Skip to main content

Anak Pertama Setelah Dua Dasawarsa Berlalu


"Jadi guru, Nak. Itu pekerjaan paling mulia di dunia."
"Menghafal, Nak. Biar nanti di akhirat bangga juga kami jadi orangtua."
"Menulis, Nak. Banyak kebaikan yang bisa tersampaikan dengan tulisan."

Itu pesan-pesan bapak dan mama. Berganti-ganti kudengar dari  lisan mereka, di beberapa kesempatan yang berulang. Dan saya mengingatnya, selalu. Hingga dari dulu sudah kutahu akan jadi siapa saya besar nanti.

Saat seorang Hikmah dipanggil jadi guru TK bahkan sebelum graduation day SMA,  bapak dan mama tersenyum lucu nan syukur. Saat seorang Hikmah dipanggil untuk menjadi pembina di Spidi, mata senja mereka tersenyum bangga penuh syukur. Saat kubilang pada mereka akan kuliah keguruan sambil bekerja... ada yang hidup menyala-nyala di hati dan wajah tua mereka. Pendidikan di keluarga sederhana kami adalah sesuatu yang sangat istimewa.

Saya mengingat senyum bangga dan haru di mata tua mereka. Dan hinggapun hari ini seorang Hikmah belum menjadi Hafidzah, saya selalu menenangkan sekaligus memenangkan hati mama bapak dengan anak-anak maya di rumah abu-abuku ini.

Lalu hari ini, rasanya bahagia sekali. Anakku ada dalam wujud nyata, berdamping-dampingan dengan anak kawan-kawan kerenku.
Masih sebuah antologi cerpen, tapi kutahu, saya dan kawan-kawan menulisnya dengan cinta.

Sepenuh doa agar menjadi, menjadi satu lagi alasan bapak dan mama berbangga.

_______

Sepenuh terima kasih pula doa kukirimkan kepada orang-orang di balik layar kelahiran anak  ini.

Ini anak pertamaku. Hal manis nan sederhana yang akhirnya mewujud.

Specially love for bunda Mabruroh yang  tidak memotong nama bapak di belakang namaku. Its really something for me. I'm blue because it.

_______

Rabu siang, 7 Februari 2018 || Rumah Tahfidz

Comments

Popular posts from this blog

Kepada Dirimu, Hafsah.

Kepada dirimu, Ada waktu-waktu saat kita saling berbicara tentang kelu yang kita rasa bersama. Ada mata yang basah saat mengenang sedihnya menjadi perempuan seperti kita. Tapi itu dulu,  dua tiga tahun yang lalu. Kita sudah memilih berbahagia dengan banyak sekali cara, turut bergembira dan memeluk hangat, ketika kawan kita yang lebih dulu_ dan lagi-lagi_ diizinkan  Tuhan. Bukan kau atau aku. Kita sudah menyabarkan diri, memilih lebih percaya Tuhan Daripada sesak yang terus berlarut. Sesekali kembali basah, tapi tak mengapa membiarkannya  tumpah mungkin lebih baik Daripada berkarat hati dan runtuh kepercayaan padaNya, pada Tuhan yang lebih dekat daripada urat leher kita sendiri. Kau tahu?  Setiap kali aku ingin merutuki takdir, menangis sesegukan di ujung kasurku,  Saat setanku berbisik untuk mengutuk Tuhan, aku melihatmu. Duduk disampingku dengan mata sembab dan  luka yang lebih dibanding aku. Atau sekali waktu, kau datang dengan

Drama dalam Kepala Buibu

Assalamualaikum, rumahku... Apa kabar? masih dengan status "hidup ndak, mati ogah" yah, rumah? heheh iyya... i need you but always forget you yah. Sini peluk rumahku diriku bukuku! Eniwei, alhamdulillah, syukur yang dalam nan tulus karena Allah masih berikan kita kesempatan hidup sehat dalam keadaan masih muslim untuk ketemu Ramadhan ini; bulan penuh cinta paling hidup. Dear, rumahku. Temani saya ngobrol bout two choices yang lagi riuh pisah di kepalaku sendiri yah, here we go bismillah. Em, diskusi bout being a full mom at home atau being a working mom adalah topik yang menurutku ndak pernah etis  buat didebatkan mana yang paling mengambil peran termulia sebagai ibu dan mana yang 'ibu setengah mulia karena kerja di luar rumah' atau malah menjadi 'ibu kolot tidak terpelajar karena di rumah saja ngurus urusan dapur kasur', semua tergantung niat, kualitas diri dan keridhaan anak suami menurutku. Lets see the world, ada banyak ibu full time di

Tahfidz Putra Darul Istiqamah Dan Surga Sebelum Surga

Air berkecipak Saling beradu pelan, syahdu dari gerakan-gerakan suara yang kutahu lebih baik dari kecipak air mandiku. Dalam gelap paling mustajab kakikaki itu pergi ke rumah tuhan. Masih dalam separuh buaian mimpi aku tahu, tuhanku juga memanggil lalu aku; dengan mata tertutup menakarnakar rindu padaNya, menghitunghitung kekuatan melawan syaithan. ______________ Sudah pukul empat pagi ketika saya mulai menulis ini, dan dari masjid masih terdengar suara imam memimpin shalat tahajjud. Tartil, merdu, indah. Percayalah, menuliskan ini butuh banyak kekuatan. Ini pertama kalinya mengenalkan kehidupan baruku kepada rumah abu-abu ini. Dan  sepotong cerita pagi tentang Tahfidz Putra Darul Istiqamah,  its more than wonderful masyaallah. Masih pukul tiga-an, ketika qadarullah saya terbangun karena sebuah mimpi. Dalam proses memperbaiki posisi tidur kembali, di waktu ketika bahkan kokok ayam belum satu pun terdengar, saya mengenal baik suarasuara air  dan langkah kaki santri-santri y