Ada perempuan tua yang dengannya aku hidup seatap. Yang kala lapar atau mengantuk, pun sekadar ingin ngemil, masih selalu kukata padanya. Dengan sok memelas, menagih manja. Ada ataupun tidak ada makanan, aku hanya suka. Hingga hari ini, di dua puluh dua tahun kehidupanku.
Childish?
Sepertinya memang begitu. Tapi saban kali berlaku demikian, aku tahu, itulah moment paling manis antara aku dengan mama.
Sebab entah sejak kapan, kami yang serumah tidak pernah lagi ringan saling memeluk, saling menggandeng senormalnya anak dan ibunya. Kami karib, tapi tidak dengan kontak fisik melebihi jabat tangan.
Padahal tak pernah ada konflik yang badai di antara kami, tak pernah ada pertengkaran hebat antara aku dan mama. Hanya ketika mulai duduk di kelas SMP, hari-hari berganti menjadi tahun, dan kami sama-sama terlambat sadar; sudah ada tembok yang terbangun salah.
Lalu hari ini. Seminggu tepat sudah kutinggalkan rumah, mengikuti dia. Tidak jauh dari rumah mama, rumah yang dua puluh tahun lebih kutinggali. Hanya sekian kilo saja. Bahkan kurang dari 30 menit jika berjalan kaki dari rumahku ke rumah mama, atau sebaliknya.
Tapi jarak yang kurang dari 30 menit itu saja, aku sudah rindu. Rindu dengan teriakan marah mama setiap kali memanggil makan, setiap kali memanggil untuk kusantap apa-apa yang dimasaknya, apa-apa yang dibawanya dari luar rumah.
Mama. Perempuan paling cerewet sekaligus paling besar cinta dan sayangnya padaku, perempuan dengan frekuensi marah paling tinggi kepadaku. Sekaligus, satu-satunya perempuan yang meneteskan diam-diam dan sesekali terisak karena kutinggalkan rumah. Menjadi satu-satunya perempuan yang akan mengurus ini dan itu di rumahku sendiri.
Memiliki mama adalah hal paling menenangkan selama kehidupanku.
_____
Terima kasih, Mama. Doakan Ima selalu.
Comments
Post a Comment