Skip to main content

Tahajjud di Enam Ramadhan

Ada buncah rasa syukur dan haru, juga lucu memalukan pada episode tahajjud di enam Ramadhan ini.

Dan perihal lucu memalukan itu, rasanya ingin kutertawai diri sendiri dengan sangat keras.

Tapi haru dan syukur, selalu berhasil mengalahkan berbagai kegilaan-kegilaan bodoh.

And here we go...

Sepagi tadi, pukul dua lewat, saat langit masih  gelap dan suara-suara masjid dari luar pesantren belum terdengar ramai, dia sudah membangunkanku setelah siap dengan persiapan hafalannya.

Iyya, dia selalu tidur dan bangun lebih awal mempersiapkan diri sendiri daripada aku yang selalu mengaku istri shalehahnya. (Perihal memuji diri sendiri ini hanya kulakukan di hadapannya, sebab adalah dusta yang nyata jika kulakukan di hadapan orang lain. Dan memuji diri sendiri selalu berhasil menjadi topik menyenangkan untuk memulai obrolan -obrolan santai penuh tawa dengan selipan-selipan remindernya yang halus tapi jleb)

Aku selalu suka berjalan di sampingnya. Cinta selalu saja meletup-letup menyenangkan meski hanya digenggamnya tanganku. Dan bersisian dengannya selalu mengalirkan syukur juga doa-doa.

Kalaulah di genggamannya saja  sungguh menyenangkan, maka diimaminya saat shalat adalah hal yang paling membahagiakan. Penuh syukur dan cinta. Begitu selalu.

Dan saat shalat inilah...

Ketika shalat, saat dengan semangat dia bacakan ayat demi ayat, saat jamaah lain mungkin khusyu' mengingat kita sedang tahajjud, sepotong diriku malah hilang. Aku mengembara.

Pelan-pelan tapi pasti, kenangan-kenangan hidup bersamanya selama lima tahun lima bulan, muncul satu persatu. Melompati waktu-waktu.

Dan ada satu moment dimana dengan bodohnya aku  tersenyum dalam shalatku dan di moment lainnya aku harus tertunduk menangis.

"Jaga suamimu, rawat dia, bahkan meski tidak ada uangnya sama sekali."

Saat seorang ibu yang kami tuakan, yang juga adalah seorang istri dari seorang hafidz yang adalah pimpinan pesantren kami itu datang menghampiri di sebuah sore dalam masjid dan memberi petuah juga doa-doa, mataku basah. Memohon dengan sangat agar Allah setiakan hatiku. Tak lemah hanya karena soalan duniawi seperti itu.


Aku ingat itu adalah pesan yang diberikannya di Ramadhan pertama kami. Dan petuah juga doa-doa seorang ibu adalah penjaga yang melampaui batas waktu. Tak pernah expired.

Saat mengingatnya dalam shalat tahajjud tadi, aku tersenyum. Nasehat itu selalu kugigit sejak pertama kali merasa nyaman dengannya. Sebab meski mengamuk saat diberitahu akan dinikahkan, aku tak pernah menyesal. Tak pernah meski sekalipun.

Bagaimana bisa? Jika dia adalah seorang lelaki sederhana yang mencintaiku dengan sangat sahaja? Yang marah hanya perihal ukhrawi saja?

Dalam shalat itu, saat dari rakaat pertama semangatnya tak menurun, aku masih juga mengembara. Aku malah berpikir banyak hal yang sungguh tak nyambung dengan ayat-ayat yang dibacanya.

Setelah tersenyum-senyum, beberapa kenangan juga datang. Dan sampai pada kenangan-kenangan betapa terlalu biasa aku sebagai perempuannya. Mengaku cinta tapi tak pernah baik mendampingi...

Cinta yang hampir serupa dusta dan omong kosong belaka.

Selepas witir, barulah kusadari bahwa lima lembar dari empat rakaat terakhir shalat tahajjud yang diimaminya adalah juz enam. Ada Al-Maidah : 51. Sebuah ayat yang mengguncang Indonesia, menjadi sorotan dunia. Memanggil semua umat mu'min untuk bersatu melawan sang penista.

Saat abah, bapak pesantren kami dengan suara serak bicara selepas tahajjud di hadapan ratusan jamaah tentang alqur'an, berdoa di pagi buta saat Allah turun ke langit terendah untuk mendengar semua doa dan mengampuni semua dosa, berharap semoga kita semua mampu menjadi penjaga-penjaga alqur'an, penjaga agamanya. Tiba-tiba kesadaran itu datang, betapa kerdil seorang Hikmah. Hatiku basah.

Saat dalam shalat mungkin jamaah lain haru dengan kuasa Allah memperlihatkan betapa agung kalamNya dan Dialah yang Maha Penjaga bahkan meski terhadap satu ayat sekalipun,  aku malah mengembara dengan dalih merayakan cinta.

Kepada dirimu, semoga kau istiqamah mengimamiku, Kakak. Semoga kau tabah dengan rupa-rupa lakuku. Maafkan aku,  Sayang. Jazakumullahu khayran untuk kesabaranmu memiliki perempuan seperti aku. Terima kasih banyak, Cinta. Semoga Allah senantiasa berkahi rumah tangga kita. Doakan aku selalu semoga tak menjadi  beban hisabmu nanti di akhirat. Doakan aku selalu, Sayangku.

Terima kasih banyak. Terima kasih banyak, Cinta...

Kamis, 01 Juni 2017/ 06 Ramadhan 1438 H
#onedayonepost

Comments

Popular posts from this blog

Kusimpan Dia di Sini

Dear my sweet home, Saya baru saja selesai ngobrol dengan laki-lakiku tentang hal baru yang ingin saya mulai. Mimpi baru. Cita-cita baru, ikhtiyar baru. : Jualan parfum original yang sehat, harga bersahabat dan yang paling penting adalah halal. Kenapa saya mau mulai mengikhtiyarkan usaha ini? adalah karena  sejak dulu, saya memang mencari produk parfum yang seperti itu. Yang sehat, halal dengan kualitas parfum original. Karena wangi saja tidak cukup, harus ada nilai yang tercium dari aroma parfum yang kita pakai. Tentang kualitas diri dan juga karakter. Dan saya berharap orang-orang juga berpikir demikian. Setelah mencari banyak informasi, searching, membaca testimoni, membaca artikel-artikel kesehatan tentang bahayanya ngasal pakai parfum, saya akhirnya memilih  brand parfum yang tepat dan sudah terkenal di enam benua, Parfum original dari Eropa, parfum dengan brand Federico Mahora , yang diproduksi bersama Perfand dan Drom  Fragrances, German. Saya join dengan bisnis ini kalau

DARI AKU; LELAKI YANG MENCINTAIMU UTUH

Dear kamu, Perempuan bumi dan surgaku. Apa kabarmu hari ini, bidadariku? apa kabar anak-anak kita? sehatkah kalian? bermain apakah kalian sekarang? Pertanyaan-pertanyaan ini tidak seharusnya kutanyakan begini. Aku tahu. Entahlah, aku hanya sungguh ingin melakukannya, memenuhi kepalaku hanya tentang kamu dan bocah-bocah lucu kita. Aku ditikam rindu yang berkali, Sayang... Rindu dan rasa bersalah. Sebelas tahun bukan waktu yang singkat untuk kita menyemai cinta dan sayang. Membersamai empat krucils yang tumbuh sehat dan cerdas, shaleh dan shalehah. Kamu mengambil banyak sekali peran dan waktu buat mereka dan aku. Terima kasih sudah lapang menemani kami, Cinta. Sayangku, aku ingat saat kuboyong kamu untuk merantau bersamaku; memijak tanah Tuhan yang lebih jauh dari rumah kanak kita. Berdua saja, berat jika ingin dibayangkan. Berpisah dari orang tua saat kita masih butuh petuah ini dan itu, dalam hari-hari sebagai pengantin baru. Tapi kita akhirnya pergi. Dengan hati yang belum t

Takkan Ada Puisi Perihal Aksi Itu

Di umurku yang masih dua satu ini, bagiku tak ada hal yang lebih menakjubkan di Indonesia kita ini selain fenomena perihal agama; 411 dan 212 Adakah puisi yang bisa bercerita seindah fenomena itu? Kala berjuta manusia hadir tanpa bayaran sedikitpun dari para elit parpol, bersatu demi Indonesia, bergerak karena liLlah, semua bersuara karena Al- Qur'an. Ada rasa yang manis dan menggetarkan hanya dengan melihat satu dua foto, menonton satu dua vidio peristiwa hebat itu. Dan hampir seluruh rakyat Indonesia bercerita tentang 411 dan 212. Maka meski tak mampu hadir menjadi bagian dari sejarah Indonesia paling memukau itu, hanya melihat dan menyeksamai puluhan foto-vidionya yang menjadi viral di media sosial dan berkali tayang di televisi, rasanya begitu haru, begitu bangga. Peristiwa itu memberikan banyak pelajaran tentang Indonesia. Indonesia, meski hancurnya pemerintahan karena beberapa elit politik yang harusnya jadi pejabat terhormat malah menjadi mafia hukum dan pencuri cerdik ja