Lengang. Sepi,
tak ada yang baru, tak ada yang berubah
kecuali cita yang mangkrak di sudut gelap.
Lalu tanya satu-satu menumpah, mengambang.
Bisu.
Selamat malam, 21!
Ini malam terakhir, dan kita belum bertemu cita yang biru.
Abu-abu.
Pernah kutitip cinta yang merona ranum dan jiwa yang merdu suarakan mimpi,
di sini. Pada jeda waktu selama kamu,
Tiga ratus enam puluh hari lebih.
Bahkan sudah dua dekade berlalu, kau ingat?
Ironi.
Sebab aku adalah tuanmu dan kamu hanya bilangan waktu yang habis dalam peluh-peluh yang sia.
Kasihan. Aku.
Lengang, sepi. Kemudian besok akan terang, entah kita akan bersua atau berpulang,
atau menyapa cita yang mangkrak di sudut gelap itu.
Lalu manik-manik mata mama dan bapak berkilat-kilat bangga. Haru hingga terisak isak.
Atau meredup, menua dengan kasihan. Peluh-peluh yang sia direguk hingga tersedak sedak.
Dan pinta puja puji mengambang di jari jemariku, untuk keselamatanmu, 21.
Dan bilangan waktu yang semoga. Besok dan ratusan hari di masa yang entah.
Maros. Ahad, 27 Agustus 2017 || 23.47
Comments
Post a Comment