Matahari sebentar lagi purba di kaki langit, menuju maghrib
berarak awan menuju barat, indah.
Kupandangi semuanya dari jendela kecil kamar nan gelap anakku.
Lalu rinduku semakin menggulung, Mama, Bapak.
Ngilu di dadaku, memukul-mukul.
Aku, Ima... anak perempuanmu yang paling durhaka merinduimu, Ma, Pak.
Ima, anak perempuan mama yang selalu mama keluhi malas kerja dan makan
rindu dimarahimu, Ma.
Ima, anak perempuan bapak yang selalu malas menyeduh kopi dan menyiapkan hidangan, rindu melihat dan memainkan tangan di rambut putihmu, Pak.
Waktu melesat cepat dan umurku sudah dua puluh dua
tapi aku masihlah anak perempuan kecil kalian kan, Ma, Pak?
Sering kubilang akulah anak teristimewa, meski sering kusengaja tak membereskan rumah adalah yang paling membuatmu masygul, Ma...
Sering kubilang akulah anak terfavorit bapak, meski membaca buku-buku agama dan rajin menulis masih menjadi nasihat bapak yang masih sering sengaja kulupa.
Pun demikian aku... Ima boleh rindukan, Ma, Pak?
Sesak dadaku menanggung rindu sementara aku anak perempuan yang paling tak bisa bermenye-menye di depan kalian. Ada sesuatu dalam diriku yang tak pernah mengizinkan air mataku jatuh di depan mama bapak. Sama seperti mataku yang tak pernah siap melihat genangan di mata tua kalian.
Entah sejak kapan, menjadi tabu bagiku menggelayut manja, pun sekadar memeluk lengan kalian.
Tapi bagaimanalah ini, Ma, Pak?
Pernah kukira rindu pada kalian adalah hal yang lucu sebab kita masihlah sangat dekat, jarak tak menjadi soal
tapi aku dilahirkan mama, perempuan kuat dengan mata yang selalu basah sembunyi-sembunyi
Dan aku anak bapak, lelaki pendiam yang selalu dalam menyimpan rindu dan riuh rumah.
Lalu demi mengingat wajah tua kalian,
Ima rindu...
______
Ahad, 04 Februari 2018. 18.50
Rumah Tahfidz
Comments
Post a Comment