Skip to main content

Ilalliqaa', Bunda Sayang...



Ada begitu banyak orang  yang kepada mereka saya belajar banyak hal, langsung dan tak langsung. Tapi tulisan sederhana ini bukan dulu tentang mereka, tapi dia saja.
Seorang perempuan yang kepadanya aku berkaca lebih sering, berkali-kali. Perempuan dewasa yang mengajarkan banyak hal tanpa mendikte, tanpa menggurui, alami mencintai.

Dia bundaku sayang, Bunda Mina namanya. Perempuan dengan mata bulan sabit, cerdas dan kritis. Yang paling istimewa adalah, bunda satu-satunya orang  yang siap fight dalam membela kami dan merangkul lebih erat  menjadi satu, menjadi padu tanpa sekat.

Bunda yang akan tersenyum memaklumi, menegur dengan tegas, mengajari hal-hal teknis dengan sabar, ikut bersedih, ikut marah jika ada hal-hal yang tidak berkenan. Bunda selalu  membiarkan kami menumpah semua unek-unek  tanpa memotong, tanpa menjudge,  lalu setelah lelah  bercerita, bunda akan menasihati dengan bijak, dengan rasa ibu dan kakaknya. Bunda seolah  selalu  punya waktu yang banyak  untuk mendengarkan berbagai macam cerita kami sebagai ummi-ummi asrama.  

Pernah ada waktu-waktu dimana rasanya begitu hangat; beberapa personal chat yang deep,  senyum bunda yang  sampai ke mata , sikap tegas bunda saat saya tidak mengikuti rules, sikap tenang dan bijaknya bunda saat membicarakan hal-hal tertentu yang lebih deep and heavy,  air mata bunda saat saya akhirnya berbicara serius soal resign, dan saat ada masalah yang melibatkan saya saja dari keasramaan, bunda dengan bijaknya  menelfon, tabayyun dengan cara yang seharusnya, mendengar semua penjelasanku, membiarkan saya menangis dan menumpah marah pula kecewa sebab sikap  orang lain yang menyudutkan tanpa tabayyun. Dan bunda memberikan telinganya dengan sabar  kurang lebih tiga puluh menit hanya mendengarku saja. And its something .  Sebab saya tahu, tidak banyak orang dewasa yang mau berlaku demikian, sebab tidak banyak atasan yang mau bersikap seperti itu kepada bawahan. Lalu saya belajar dari itu bahwa ketulusan sungguh bisa dideteksi, menjadi sesuatu  yang bisa menghangatkan dan percaya kepada orang lain akan memanggil sikap terbaik dari orang tersebut.

Sebab akhirnya, setelah menangis di telfon dan menumpah marah pula kecewa itu,  saya merasa lega. Saya merasa baik-baik saja. Kesediaan bunda mendengarkan dengan sabar membiarkan saya melalui sepanjang hari itu dengan lebih tenang dan percaya bahwa semua pasti ada hikmahnya.

Bunda juga tanpa sadar memberikan saya pilihan ingin menjadi orang dewasa seperti siapa. Ingin menjadi pemimpin seperti bagaimana, ingin menjadi saudara yang bagaimana.

Bunda selalu ada dengan solusi-solusi cerdas dan nasihatnya yang bijak di waktu-waktu serius. Tapi di kali yang lain bunda juga selalu memberi ruang like girls and mom talk, like girls and friend talk.  Membiarkan kami bicara  perihal hobby dan dunia masing-masing. Bunda yang datang di acara perkumpulan kecil-kecilan ummi asrama di rumah kak Kia dan bunda yang turut datang di acara sederhana pindah rumahku. And really, its so something. Allah yang tahu betapa haru rasanya.

Dua tahun lebih di spidi, dan hanya beberapa bulan pure menjadi bagian dari ummi-ummi asrama, kami tahu, kami sudah jatuh sayang dengan bunda. Perempuan dewasa yang memutus jarak atasan dan bawahan dengan hati.

Dan saya tahu, tulisan sederhana ini tidak akan bisa menampung kenangan pula doa, maka semoga cukuplah sayangNya  Allah yang menjaga bunda selalu. Bunda Mina dan keluarga.


Jazakumullahu khayran katsira untuk semua hal yang bunda berikan kepada kami, kepada Hikmah khususnya. Untuk kesempatan belajar dan kepercayaan bunda. Pula maafkan Hikmah yang crazy ini dan terlalu sering bikin pusing. Uhibbukum fillah, Bundaku sayang.
Ilalliqaa’…

                                                    
_____
Rabu shubuh, 24 Januari 2018.
Selamat pagi lagi di Sorong, Bunda😊

Comments

Popular posts from this blog

Kepada Dirimu, Hafsah.

Kepada dirimu, Ada waktu-waktu saat kita saling berbicara tentang kelu yang kita rasa bersama. Ada mata yang basah saat mengenang sedihnya menjadi perempuan seperti kita. Tapi itu dulu,  dua tiga tahun yang lalu. Kita sudah memilih berbahagia dengan banyak sekali cara, turut bergembira dan memeluk hangat, ketika kawan kita yang lebih dulu_ dan lagi-lagi_ diizinkan  Tuhan. Bukan kau atau aku. Kita sudah menyabarkan diri, memilih lebih percaya Tuhan Daripada sesak yang terus berlarut. Sesekali kembali basah, tapi tak mengapa membiarkannya  tumpah mungkin lebih baik Daripada berkarat hati dan runtuh kepercayaan padaNya, pada Tuhan yang lebih dekat daripada urat leher kita sendiri. Kau tahu?  Setiap kali aku ingin merutuki takdir, menangis sesegukan di ujung kasurku,  Saat setanku berbisik untuk mengutuk Tuhan, aku melihatmu. Duduk disampingku dengan mata sembab dan  luka yang lebih dibanding aku. Atau sekali waktu, kau datang dengan

Drama dalam Kepala Buibu

Assalamualaikum, rumahku... Apa kabar? masih dengan status "hidup ndak, mati ogah" yah, rumah? heheh iyya... i need you but always forget you yah. Sini peluk rumahku diriku bukuku! Eniwei, alhamdulillah, syukur yang dalam nan tulus karena Allah masih berikan kita kesempatan hidup sehat dalam keadaan masih muslim untuk ketemu Ramadhan ini; bulan penuh cinta paling hidup. Dear, rumahku. Temani saya ngobrol bout two choices yang lagi riuh pisah di kepalaku sendiri yah, here we go bismillah. Em, diskusi bout being a full mom at home atau being a working mom adalah topik yang menurutku ndak pernah etis  buat didebatkan mana yang paling mengambil peran termulia sebagai ibu dan mana yang 'ibu setengah mulia karena kerja di luar rumah' atau malah menjadi 'ibu kolot tidak terpelajar karena di rumah saja ngurus urusan dapur kasur', semua tergantung niat, kualitas diri dan keridhaan anak suami menurutku. Lets see the world, ada banyak ibu full time di

Tahfidz Putra Darul Istiqamah Dan Surga Sebelum Surga

Air berkecipak Saling beradu pelan, syahdu dari gerakan-gerakan suara yang kutahu lebih baik dari kecipak air mandiku. Dalam gelap paling mustajab kakikaki itu pergi ke rumah tuhan. Masih dalam separuh buaian mimpi aku tahu, tuhanku juga memanggil lalu aku; dengan mata tertutup menakarnakar rindu padaNya, menghitunghitung kekuatan melawan syaithan. ______________ Sudah pukul empat pagi ketika saya mulai menulis ini, dan dari masjid masih terdengar suara imam memimpin shalat tahajjud. Tartil, merdu, indah. Percayalah, menuliskan ini butuh banyak kekuatan. Ini pertama kalinya mengenalkan kehidupan baruku kepada rumah abu-abu ini. Dan  sepotong cerita pagi tentang Tahfidz Putra Darul Istiqamah,  its more than wonderful masyaallah. Masih pukul tiga-an, ketika qadarullah saya terbangun karena sebuah mimpi. Dalam proses memperbaiki posisi tidur kembali, di waktu ketika bahkan kokok ayam belum satu pun terdengar, saya mengenal baik suarasuara air  dan langkah kaki santri-santri y