanku juga memanggil lalu aku; dengan mata tertutup menakarnakar rindu padaNya, menghitunghitung kekuatan melawan syaithan. ______________ Sudah pukul empat pagi ketika saya mulai menulis ini, dan dari masjid masih terdengar suara imam memimpin shalat tahajjud. Tartil, merdu, indah. Percayalah, menuliskan ini butuh banyak kekuatan. Ini pertama kalinya mengenalkan kehidupan baruku kepada rumah abu-abu ini. Dan  sepotong cerita pagi tentang Tahfidz Putra Darul Istiqamah,  its more than wonderful masyaallah. Masih pukul tiga-an, ketika qadarullah saya terbangun karena sebuah mimpi. Dalam proses memperbaiki posisi tidur kembali, di waktu ketika bahkan kokok ayam belum satu pun terdengar, saya mengenal baik suarasuara air  dan langkah kaki santri-santri y