Skip to main content

Lebaran; Semuanya Memang Akan Menjadi Kenangan

Bersilaturrahim di rumah mayyit, tepat di hari raya seluruh umat muslim, Allah mengingatkanku untuk sadar. Untuk ingat bahwa semua memang pernah tiada, lalu ada dan kembali tiada.

Wajah cerah nan tenang ibu muda itu jauh berbeda dengan tangisan perempuan kecil usia satu tahun yang sesekali terdengar kencang memanggil, "mmama, mmamaa..." juga air mata ibu tua yang tumpah menyeruak meski harus terpaksa kuat berkeliling menggendong, membujuk cucu kecilnya agar tenang.

Lebaran tahun ini mengajarkan banyak hal; bahwa pada akhirnya semua akan pergi, menjadi kenangan. Apapun, siapapun, kecuali Dia.

Aku ingat, lebaran tahun kemarin di keluargaku ramai sekali. Sembilan dari anak mama bapak semuanya berkumpul, lengkap dengan riuh riang lima belas ponakan-ponakan, obrolan hangat para ipar dan anak-anak asuh mama, semuanya bergembira, semua berbahagia. Termasuk nenek Bendrong, yang meski purna keriput di wajahnya tetap tak bisa menyembunyikan bahagia dan syukurnya.

Lalu hanya bertahan sekian hari saja kebahagiaan itu, kakak tertua pergi membawa keponakan-keponakan juga ipar tersayang kami. Pergi dengan luka borok yang ditinggal juga doa-doa yang serak kami panjatkan. Dengan dalih perbedaan.

Sebentar saja bahagia itu, lalu Allah ingin kami selalu ingat bahwa tak pernah ada yang abadi, tak pernah ada yang benar-benar menjadi milik kita.

Termasuk anak yang sembilan bulan dikandung, hidup sebadan, dibesarkan dengan sayang juga doa-doa yang tumpah, kelak juga akan pergi, mau atau tidak. Meski juga harus beriring air mata dan doa-doa pula.

Sekali lagi, bahwa tak pernah ada yang benar-benar menjadi milik kita.

Lebaran tahun ini, tak bisa kubohongi hati aku merindukan kakak tertua. Sungguh-sunggguh rindu pada lelaki gagah yang selalu tersenyum manis dan memberi banyak keteladanan.

Sebab dia, aku hanya ingin menjadi kakak yang biasa-biasa saja tapi takkan pernah meninggalkan mama bapak juga saudara-saudara, agar tak banyak luka yang kelak akan kutinggalkan jika pada akhirnya aku juga akan pergi. Tidak sebanyak luka  bercampur rindu yang kakak tinggalkan.

Kepada kamu, Kak...
Izinkan aku memelukmu erat dengan doa-doa agar Allah mengembalikanmu pada kami, lengkap dengan ponakan-ponakan juga ipar yang selalu kami sayang. Pulanglah tanpa dalih perbedaan itu lagi.

Apakah yang paling harus dijaga dalam paham yang kau pegang selain ridha orangtua, Kak? Adakah yang lain, Kak?

Kak, di tubuh kita mengalir darah yang sama. Kita bersaudara kandung, sebapak semama, maka semoga kau juga ingat dimana rumah yang seharusnya menjadi tempat pulangmu.

Maafkan Ima kalau belum pernah menjadi adik yang baik...

Hari lebaran, Ahad  25 Juni 2017|| 12.00


Comments

Popular posts from this blog

Kepada Dirimu, Hafsah.

Kepada dirimu, Ada waktu-waktu saat kita saling berbicara tentang kelu yang kita rasa bersama. Ada mata yang basah saat mengenang sedihnya menjadi perempuan seperti kita. Tapi itu dulu,  dua tiga tahun yang lalu. Kita sudah memilih berbahagia dengan banyak sekali cara, turut bergembira dan memeluk hangat, ketika kawan kita yang lebih dulu_ dan lagi-lagi_ diizinkan  Tuhan. Bukan kau atau aku. Kita sudah menyabarkan diri, memilih lebih percaya Tuhan Daripada sesak yang terus berlarut. Sesekali kembali basah, tapi tak mengapa membiarkannya  tumpah mungkin lebih baik Daripada berkarat hati dan runtuh kepercayaan padaNya, pada Tuhan yang lebih dekat daripada urat leher kita sendiri. Kau tahu?  Setiap kali aku ingin merutuki takdir, menangis sesegukan di ujung kasurku,  Saat setanku berbisik untuk mengutuk Tuhan, aku melihatmu. Duduk disampingku dengan mata sembab dan  luka yang lebih dibanding aku. Atau sekali waktu, kau datang dengan

Drama dalam Kepala Buibu

Assalamualaikum, rumahku... Apa kabar? masih dengan status "hidup ndak, mati ogah" yah, rumah? heheh iyya... i need you but always forget you yah. Sini peluk rumahku diriku bukuku! Eniwei, alhamdulillah, syukur yang dalam nan tulus karena Allah masih berikan kita kesempatan hidup sehat dalam keadaan masih muslim untuk ketemu Ramadhan ini; bulan penuh cinta paling hidup. Dear, rumahku. Temani saya ngobrol bout two choices yang lagi riuh pisah di kepalaku sendiri yah, here we go bismillah. Em, diskusi bout being a full mom at home atau being a working mom adalah topik yang menurutku ndak pernah etis  buat didebatkan mana yang paling mengambil peran termulia sebagai ibu dan mana yang 'ibu setengah mulia karena kerja di luar rumah' atau malah menjadi 'ibu kolot tidak terpelajar karena di rumah saja ngurus urusan dapur kasur', semua tergantung niat, kualitas diri dan keridhaan anak suami menurutku. Lets see the world, ada banyak ibu full time di

Bagaimanakah Besarnya Cinta Allah Padamu, Sayang?

Hokeh, ini rumah keduaku. Tempat tumpah macam cerita, juga sampah-sampah. Meski sebenarnya saya selalu berharap ada sampah yang bisa kalian daur ulang di sini, dengan bentuk yang jauh lebih baik. Pemahaman yang baru. Hari ini alhamdulillah saya berkesempatan juga jenguk Alif di RS Wahidin Makassar. Dia masih di ICU, pasca operasi Senin (091017) kemarin dia sempat sadar sehari kemudian muntah-muntah, demam tinggi dan sampai sekarang matanya belum terbuka-buka. Tapi dia merespon alhamdulillah kalau kakinya dielus, ada gerakan kecil dan lemah. Juga begitu kalau badannya dimandi, mamanya bilang dia bersuara kalau dimandi, meskipun dengan suara yang sangat lemah dan singkat. Tapi itu sudah syukur sekali kata mamanya. Badannya panas, dua kaki kecilnya  membengkak entah kenapa. Ada beberapa selang  di tubuh kecil nan ringkihnya Alif. Satu di antaranya selang yang dipasang di bawah  kulit perut; kalau tidak salah iyyah begitu kata dokternya tadi, waktu kukira selang itu dipasang di lambung.