"Jadi guru, Nak. Itu pekerjaan paling mulia di dunia."
"Menghafal, Nak. Biar nanti di akhirat bangga juga kami jadi orangtua."
"Menulis, Nak. Banyak kebaikan yang bisa tersampaikan dengan tulisan."
Itu pesan-pesan bapak dan mama. Berganti-ganti kudengar dari lisan mereka, di beberapa kesempatan yang berulang. Dan saya mengingatnya, selalu. Hingga dari dulu sudah kutahu akan jadi siapa saya besar nanti.
Saat seorang Hikmah dipanggil jadi guru TK bahkan sebelum graduation day SMA, bapak dan mama tersenyum lucu nan syukur. Saat seorang Hikmah dipanggil untuk menjadi pembina di Spidi, mata senja mereka tersenyum bangga penuh syukur. Saat kubilang pada mereka akan kuliah keguruan sambil bekerja... ada yang hidup menyala-nyala di hati dan wajah tua mereka. Pendidikan di keluarga sederhana kami adalah sesuatu yang sangat istimewa.
Saya mengingat senyum bangga dan haru di mata tua mereka. Dan hinggapun hari ini seorang Hikmah belum menjadi Hafidzah, saya selalu menenangkan sekaligus memenangkan hati mama bapak dengan anak-anak maya di rumah abu-abuku ini.
Lalu hari ini, rasanya bahagia sekali. Anakku ada dalam wujud nyata, berdamping-dampingan dengan anak kawan-kawan kerenku.
Masih sebuah antologi cerpen, tapi kutahu, saya dan kawan-kawan menulisnya dengan cinta.
Sepenuh doa agar menjadi, menjadi satu lagi alasan bapak dan mama berbangga.
_______
Sepenuh terima kasih pula doa kukirimkan kepada orang-orang di balik layar kelahiran anak ini.
Ini anak pertamaku. Hal manis nan sederhana yang akhirnya mewujud.
Specially love for bunda Mabruroh yang tidak memotong nama bapak di belakang namaku. Its really something for me. I'm blue because it.
_______
Rabu siang, 7 Februari 2018 || Rumah Tahfidz
Comments
Post a Comment