Tragedi Guru Budi: Kartu Kuning Pendidikan Karakter
Oleh Muzayyin Arif
(Ketua Yayasan Edukasi Sejahtera, Sekolah Insan Cendekia Madani, Jakarta)
Berita meninggalnya seorang guru di Kabupaten Sampang, Madura karena dipukul oleh muridnya sendiri, telah mengetuk nurani dan memanggil banyak pemerhati pendidikan (termasuk kami) untuk datang berkunjung, berbelasungkawa, mendoakan almarhum dan membesarkan hati keluarganya. Bagaimanapun ini kejadian yang memprihatinkan, bahkan mungkin pertama kali dalam sejarah seorang murid begitu tega menghajar gurunya sendiri di dalam kelas saat pelajaran berlangsung.
Ahmad Budi Cahyanto (27 tahun), guru seni rupa di SMAN 1 Sampang, meregang nyawa beberapa jam setelah seorang muridnya memukul dirinya dengan keras persis di leher bagian belakang (titik yang mematikan), hanya karena sang murid dibangunkan dari tidurnya dengan menggunakan kuas lukis saat pelajaran berlangsung.
Menurut informasi yang disampaikan oleh kerabat almarhum, sang guru yang pendiam ini sempat menepis serangan muridnya yang kalap tersebut, tapi kerasnya pukulan menyebabkan guru ini terjatuh sampai tangannya lecet sebelum akhirnya pukulan demi pukulan mengenai tubuhnya tanpa ampun.
Sebagai praktisi dunia pendidikan, kejadian ini tentu saja merupakan tragedi yang teramat memilukan, di saat beratnya tugas yang diemban seorang guru dalam mendidik generasi penerus agar memiliki kapasitas intelektual dan keterampilan hidup yang baik, maupun pendidikan karakter yang tengah diperjuangkan bagi para muridnya.
Karakter baik yang menjadi tujuan pendidikan seakan terhempas jauh dari harapan. Padahal pendidikan tanpa karakter dapat diibaratkan seperti ilmu tanpa iman. Mungkin membuat orang sampai kepada tujuan tapi dipastikan tujuan yang dimaksud adalah tujuan yang keliru.
Respek seorang murid terhadap guru, yang ditunjukkan dengan rasa hormat, penghargaan dan kepatuhan sesungguhnya merupakan implementasi dari karakter baik. Hilangnya respek terhadap guru akan membuat pendidikan berlangsung tanpa hadirnya hati dan ketulusan. Akibatnya, ilmu tidak terinternalisasi. Alih-alih memberi manfaat, yang terjadi malahan menjadi bencana karena tercabutnya keberkahan.
Peristiwa yang menimpa almarhum guru Budi, haruslah menjadi warning bagi seluruh stakeholder dunia pendidikan untuk kembali memberi prioritas terhadap pendidikan budi pekerti dan akhlakul karimah dengan menempatkan kepatuhan beribadah, etika dan akhlakul karimah, kedisiplinan dan ketaatan terhadap peraturan, serta interaksi dengan sumber segala Ilmu yaitu Al Qur’anul Karim sebagai target pencapaian pendidikan.
Semoga saja seluruh pemangku kebijakan di sektor pendidikan cepat sadar bahwa revolusi mental bukan untuk dijadikan jargon politik semata tapi sejatinya sebuah perjuangan mengembalikan generasi muda Indonesia pada karakternya sebagai bangsa yang beradab.
Madura, 4 Februari 2018
_________
Kenapa tulisan ini ada di sini?
Sebab tulisan ini hidup. Ada ruh dan ketulusan yang nyata terasa. Mengingatkan dengan telak fungsi dan tujuan sejati pendidikan. Lagipula, bukankah iman kita tabiatnya naik dan turun?
Terlebih tabiat imannya Hikmah dan betapa rapuhnya ingatan pemilik rumah abu-abu ini.
Kusimpan di sini, agar besok lusa, saya dan siapapun yang membaca ini bisa kembali mengingat bahwa pernah terjadi hal sememilukan ini; daruratnya moral bangsa kita. Lalu menjadi warning yang nyaring memanggil nurani kita, bahwa pendidikan harusnya menjadi ikhtyar mendatangkan berkah Allah, tak ada yang lain.
Wallahu a'lam bishshawab...
____
Ahad, 04 Februari 2018 || 23.10
Rumah Tahfidz
Comments
Post a Comment