Dia. Lelaki belasan tahun dengan bibir yang selalu terkatup rapat, potongan rambut biasa tanpa aroma minyak wangi sama sekali, kering saja. Juga dengan segumpal kesedihan di matanya. Untuk pertemuan yang selalu, tanpa pernah ada jejak senyum. Hatiku basah. Saat kursi-kursi masih berjejer tak beraturan, riuh rendah berbagai suara masih memenuhi ruangan, piring-piring bekas makan para tamu masih tergeletak di berbagai sudut, dan sendok gelas masih menyisakan bekas bibir mereka, untuk sepersekian detik waktu seolah berhenti di matanya. Aku beku. Dia bergeming di sudut ranjang kecil itu, duduk santai dengan luka-luka dan rindu pada perempuan yang tak putus dipandanginya. Berapa lamakah hati mengajari anak manusia agar tabah pada tabiat rindu yang menyiksa? Bagaimanakah Tuhan mendidik hamba agar tak membenci pelaku luka yang paling borok? Bagaimanakah Tuhan melatih seorang bocah agar pandai menyembunyikan air mata bahkan pada seorang perempuan yang pertama kali diru
Selamat Datang di Rumah Keduaku. Tempat Pulang yang Nyaman. Pada Alamat Kebaikan. Semoga.